Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansah menilai Perum Bulog tidak transparan dalam menjalankan impor beras. Sehingga muncul kecurigaan publik yang berujung laporan ke KPK.
Yang dimaksud area gelap dalam kebijakan impor beras Perum Bulog, kata dia, terkait munculnya biaya tambahan akibat keterlambatan pengembalian peti kemas (demurrage) serta selisih harga dari kesepakatan awal (mark-up).
“Sekarang semua harus diperiksa, karena ada impor tidak benar dan mekanisme pengadaan yang tidak benar,” kata Trubus, Jakarta, Selasa (23/7/2024).
Menurut dia, pengadaan impor beras untuk stok dalam negeri tersebut membutuhkan transparansi dan evaluasi untuk mencegah timbulnya hal-hal yang dapat melahirkan kerugian negara.
Ia mengharapkan Perum Bulog, yang sangat berperan dalam mengamankan penyediaan pangan, lebih terbuka kepada publik terkait mekanisme lelang impor beras serta hal-hal lain terkait pengadaan untuk pemenuhan stok nasional.
“Masih sangat jauh dari transparan selama ini. Tidak pernah dibuka. Kadang-kadang beras membusuk di gudang, mau impor lagi, padahal beras kemarin sudah banyak,” kata pakar dari Universitas Trisakti ini.
Tentu saja, dugaan Trubus ada dasarnya. Memang banyak yang aneh-aneh terkait proses impor beras yang dilakukan Perum Bulog.
Sebut saja, mekanisme tak wajar terkait kapal pengirim beras asal Vietnam yang semestinya langsung ke Indonesia, ternyata ‘parkir’ dulu ke Singapura. Pihak pengekspor dari Vietnam pun dibuat bingung dengan skema pengapalan (shipment) ini.
Tak kunjungnya diusut, memunculkan dugaan kasus ini sengaja dibiarkan menguap begitu saja. Padahal fakta-fakta adanya maladministrasi yang menyebabkan negara berpotensi merugi sudah terpampang ke publik.
Berdasarkan dokumen sementara Tim Riviu Kegiatan Pengadaan Beras Luar Negeri pada 17 Mei 2024 yang diteken Plh Kepala SPI Arrahim K Kanam menyebut adanya masalah dalam dokumen impor yang tidak proper dan komplet.
Karena dokumen tak komplet itu, menimbulkan denda atau biaya demurrage yang terjadi di wilayah pabean/pelabuhan Sumut, DKI Jakarta, Banten dan Jatim.
Dokumen itu juga menyebutkan bahwa kebutuhan clearance di wilayah pabean atau pelabuhan belum dapat dilakukan lantaran dokumen impor belum diterima melebihi waktu yang telah ditentukan.
Dokumen tersebut mengungkap telah terjadi kendala pada sistem Indonesia National Single Windows (INWS) di kegiatan impor tahap 11 yang dilakukan pada Desember 2023.
Dalam dokumen riviu juga disebutkan terjadinya biaya demurrage atau denda karena perubahan Perjanjian Impor (PI) dari yang lama ke baru.
Ada juga soal phytosanitary yang expired dan kedatangan container besar dalam waktu bersamaan sehingga terjadi penumpukan container di pelabuhan.
Akibat tidak proper dan kompletnya dokumen impor serta masalah lainnya, telah menyebabkan biaya demurrage atau denda senilai Rp294,5 miliar. Rinciannya Sumut Rp22 miliar, DKI Rp94 miliar dan Jawa Timur Rp177 miliar.