Market

Awas Deal-deal di Ruang Gelap, Perpanjangan Kontrak Freeport di Tahun Politik

Ngebetnya Presiden Jokowi memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia (Freeport/PTFI) hingga 2061, mengundang kecurigaan. Jatuh tempo kontraknya 18 tahun lagi, kok mau diberi perpanjangan.

Ekonom UPN Jakarta, Achmadi Nur Hidayat menyayangkan sikap Presiden Jokowi yang justru akan melahirkan syak wasangka. Tak bagus untuk iklim ekonomi, apalagi menjelang Pemilu 2024.

“Keputusan untuk mengeksplorasi opsi perpanjangan sejak dini ini, dapat menimbulkan kecurigaan. Terutama mengenai motivasi sebenarnya di balik langkah tersebut. Aroma kepentingan politisnya sangat kuat sehingga keputusan perpanjangan kontrak Freeport di tahun politik 2023-2024 ini, harus ditolak,” kata Matnur, sapaan akrabnya, Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Akan berbeda jika wacana perpanjangan kontrak Freeport dilakukan 1-2 tahun sebelum masa kontraknya habis pada 2041. Di mana, negara memiliki kesempatan untuk melakukan analisis menyeluruh tentang kinerja Freeport dan memastikan bahwa keputusan apapun yang dibuat benar-benar menguntungkan rakyat, dan ekonomi Indonesia.

“Selama masa kontrak Freeport yang masih tersisa 18 tahun ini, banyak yang bisa dipersiapkan pemerintah Indonesia untuk bisa mengelola tambang Freeport secara mandiri. Seharusnya Presiden Jokowi yang masa jabatannya berakhir tahun depan ini, memberikan kesempatan kepada pemerintahan berikutnya untuk bisa mempersiapkan solusi yang lebih baik,” terangnya.  

Asal tahu, saat ini, cadangan emas terbukti di tambang Freeport sebesar 26,3 juta troy ons. Atau setara dengan operasi 15 tahun. Cadangan terbukti tembaga Freeport mencapai 30,8 miliar pound. Setara dengan operasi 20 tahun. Artinya, perpanjangan kontrak 20 tahun setelah jatuh tempo pada 2041, penuh misteri.

Rugi Rp1.000 Triliun

Berdasarkan laporan keuangan Freeport-McMoran Tahun 2022, tercatat pendapatan US$ 22,78 miliar. Atau setara Rp341,7 triliun dengan kurs Rp15.000/US$.

Di mana, 37 persen dari total pendapatan itu, atau sekitar US$8,43 miliar yang setara Rp126,39 triliun, berasal dari tambang emas Freeport di Papua (Indonesia).

“Jika Indonesia menguasai seratus persen saham Freeport tanpa perpanjangan kontrak, maka seluruh pendapatan operasional dari Indonesia yang 8,43 miliar dolar AS itu kembali ke Indonesia. Secara teori bisa masuk ke kas negara, setiap tahun,” kata Matnur.

Dalam 20 tahun, kata dia, dengan kepemilikan penuh atau tak ada perpanjangan kontrak, maka US$ 8,43 miliar dikalikan 20, ketemu US$168,6 miliar atau setara Rp2.529 triliun.

“Ini merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan skenario kepemilikan 51 persen di mana hanya sebagian pendapatan yang masuk ke kas negara,” ungkapnya.

Namun, masih kata Matnur, angka tersebut (Rp2.529 triliun), masih bersifat teoritis. karena tidak memperhitungkan faktor-faktor lain, seperti biaya operasional, investasi pemeliharaan dan pengembangan tambang, serta fluktuasi harga komoditas.

Selain itu, ada juga pertimbangan terkait dampak lingkungan dan sosial yang harus diperhitungkan dalam pengelolaan tambang.

“Intinya, perpanjangan kontrak Freeport hingga 2041 dengan penambahan 10 persen saham, tetap kurang menguntungkan bagi keuangan negara. Tetap saja kecil dibandingkan Freeport,” ungkapnya.

Jika diasumsikan penerimaan tambang Freeport di Indonesia sebesar US$8,43 miliar per tahun, maka penerimaan Indonesia sebagai pemilik 61 persen saham Freeport, hanya US$5,14 miliar per tahun. Dalam 20 tahun, sebesar US$102,8 miliar (Rp1.542 triliun).

“Jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensi pendapatan 168,6 miliar dolar jika Indonesia mengambil alih 100 persen Freeport. Selisihnya hampir Rp1.000 triliun,” ungkapnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button