News

Ubbadah bin Tsamit, Muslim Pertama Madinah yang Anti Jadi Pemimpin

Pada suatu hari Rasulullah SAW menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau pemimpin. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib orang-orang yang melalaikan kewajiban sebagai pemimpin, kelak. Tubuh Ubbadah gemetar dan hatinya terguncang. Ia bersumpah tidak akan menjadi pemimpin walau atas dua orang sekali pun. Sumpah itu tak pernah dilanggarnya sampai ia meninggal.

Ubbadah bin Shamit adalah warga Madinah dari kalangan Anshar yang pertama kali masuk Mekkah dan menyatakan diri masuk Islam. Ia mengangkat bai’at kepada Rasulullah, yang dikenal sebagai Baiatul Aqabah I. Ubbadah pun menjadi pemimpin yang dipilih Nabi SAW sebagai wakil Anshar, terutama untuk kaum kerabatnya sendiri.

Ketika datang musim haji dan terjadi Bai’atul Aqabah II yang dilakukan oleh 70 orang beriman dari kaum Anshar, Ubbadah menjadi tokoh dan wakil orang-orang Anshar itu. Semenjak ia menyatakan Allah dan Rasul sebagai pilihannya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik-baiknya. Segala cinta kasih dan ketaatannya hanya tertumpah kepada Allah.

Sejak dulu, keluarga Ubbadah terikat pada suatu perjanjian dengan orang-orang Yahudi Suku Qainuqa di Madinah. Ketika Rasulullah SAW bersama para sahabatnya hijrah ke kota ini, orang-orang Yahudi memperlihatkan sikap damai dan persahabatan terhadapnya. Tapi setelah terjadi perang Badar dan Uhud, orang-orang Yahudi di Madinah mulai menampakkan belangnya. Salah satu kabilah mereka, Bani Qainuqa membuat ulah untuk menimbulkan fitnah dan keributan di kalangan kaum Muslimin.

Melihat kenyataan itu, Ubbadah tak tinggal diam. Secepatnya ia melakukan tindakan yang setimpal dengan jalan membatalkan perjanjian dengan mereka. Katanya,“Aku hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.”

Tak berapa lama setelah peristiwa itu turunlah ayat al-Qur’an memuji sikap dan kesetiaannya ini; “Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allah-lah yang beroleh kemenangan..” (QS. al-Maidah: 56).

Ubbadah yang mulanya hanya menjadi wakil kaum keluarganya dari suku Khazraj, sekarang meningkat menjadi salah seorang pelopor Islam, dan salah seorang pemimpin kaum Muslimin.

Ubadah menjadi sosok yang menjauhkan diri dari urusan duniawi, seperti harta, kemewahan serta kekuasaan, karena khawatir merusak keyakinan agamanya. Ia kemudian terjun ke dunia dakwah, dan bersama dua rekan terdekatnya, Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda, berangkat ke Suriah (Syam)  untuk menyebarluaskan Islam sehingga memberikan cahaya di negeri itu.

Betapa besar memang bantuan kaum Anshar kepada perjuangan Nabi. Nabi SAW pernah berkata, “Sekiranya orang-orang Anshar menuruni lembah atau celah bukit, pasti aku akan mendatangi lembah dan celah bukit orang-orang Anshar. Dan kalau bukanlah karena hijrah, tentulah aku akan menjadi salah seorang warga Anshar!”

Pada suatu hari Rasulullah SAW menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau pemimpin. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib orang-orang yang melalaikan kewajiban sebagai pemimpin, kelak. Tubuh Ubbadah gemetar dan hatinya terguncang. Ia bersumpah tidak akan menjadi pemimpin walau atas dua orang sekali pun. Sumpah itu tak pernah dilanggarnya sampai ia meninggal.

Di masa pemerintahan Amirul Mukminin Umar bin Khathab, tokoh yang bergelar Al-Faruq itu pun tidak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam mengajar dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal agama.

Ubbadah juga pernah berada di Palestina untuk beberapa waktu dalam melaksanakan tugas sucinya, sedang yang menjalankan pemerintahan ketika itu adalah Muawiyah. Ubbadah termasuk rombongan perintis yang telah dididik Nabi Muhammad SAW dengan tangannya sendiri, yang telah beroleh limpahan mental, cahaya dan kebesarannya.

Sekiranya Ubbadah melanjutkan renungannya dan membanding-bnadingkan tindak-tanduk Muawiyah dengan apa yang dilakukan Khalifah Umar, jurang pemisah di antara keduanya menganga lebar, dan sebagai akibatnya akan terjadilah bentrokan dan memang telah terjadi.

Berkata Ubbadah bin Tsamit RA, “Kami telah baiat kepada Rasulullah SAW, tidak takut akan ancaman siapa pun dalam menaati Allah!” Ubbadah adalah seorang yang paling teguh memenuhi baiat. Dan jika demikian, maka ia tidak akan takut pada Muawiyah dengan segala kekuasaannya, dan ia akan tegak mengawasi segala kesalahan Muawiyah.

Pada 34 Hijriah, Ubbadah wafat di Ramalah, Palestina, sebagai wakil terbaik kaum Anshar. [Sumber : 60 Shirah Sahabat Rasulullah, oleh Khalid Muhammad Khalid]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button