Kanal

Warga Dieksekusi Mati Karena Beribadah, Benarkah Korut Ateis?

Kementerian Unifikasi Korea Selatan merilis laporan yang mengungkapkan pemerintahan Kim Jong-un mengeksekusi lagi warganya gara-gara beribadah. Peristiwa itu menjadi sorotan dunia. Hal ini mengingat kebebasan beragama menjadi perhatian banyak negara dan lembaga hak asasi manusia.

Dalam laporan setebal 450 halaman dan dirilis pada Kamis (30/3/2023) itu, Korsel menuturkan lebih dari 500 warga Korut kabur sejak 2017-2022. Dokumen itu juga menjabarkan banyak warga Korut yang dieksekusi mati karena sejumlah kejahatan seperti narkoba hingga penyebaran konten Korea Selatan dan ketahuan melakukan kegiatan keagamaan. Hanya saja, laporan terakhir itu tidak menjelaskan berapa jumlah warga yang dieksekusi mati gegara kegiatan keagamaan dan alasan hukuman tersebut dijatuhkan.

Mungkin anda suka

Namun pada 2021, Komisi Independen Amerika yang memantau kebebasan beragama negara-negara di dunia, USCIRF, mengidentifikasi ada 68 kasus eksekusi mati warga Korut akibat mempraktikan kepercayaan agama. Eksekusi mati ini sebagian besar dilakukan kepada mereka yang kedapatan mempraktikan shamanic (perdukunan) yakni sebanyak 43 kasus, 24 kasus terkait dengan agama Kristen, dan satu kasus terkait dengan Cheondogyo.

Masih menurut USCIRF, kondisi kebebasan beragama di Korut termasuk yang terburuk di dunia. Siapa pun yang kedapatan mempraktikan agama atau bahkan dicurigai menyembunyikan pandangan agama secara pribadi akan dikenakan hukuman berat, termasuk penangkapan, penyiksaan, pemenjaraan, hingga eksekusi mati.

Bagaimana kehidupan beragama di Korut?

Korea Utara sering berada di urutan teratas daftar penganiaya agama global. Namun hampir tidak mungkin untuk merinci pelanggaran rezim tersebut karena sangat tertutup bagi orang luar. Namun, karena semakin banyak orang yang melarikan diri dan berhasil mencapai Korea Selatan, Amerika, dan lokasi lain, mereka telah menjelaskan fiksasi buruk Pyongyang terhadap agama.

Hingga kini, pemerintahan Kim Jong-un tidak pernah merilis statistik soal penyebaran agama di Korut. Sebab, Korut secara resmi mendeklarasikan diri sebagai negara ateis. Prinsip dasar negara Korut merujuk pada ideologi Juche, yang menganut Marxist materialis. Karl Marx sangat mengkritik agama yang menurutnya ‘candu bagi masyarakat’.

Di Republik Rakyat Demokratik Korea, Juche dianggap sebagai ide besar, ciptaan khusus dari Pemimpin Besar, yang meskipun telah pergi ke alam baka, tetap menjadi presiden abadi negara tersebut. Salah satu landmark penting Pyongyang adalah Menara Juche, secara resmi disebut Menara Pemikiran Juche. Tingginya sekitar 560 kaki, lebih tinggi daripada Monumen Washington.

Namun, meskipun tak percaya agama, Korut melalui konstitusi negaranya mengklaim menjamin kebebasan beragama asalkan praktik keagamaan tidak memperkenalkan entitas dan pengaruh asing, merugikan negara, atau merusak tatanan sosial yang ada.

Menurut data Asosiasi Arsip Data Keagamaan Dunia (ARDA), sekitar 80 persen dari total 22,7 juta penduduk Korut tidak beragama atau ateis. Sekitar 10.000 warga Korut diyakini memeluk agama Kristen Protestan, 10.000 warga lainnya meyakini agama Budha, dan 4.000 orang memeluk agama Katolik.

