Dalam beberapa referensi disampaikan bahwa untuk melesat maju, suatu negara harus memperhatikan aspek pemanfaatan teknologi digital. Bernard Marr (2022) dalam Future Skills misalnya, menyebut betapa pentingnya literasi digital dalam kehidupan sehari-hari. Literasi digital didefinisikan sebagai keterampilan yang dibutuhkan untuk belajar, bekerja, dan menjalani kehidupan sehari-hari di dunia yang semakin digital.
Lebih lanjut, Marr menyatakan bahwa penting untuk memiliki kemampuan perangkat lunak dan aplikasi digital baik di kehidupan sehari-hari, di lingkungan pendidikan, maupun di tempat kerja. Lalu, bagaimana dalam konteks Indonesia yang kita tahu masih memiliki keterbatasan dalam pemerataan teknologi informasi dan komunikasi? Ada arena di mana digitalisasi dan internalisasi teknologi menjadi utama, namun di arena lain banyak persoalan yang harus ditangani secara serius.
Dalam konteks pendidikan, saya meyakini kekuatan struktural menjadi bagian penting dalam membangun pendidikan di Indonesia. Prof. Tilaar (2009) dalam buku ‘Kekuasaan dan Pendidikan’ memaparkan, “hasil pendidikan dari lembaga pendidikan yang kurang jelas arahnya tentu rendah kualitasnya.”
Tawaran dari Prof. Tilaar masih menarik untuk didiskusikan. Ia menyampaikan bahwa birokrasi pendidikan harus diisi oleh para profesional, begitu juga dengan para guru, kepala sekolah, pengawas, dan kepala dinas pendidikan di daerah. Visi dan misi mereka sangat menentukan arah pendidikan di berbagai jenjang. Ini artinya, ketika bicara tentang realitas politik, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) yang dipilih oleh Presiden periode mendatang haruslah sosok yang memahami kompleksitas pendidikan dan memiliki visi serta misi yang kokoh.
![0711_030441_980e_inilah.com_-1024x683.jpg](https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/09/0711_030441_980e_inilah_com_1024x683_93d7677ae9.jpg)
Coba bayangkan, jika pendidikan yang memiliki urgensi besar dalam mengkreasi manusia Indonesia dipimpin oleh sosok yang minim visi yang kokoh tentang masa depan bangsa Indonesia. Tentu akan berakibat pada kebijakan yang dilahirkan dan juga orang-orang yang dipilih untuk menggerakkan laju birokrasi. Apalagi dalam realitasnya, pendidikan selalu tarik-menarik dengan berbagai variabel dan tidak hampa udara. Ada pengaruh dari berbagai sisi, misalnya realitas politik, sosial, dan ekonomi. Dinamika di eksternal pendidikan sangat berpengaruh pada ruang pendidikan.
Kondisi tersebut mengharuskan punggawa birokrasi pendidikan untuk menjadi sosok-sosok yang cerdas dan tangguh dalam memahami dinamika pendidikan dan kaitannya dengan berbagai persoalan yang ada di Indonesia maupun global. Punggawa birokrasi ini harus menyerap suara jernih dari lapangan pendidikan, termasuk kegawatan-kegawatan yang terjadi. Republik ini sudah 79 tahun, dan problematika tentang pendidikan masih menjadi hal yang terpapar nyata dalam kehidupan keseharian.
Kepercayaan bahwa pendidikan yang berkualitas akan mengubah wajah bangsa ini masih menjadi pegangan, namun realitas untuk menciptakan ikhtiar tersebut masih membentur tembok tebal. Pendidikan negeri ini seolah selalu tak memiliki orientasi dan memerlukan reorientasi terus-menerus. Para punggawa pendidikan harus memiliki orientasi pendidikan yang jelas yang didasarkan pada masalah yang dihadapi masyarakat dan mencoba menjawab persoalan tersebut.
Saya mencoba berpikir ala pemerintah yang sangat mempercayai data-data dari lembaga internasional. Mari kita cuplik hasil PISA 2022 yang memaparkan bahwa dalam penilaian matematika, membaca, dan sains, rata-rata hasil tahun 2022 turun dibandingkan dengan tahun 2018.
