Selama berminggu-minggu, Presiden Donald Trump bersikukuh dengan rencana mengenakan tarif baru impor yang tinggi meskipun ada peringatan kebijakan tersebut dapat memicu kekacauan ekonomi. Pada 9 April, setelah pasar saham global anjlok selama beberapa hari, ia mengubah arahnya.
Dalam unggahan di media sosial, Trump mengatakan bahwa serangkaian tarif impor baru dari banyak mitra dagang terbesar Amerika telah dihentikan sementara. Pengumuman itu muncul hanya 13 jam setelah bea masuk mulai berlaku. Trump mengindikasikan bahwa gejolak di pasar keuangan setelah penerapan tarif turut memengaruhi keputusannya.
Trump mengumumkan jeda selama 90 hari atas apa yang disebut pemerintah sebagai tarif ‘timbal balik’ atas impor dari hampir 60 negara dan Uni Eropa. Tarif tersebut disesuaikan dengan masing-masing mitra dan besarnya surplus perdagangan dengan AS.
Impor dari mitra dagang tersebut sekarang akan dikenakan bea masuk tetap sebesar 10 persen terhadap barang yang datang dari semua negara asing mulai 5 April. China, salah satu negara yang dikenai tarif timbal balik, tidak termasuk dalam jeda tersebut. Sebaliknya, Trump mengumumkan bahwa ia akan menaikkan tarif atas barang-barang China menjadi 125 persen dari 104 persen.
Keputusan Trump muncul setelah Beijing mengumumkan rencana untuk membalas dengan bea masuk sebesar 84 persen terhadap barang-barang Amerika. Dalam postingannya Rabu (9/4/2025), Trump mengatakan bahwa negara-negara lain yang dikenai tarif “tidak melakukan pembalasan dalam bentuk apa pun, sesuai dengan saran saya”.
Mengapa Dilakukan Jeda?
Penerapan tarif timbal balik menyebabkan kekacauan pasar dan memicu ketakutan akan resesi. Trump mendapat tekanan besar dari para pemimpin bisnis dan investor untuk mengubah arah. “Saya pikir orang-orang mulai bertindak sedikit berlebihan,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih ketika ditanya mengapa memundurkan rencananya. “Mereka mulai sedikit marah, sedikit takut.”
Unggahan Trump yang mengumumkan jeda tersebut menunjukkan bahwa tujuannya adalah memberi mitra dagang AS kesempatan untuk membuat kesepakatan guna menghindari tarif.
Trump dan pejabat AS lainnya mengatakan mereka ingin negara-negara mengambil tindakan yang mencakup pengurangan tarif mereka sendiri serta hambatan perdagangan lainnya. Misalnya mencakup regulasi, kuota, subsidi bagi produsen dalam negeri, dan perlindungan yang tidak memadai terhadap kekayaan intelektual.
Trump berpendapat bahwa defisit perdagangan AS merupakan akibat dari hambatan perdagangan dan ingin menghilangkannya. Ada kemungkinan bahwa ketika jeda 90 hari berakhir pada awal Juli, negara-negara yang belum menegosiasikan kesepakatan dengan AS akan kembali menghadapi tarif baru tersebut.
Trump juga dapat mengumumkan penangguhan lainnya. Ia menunda penerapan tarif pada beberapa impor dari Meksiko dan Kanada sebanyak dua kali.
Saham melonjak menyusul pengumuman Trump tentang penghentian sementara beberapa tarif. Indeks S&P 500 melonjak 9,5 persen, lonjakan indeks terbesar dalam satu hari sejak 2008. Pergerakan terbaru ini mengakhiri minggu penuh gejolak yang dimulai ketika Trump mengejutkan dunia dengan mengumumkan bahwa ia akan mengenakan tarif AS tertinggi dalam lebih dari satu abad. Harga minyak, yang telah merosot dalam beberapa hari terakhir akibat kekhawatiran perlambatan ekonomi global, juga naik karena berita terbaru.
Keputusan untuk mengenakan tarif, yang diumumkan Trump pada 2 April, membebani suasana hati konsumen yang sudah memburuk. Bank-bank Wall Street telah meningkatkan kemungkinan terjadinya resesi global tahun ini.
Para analis mengatakan prospek harga yang lebih tinggi dan aktivitas bisnis yang semakin hati-hati akan menghambat pertumbuhan ekonomi serta mungkin menyebabkan ekonomi berkontraksi.
Melonjaknya pasar saham setelah janji Trump untuk menghentikan beberapa tarif melegakan banyak orang di Wall Street. Berita tersebut mendorong para ekonom di Goldman Sachs Group Inc untuk membatalkan perkiraan resesi mereka.
Namun ketidakpastian yang mendalam seputar langkah Trump selanjutnya, dikombinasikan dengan dampak tarif yang saat ini masih berlaku, termasuk pungutan tinggi pada impor dari China, telah membuat banyak pemimpin perusahaan dan investor gelisah. Perekonomian akan tetap tertekan jika kekhawatiran tersebut menyebabkan penurunan pengeluaran masyarakat secara substansial.