Uji Kelayakan dan Kepatutan BPK: Dosen hingga Penyidik KPK Sindir Kerugian Negara karena Korupsi


Satu per satu calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and propert test) yang digelar Komisi XI DPR. Dari 57 calon akan dipilih 5 nama.

Dalam uji kelayakan dan kepatutan yang digelar di hari kedua (Selasa, 3/9/2024), diikuti sejumlah kalangan. Mulai dari dosen, mantan Bank Indonesia (BI), dosen hingga penyidik KPK. Semuanya antri melamar kerja di BPK.  

Sebut saja, Indra Krisna mantan pengawas bank senior di BI Pekanbaru serta Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Malang dan Lampung.

Indra menyinggung sejumlah kasus yang menjerat anggota BPK, korupsi menara BTS hingga suap opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). “Dengan kondisi kasus-kasus yang memprihatinkan itu, ini berdampak pertama penurunan kualitas dan rekomendasi pemeriksaan,” kata Indra.

Atau Nehseh Bangun, lulusan doktor ilmu sosial Universitas Cendrawasih, menyampaikan makalah berjudul “Penguatan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Menuju Indonesia Emas Tahun 2045: Analisis Komprehensif dan Rekomendasi”.

Menurut Nehseh, dalam melakaanakan kebijakan dan strategi pembangunan yang telah dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), BPK berperan mengawal dan memastikan program prioritas direncanakan, dilaksanakan, dan dilaporkan secara transparan dan akuntabel.

Sedangkan Charles Pandji Dewanto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut adanya kemiripan tugas antara KPPU dengan BPK. “Di KPPU ada juga investigator. Dan di BPK punya auditor yang tugas serta fungsinya mirip, pemeriksaan, investigasi, dan memberikan saran pertimbangan lain-lain,” kata dia.

Calon lainnya, Dadang Suwanda, dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), membeberkan masalah KKN yang masuk ranah hukum, biasanya melibatkan dua pihak. Kelompok pertama, orang pintar tapi nakal yang mampu ‘menukangi’ aturan. Kelompok kedua, orang tidak pintar sehingga mudah dikelabui.

Penyidik KPK yang berasal dari anggota BPK, Aryo Bilowo memaparkan makalah bertajuk “Penghitungan Kerugian Negara dengan Mengedepankan Cita Hukum”.

Dia menekankan pentingnya mencegah kerugian negara yang terlampau besar. Dikutiplah data Indonesian Corruption Watch (ICW), terjadi peningkatan kerugian negara berdasarkan hasil putusan hakim tindal pidana korupsi.

Peningkatan yang signifikan terjadi mulai 2019 hingga 2022, yakni Rp12 triliun, Rp56 triliun, Rp62 triliun, dan Rp48 triliun. “Kalau ditotal dari 2013 sampai 2023, hampir Rp300 trilun. Itu hal yang menurut saya krusial,” kata dia.