Agak mencengangkan ketika disampaikan bahwa hasil tahun 2022 termasuk yang terendah yang diukur PISA dalam ketiga kemampuan tersebut, setara dengan hasil pada tahun 2003 dalam membaca dan matematika, serta 2006 pada bidang sains. Lebih lanjut dipaparkan bahwa selama periode terbaru (2018 hingga 2022), kesenjangan antara siswa dengan skor tertinggi (10% dengan skor tertinggi) dan siswa terlemah (10% dengan skor terendah) menyempit dalam matematika, sementara itu tidak berubah secara signifikan dalam membaca dan sains.
Dalam potret yang lebih luas, jika diinventarisir, ada banyak realitas kehidupan yang mengancam kehidupan manusia, mulai dari perang antar negara, virus penyakit yang mudah muncul, krisis iklim, bencana ekologis, perebutan sumber daya ekonomi-politik antar bangsa, bahkan sampai realitas politik yang tak menentu di negeri sendiri. Kira-kira kebijakan pendidikan seperti apa yang harus dibangun untuk menghadapi kondisi kronis dan kompleks di berbagai sisi kehidupan tersebut? Di lapisan implementasi, bagaimana proses pendidikan dikonstruksi untuk memberikan perhatian luas terhadap berbagai isu yang begitu besar tersebut? Lalu, apakah semua harus dijejalkan ke pikiran anak-anak kita? Dan seberapa berguna pengetahuan dan keterampilan tersebut bagi kehidupan sang anak?
Memperhatikan data itu, kira-kira upaya apa yang harus dilakukan oleh pembuat kebijakan? Jika memperhatikan data, sepertinya kita tak perlu bermewah-mewah ingin melesat tinggi dengan digitalisasi dan teknologi. Kita hanya perlu fokus pada bagaimana anak-anak Indonesia dapat mengakses pendidikan sehingga mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang memadai dalam mengarungi tantangan zaman. Secara mendasar, jika masih menggunakan data PISA sebagai rujukan, maka numerasi dan literasi menjadi yang utama. Lalu, apakah hal mendasar tersebut sudah terpenuhi?
Menguatkan Nalar dan Mengasah Kemanusiaan
Ketika akses dan kualitas pendidikan sudah diupayakan secara optimal, maka pendidikan secara lebih lanjut dapat menjadi ruang aktual untuk menguatkan nalar dan mengasah kemanusiaan. Artinya, pendidikan perlu memberi keleluasaan bagi anak untuk menggunakan hati dan pikirannya. Mengasah kemanusiaan pun bukan sekadar teori yang diumbar di ruang kelas. Atau dengan gaya klasik seperti pengarahan dari kepala sekolah, yang sering membuat anak bosan dan justru asyik sendiri bicara dengan teman-teman di sekitarnya.
Mengasah kemanusiaan juga tidak dapat dihadirkan melalui pertanyaan pilihan ganda. Rasa kemanusiaan hadir dari dalam jiwa yang diasuh oleh guru-guru dan orang tua berbudi luhur. Dalam praktik-praktik harian yang bisa saja sangat sederhana, seperti memulai anak-anak tersenyum, saling sapa, saling cerita kehidupan keseharian, atau mengajak mereka berbagi dengan pihak yang serba berkekurangan. Intinya, membuat anak-anak tahu diri dan tahu lingkungan sekitar, serta membangun empati. Dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara (2013), tujuan pendidikan perlu mengutamakan kefaedahan kebudayaan dan kemasyarakatan, artinya bertumpu pada komunitas. Kita masuk ke upaya meningkatkan kualitas kemanusiaan di dalam diri.
Pengetahuan tentang ruang hidup masyarakat Indonesia harus dibangun di ruang pendidikan. Jika kita membaca Laporan UNICEF (2020) tentang Situasi Anak Indonesia, persoalan terkait kesehatan, gizi, air, sanitasi, kebersihan, pengasuhan, akses pendidikan dasar dan menengah, perlindungan anak, bencana, dan isu lingkungan masih sangat mendominasi.
Cerita-cerita itu perlu dihadirkan di ruang-ruang kelas, tentu dengan mempertimbangkan usia dan kematangan anak-anak. Anak-anak harus tahu bahwa selain ada narasi tentang kekayaan negeri ini, ada juga kisah ketidakadilan yang masih menimpa teman-teman mereka di penjuru nusantara. Anak-anak dapat diajak menyelusuri kehidupan bangsa ini melalui bacaan-bacaan yang membuka kesadaran mereka.
