Kanal

TikTok: ‘Candu’ Digital Sarat Kontroversi

TikTok adalah salah satu platform media sosial yang paling cepat perkembangannya. Empat tahun setelah peluncurannya, TikTok alami ledakan popularitas, 500 juta pengguna di akhir 2019 dan terus berkembang sampai sekarang.

Douyin adalah cikal bakal TikTok. Aplikasi video pendek besutan perusahaan China, ByteDance mampu memiliki 100 juta pengguna dan 1 miliar tayangan video setiap harinya. Karena itu Douyin berekspansi dan mengganti nama jadi TikTok.

Mungkin anda suka

Pada awal ekspansinya, TikTok menjadi viral dengan cepat, khususnya di Jepang dan Thailand. TikTok menjadi aplikasi gratis yang paling banyak diunduh di dua App Store masing-masing negara pada 2017.

Awal kemunculannya di Indonesia, TikTok menuai kecaman. Pasalnya isi kontennya oleh tarian pendek dan prank,setidaknya ada 2.853 laporan masyarakat selama kurun waktu satu bulan sejak peluncuran aplikasi tersebut.

Kala itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudi Antara menilai TikTok memiliki banyak sekali konten negatif yang cenderung mengarah ke pornografi, pornoaksi, kekerasan, kebencian, serta pelecehan. Sehingga pada 3 Juli 2018 Kominfo resmi memblokir TikTok di Indonesia.

Tak ingin kehilangan peluang di Indonesia, Kelly Zhang, CEO TikTok langsung datang ke Indonesia dan mengadakan perjanjian kerja sama dengan pemerintah Indonesia.

Zhang menyanggupi peraturan pemerintah dengan adanya batasan usia minimal 16 tahun dan menghapus konten negatif yang ada di dalam aplikasi. Selain itu, TikTok juga berjanji akan merekrut 200 orang pegawai yang akan mengawasi konten-konten di Indonesia.

Mata-Mata Digital

TikTok adalah mesin penyedot data yang baik. Teknologi kecerdasan buatannya mampu memahami penggunanya dengan sangat baik bahkan lebih baik dari si penggunanya itu sendiri. TikTok juga membuka kreativitas dari para penggunanya dan tanpa batas.

Beberapa pihak mengatakan algoritmanya jauh lebih canggih dari Facebook. Bahkan TikTok bisa membaca setiap ketukan dan geseran yang ada di ponsel penggunanya. Ketika seseorang menggunakannya, platform ini sudah bisa memprediksi hal-hal apa saja yang disukai atau tidak disukai.

CEO Corporate Innovation Asia (CIAS) Indrawan Nugroho melalui kanal Youtubenya, menyampaikan dugaannya yang menilai platform ini sebagai mata-mata digital untuk pemerintahan China.

“Tahukah anda bahwa secara hukum TikTok wajib menyetor datanya ke pemerintahan China? Bayangkan saja seluruh data yang dikumpulkan TikTok bertahun-tahun terhadap penduduk di 154 negara diolah, dianalisa, dan digunakan untuk kepentingan militer dan propaganda China. Itu yang membuat berbagai pemerintah di sebuah negara khawatir,” ucap pria kelahiran Jakarta 8 November 1976 ini.

Dugaan ini bukan isapan jempol semata, karena melansir BBC, Rabu (17/8/2022), perusahaan-perusahaan teknologi besar China seperti Alibaba dan TikTok menyerahkan data algoritmanya kepada pemerintah. Langkah ini dilakukan melalui kerja sama pemerintah dan perusahaan-perusahaan tersebut sebagai upaya untuk mengekang penyalahgunaan data.

Adapun data algoritma yang diserahkan adalah minat pengguna dari apa yang mereka klik, komentar, suka atau tidak suka. Penyerahan data algoritma ini diwarnai berbagai tanggapan.