Ada sekitar empat gereja yang dilaporkan beroperasi di Ibu Kota Pyongyang. Meski begitu, keempat gereja itu benar-benar dikontrol ketat pemerintah. Salah satu gereja, Chilgol Church juga dilaporkan dibangun sebagai kenang-kenangan atas kepergian mendiang ibu dari pendiri Korut sekaligus kakek Kim Jong-un, Kim Il-sung.

Sementara itu, Korut juga dilaporkan memiliki 300 kuil Buddha yang sebagian besar diklaim peninggalan budaya. Meski begitu, otoritas Korut mengklaim tetap mengizinkan kegiatan agama berlangsung di kuil-kuil tersebut. Beberapa kuil dan relik Buddha juga dilaporkan telah direnovasi atau direstorasi dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan ‘melestarikan warisan budaya bangsa Korea’.

Percaya dengan peramal dan roh

Ji-Min Kang warga Korut yang meninggalkan Pyongyang pada 2005 menuturkan, kebebasan beragama diperbolehkan, namun kebebasan ini sama sekali tidak ada di Korea Utara. “Oleh karena itu, lingkungan ini membuat banyak orang Korea Utara menjadi agnostik, tetapi beberapa tentu saja melakukan kegiatan keagamaan secara tertutup, namun seringkali dengan konsekuensi yang serius,” kata Ji-Min Kang, mengutip The Guardian.

Prinsip dasar sosialisme Korea Utara, menurutnya, sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan keyakinan agama. Jadi, mengingat pemujaan Tuhan sangat sulit di Korea Utara, apakah ini berarti juga tidak percaya pada roh, hantu, dan kehidupan setelah kematian?

Seperti di mana pun di dunia ini, ketika segala sesuatunya menjadi terlalu berat dan kehidupan menjadi sangat sulit, orang ingin tahu apa yang akan terjadi di masa depan mereka. Makhluk spiritual dianggap dapat membantu dalam hal ini, dan akibatnya, banyak warga Korea Utara menginvestasikan uang mereka untuk meramal.

Orang Korea Utara, ternyata lebih suka mempercayai roh daripada partai atau bangsa. Shamanisme, atau komunikasi manusia dengan dunia roh, adalah sesuatu yang sangat populer di Korea Utara, yang paling sering muncul dalam bentuk ramalan.

Beberapa orang Korea Utara begitu asyik dengan ramal meramal dan dunia roh sehingga mereka bahkan meminta peramal untuk menasihati tentang tanggal terbaik untuk pindah rumah atau untuk menikah. Dan banyak pembelot Korea Utara berbicara dengan peramal sebelumnya untuk meminta nasihat tentang tanggal terbaik untuk membawa keluarga mereka yang tersisa melintasi perbatasan ke Korea Selatan.

Pemerintah Korea Utara cenderung merasa tidak aman tentang perdukunan dan ramalan. Secara resmi mereka mencoba mencegah orang mengunjungi peramal melalui kampanye propaganda khusus dari waktu ke waktu. Tapi meramal begitu mengakar dalam masyarakat sehingga sudah terlambat bagi propaganda ini untuk berdampak: bahkan pejabat pemerintah pun merasa skeptis dengan propaganda tersebut, karena cerita tentang hantu atau roh bukan lagi cerita asing bagi mereka.

Para elite top Korea Utara juga sering mengundang peramal terkenal ke Pyongyang dengan keramahan yang hangat, seringkali untuk mengetahui lebih banyak tentang masa depan mereka.

Propaganda menunjukkan bahwa keabadian dimungkinkan melalui dukungannya terhadap ideologi Kim Il-sung. Propaganda mengatakan bahwa meskipun tubuh Anda akan binasa setelah kematian, kehidupan politik itu abadi. Keyakinan seperti itu menjadikan Kim Il-sung satu-satunya ‘Tuhan’ di Korea Utara – dan mendasari sistem kepercayaan negara yang terkadang menuntut nyawa warganya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button