![hari pendidikan nasional5.jpg](https://i2.wp.com/c.inilah.com/reborn/2024/04/hari_pendidikan_nasional5_937e902282.jpg)
Utamanya di tingkat menengah, pelajaran Matematika perlu mengajak anak-anak menghitung laju deforestasi hutan. Pelajaran Ekonomi menghitung kerugian akibat gundulnya hutan untuk industri ekstraktif. Pendidikan Agama harus mencari seruan Tuhan yang mengajarkan perlawanan terhadap kerakusan manusia yang merusak alam dan sesama manusia. Pendidikan Pancasila menguatkan fundamen moral dan kebangsaan agar bangsa ini tak hanya dibangun dengan dasar kekuasaan dan ketamakan. Sosiologi membawa mereka menyelami masyarakat Indonesia yang multikultur.
Di tengah arah pendidikan yang selalu berorientasi ekonomis, untuk pembentukan tenaga kerja masa depan, seperti dikemukakan Giroux, proses yang perlu dihadirkan adalah membentuk agency anak-anak sebagai subjek didik. Agency berarti kesadaran anak-anak terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi yang ada di sekitar mereka. Ini berarti anak-anak negeri ini harus memiliki kekuatan untuk melakukan interpretasi kehidupan keseharian dan bahkan mengubah situasi kronis saat ini. Kekuatan daya kritis dan kemampuan membaca situasi menjadi hal utama bagi anak-anak tersebut.
Anak-anak itu memiliki kekuatan pendobrak karena sudah memiliki kesadaran kritis. Sehingga mereka tidak mudah diombang-ambing oleh kenyataan kehidupan yang sering kali tidak tentu arah. Apalagi, ketika mereka memperhatikan apa yang diajarkan “ideal” di ruang kelas, akan sangat berbeda dengan apa yang ada di kehidupan nyata. Jika di ruang kelas mereka diajar tentang pentingnya menghormati orang, tidak korupsi, dan pendidikan yang membawa mereka meraih cita-cita terbaik, maka di kenyataan tidak semudah itu semuanya terealisasi.
Mereka akan terbentur sulitnya mencari pekerjaan ketika usia sudah terlewat, berhadapan dengan pihak yang memiliki relasi yang kuat dengan perusahaan, dan bertemu dengan situasi di mana kaum terdidik bisa jadi bengis dan perundung yang hebat. Anak-anak itu juga bisa berhadapan dengan situasi di mana keterampilan yang mereka miliki ternyata tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja. Para pemuda diharapkan memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kompetensi yang selalu selaras dengan kebutuhan pasar kerja. Benturan-benturan tersebut akan dihadapi, jadi mau tak mau mereka harus siap.
Manajemen pendidikan yang memberikan kekuatan pendidikan yang mampu membangun agency sangat diperlukan. Tak mudah, tentu saja, sebab jika itu mudah, tentu tidak akan banyak problema kehidupan yang mengelayuti bangsa ini hingga kini. Lalu, apakah tugas Mendikbudristek baru akan mudah? Tentu saja tidak akan mudah.
Apalagi ada banyak janji politik terkait pendidikan yang harus digenapi dalam waktu lima tahun ke depan, seperti membangun sekolah-sekolah unggul terintegrasi di setiap kabupaten dan memperbaiki sekolah-sekolah yang perlu direnovasi; penguatan pendidikan, sains dan teknologi, serta digitalisasi; dan memberi makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Di dalam janji “besar” itu pun terdapat turunan janji yang lebih detail dan perlu eksekusi presisi. Jika membaca janji kampanye yang sudah disampaikan, nampak betul tak mudah untuk merealisasikannya sebab membutuhkan anggaran dan penerapan yang tepat sasaran.
Masih sangat terlihat bahwa pemerintah ke depan memiliki pekerjaan besar untuk mengurangi ketimpangan pendidikan, sains, dan teknologi di Indonesia. Belum lagi soal seringnya ada ketidaksinambungan antara kebijakan pendidikan di satu kepemimpinan dengan kepemimpinan selanjutnya. Jika kita percaya bahwa pendidikan mampu menjadikan warga negara yang cerdas, tercerahkan, sejahtera, dan setara, maka sudah tentu para pemimpin harus menjadikan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada setiap anak bangsa di bumi Indonesia sebagai prioritas utama.