Beberapa pihak menyatakan penyerahan data ini merupakan upaya Pemerintah China untuk dapat mengendalikan masyarakatnya hingga upaya Pemerintah China agar teknologi mereka tidak jatuh ke tangan negara lain. Tujuan untuk mengekang penyalahgunaan data akhirnya hanya menjadi alasan umum.

Dampak Bagi Kesehatan

Di balik kesenangan dan keseruannya saat diakses pengguna, TikTok dapat memberikan dampak buruk kepada kesehatan, terutama kognitif otak. Sebuah riset di bidang psikologi menemukan bahwa remaja atau orang yang kecanduan TikTok, cenderung mengalami peningkatan depresi dan gangguan kecemasan. Kondisi ini bahkan disebut dapat mengurangi kapasitas memori di otak.

Temuan tersebut diterbitkan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health, karya Peng Sha dan Xiaoyu Dong. Dalam proses penelitiannya, kuesoiner dibagikan kepada 3.036 siswa sekolah menengah di China.

Kemudian, para siswa diminta menyelesaikan tes rentang angka maju dan mundur untuk menilai memori kerja verbal mereka. Tes ini menilai kemampuan siswa untuk mengingat urutan nomor dan mengulanginya kembali, baik dalam urutan yang sama atau sebaliknya.

Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang ‘kecanduan’ memiliki penurunan kapasitas memori kerja. Siswa-siswa kelompok ini juga punya skor tinggi untuk kondisi depresi, kecemasan, dan stres.

TikTok Ancam Keselamatan Pengguna

Konten TikTok kerap kali membahayakan penggunanya khususnya anak-anak dan remaja. Misalnya, dengan adanya TikTok Challenge yang anak-anak sering ikut-ikutan dan berbahaya. Contohnya Benadryl Challenges lalu kemudian Black Out Challenge.

Di tahun 2020, diketahui seorang remaja meninggal setelah mengkonsumsi antihistamin Benadryl dalam jumlah besar sebagai bagian dari tantangan, melibatkan orang-orang yang meminum obat dosis berlebih untuk berhalusinasi dan kemudian merekam reaksi mereka dan mengunggahnya ke akun mereka.

Pada tahun yang sama tepatnya bulan Mei, tiga remaja dari Texas juga dilarikan ke rumah sakit setelah meminum obat dalam dosis berlebihan untuk tantangan Benadryl Challenge ini.

Ketiganya sembuh, tetapi salah satu remaja memiliki detak jantung 199, karena overdosis obat dapat menyebabkan masalah pada jantung. Di mana detak jantung normal adalah 60-100 detak per menitnya.

Di Indonesia, aksi maut untuk menaklukan challenge TikTok juga terjadi. Pada bulan Juli 2021, sekelompok remaja melakukan Challenge Malaikat Maut dengan cara menghentikan truk secara mendadak.

Kejadian ini menimbulkan banyak korban. Berdasarkan laporan Kasatlantas Polres Metro Bekasi, terdapat sembilan kasus serupa di Bekasi pada waktu itu.

Di bulan Juni 2022, kecelakaan akibat segerombolan remaja menghadang truk di jalan juga terjadi. Seorang remaja laki-laki diketahui tewas akibat melakoni tantangan itu.

Remaja itu diketahui sedang mencoba menghentikan truk tronton yang melintas di tikungan, namun aksinya itu gagal dan membuatnya kehilangan nyawa.

Melihat dari sederet kontroversi yang menyelimuti platform ini, dapat disimpulkan bahwa apapun yang berlebihan tidaklah baik. Jadikan TikTok hanya sebagai hiburan, jangan sembarangan mengikuti akun yang populer.

Ingat, tidak ada kewajiban bagi kita untuk terus merespon, meng-update, atau upload konten pada akun TikTok. Tapi interaksi sosial dengan orang sekitar adalah hal yang penting dan wajib dipenuhi untuk menjauhkan diri dari penurunan kesehatan mental dan menjaga stabilitas emosi, sekaligus menjaga privasi diri dari orang di luar sana.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button