Transformasi Hilirisasi Nikel Menuju Industri Hijau Butuh Langkah Konkret


Pemerintah terus mendorong program hilirisasi nikel sebagai bagian dari strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen yang diamanatkan dalam Asta Cita. 

Namun, transformasi menuju industri hijau dalam sektor ini masih menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan langkah konkret agar sejalan dengan komitmen keberlanjutan dan penciptaan lapangan kerja ramah lingkungan (green jobs).

Keseriusan pemerintah dalam hilirisasi nikel dibuktikan dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 yang menetapkan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. 

Presiden Prabowo Subianto menunjuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebagai ketua satgas untuk mempercepat pengembangan sektor nikel guna meningkatkan nilai tambah ekonomi dan mewujudkan ketahanan energi nasional.

Kebijakan hilirisasi nikel diklaim telah meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2–21,6 persen serta menyerap 13,83 juta tenaga kerja dalam satu dekade terakhir. Namun, studi terbaru Koaksi Indonesia mengungkap bahwa manfaat ekonomi ini belum sepenuhnya dirasakan masyarakat di daerah penghasil nikel. Bahkan, di Halmahera Selatan dan Konawe, tingkat kemiskinan justru menunjukkan tren peningkatan, diiringi dengan dampak lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.

Tantangan Hilirisasi Nikel

Studi Koaksi Indonesia menyoroti bahwa hilirisasi nikel masih jauh dari prinsip keberlanjutan karena praktik yang diterapkan belum sepenuhnya memenuhi standar Environmental, Social, and Governance (ESG). Penggunaan energi fosil, seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara, masih mendominasi sektor pengolahan nikel dan berkontribusi besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK).

“Masih banyak pekerjaan rumah dalam hal dekarbonisasi dan perlindungan sosial pekerja. Hilirisasi nikel yang berjalan saat ini belum bisa dikatakan sebagai green jobs, karena lemahnya perlindungan tenaga kerja dan dampak sosial yang ditimbulkan,” ujar Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia dalam keterangannya, Sabtu (25/1).

Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Taufik Achmad, menegaskan bahwa industri nikel harus bertransformasi dengan mengadopsi teknologi ramah lingkungan. “Smelter nikel akan menunjang transisi energi, tetapi jika tidak dilakukan dekarbonisasi, maka manfaatnya akan berkurang. Penerapan teknologi rendah karbon harus segera dilakukan,” katanya.

Selain itu, industri nikel Indonesia juga menghadapi tantangan dalam memenuhi persyaratan ESG yang semakin ketat dari pasar global. Uni Eropa dan Amerika Serikat, sebagai pasar utama, mulai menerapkan regulasi ketat terkait sertifikasi keberlanjutan yang berpotensi menjadi hambatan ekspor bagi nikel Indonesia.

Menuju Hilirisasi Berkelanjutan

Untuk mencapai industri nikel yang berkelanjutan, diperlukan kolaborasi multipihak antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sipil. Meidy Katrin Lengkey, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), menegaskan bahwa regulasi yang lebih adaptif terhadap standar global harus segera dirumuskan.

“Kami menghadapi tantangan dalam mendapatkan paspor baterai untuk nikel Indonesia agar bisa bersaing di pasar Eropa. Pemerintah perlu mempercepat penerapan regulasi ESG yang sesuai dengan kebutuhan industri,” ujar Meidy.

Selain itu, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di sektor smelter menjadi langkah penting dalam transformasi menuju industri hijau. Reza Rahmaditio, Critical Minerals Transition Project Lead WRI Indonesia, menyatakan bahwa kebutuhan energi smelter yang besar bisa menjadi peluang bagi pengembangan EBT di Indonesia.

“Jika kebutuhan energi smelter digantikan dengan energi bersih, seperti tenaga surya dan angin, maka akan terbuka peluang penciptaan green jobs di sektor manufaktur pendukung, seperti produksi panel surya dan turbin angin,” jelas Reza.

Perlunya Langkah Konkret

Untuk memastikan hilirisasi nikel dapat benar-benar bertransformasi ke arah industri hijau, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret, di antaranya:

1. Regulasi ESG yang Ketat dan Transparan: Pemerintah harus segera menerapkan regulasi yang mengakomodasi standar ESG global untuk meningkatkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional.

2. Investasi dalam Teknologi Hijau: Perusahaan tambang dan smelter harus mulai berinvestasi pada teknologi rendah karbon untuk mengurangi emisi dan meningkatkan efisiensi produksi.

3. Perlindungan Hak Pekerja: Penguatan regulasi tenaga kerja untuk memastikan upah yang layak, keselamatan kerja, dan jaminan sosial bagi pekerja di sektor nikel.

4. Transparansi Data dan Akuntabilitas: Meningkatkan keterbukaan data terkait dampak lingkungan dan sosial dari hilirisasi nikel agar publik dapat melakukan pengawasan yang lebih efektif.

5. Kolaborasi Multipihak: Membangun koordinasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Dengan langkah konkret yang terarah, hilirisasi nikel diharapkan tidak hanya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi motor utama dalam transisi energi bersih dan penciptaan lapangan kerja hijau yang layak dan berkelanjutan di Indonesia.

Harapan ke Depan

Ke depan, pemerintah diharapkan mampu mempercepat transformasi hilirisasi nikel dengan mengedepankan prinsip ekonomi hijau. Elly Rosita Silaban, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, menegaskan bahwa keterlibatan pekerja dalam transisi ini sangat penting.

“Green jobs bukan sekadar slogan, tetapi harus diwujudkan dengan langkah nyata, termasuk sosialisasi kepada pekerja dan penyediaan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri masa depan,” tegasnya.

Dengan berbagai tantangan dan peluang yang ada, transformasi hilirisasi nikel menjadi industri hijau hanya bisa dicapai melalui sinergi yang kuat dari semua pemangku kepentingan.