Kanal

Ujung Perseteruan Internal PDIP: Benarkah Megawati Akan Mengalah?

Sabtu, 18 Jun 2022 – 11:23 WIB

Images (58) - inilah.com

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Foto ist)

Hari ini beredar luas analisis, bahwa pada akhirnya perseteruan ‘internal’ PDIP dalam soal pencalonan Ganjar Pranowo akan dimenangkan Ganjar. Saya menggunakan tanda petik karena secara kasat mata pun terlihat konflik itu melibatkan outsider. Rela atau terpaksa, kata analisis itu, Ketua Umum PDIP Ibu Megawati Sukarnoputri akan menyerah, menerima Ganjar sebagai capres 2024, plus Erick Thohir sebagai calon wakilnya.

Analisis itu mengatakan, dengan begitu sempurnalah kemenangan Pak Jokowi dalam sengkarut politik mutakhir, setelah reshuffle kemarin ditafsirkan banyak pihak sebagai jalan untuk menyingkirkan atau sedikitnya mengabrasi peluang Anies Baswedan. Artinya, Ganjar, yang selama ini disebut-sebut banyak analis sebagai calon presiden pilihan Pak Jokowi untuk ‘mengamankan nasib’ pasca-purna tugas, akan melaju lancar. Namanya juga analisis, asal punya argumen, ia layak-layak saja diangkat. Benar tidaknya akan terjadi tidak hanya bergantung pada kuatnya argumen secara rasional. Banyak faktor lain yang akan menentukan.

Namun perlu diingat, perseteruan tentang pencalonan capres-cawapres PDIP bukan sekadar konflik Megawati cs versus Pak Jokowi- Pak Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Jika di sisi Pak Jokowi- Pak Luhut ada sekelompok pendukung seperti Relawan Ganjar Pranowo dan Sahabat Ganjar, di sisi Ibu Mega pun ada kelompok die hard PDIP yang ingin menjaga marwah Partai Banteng. Yang sudah muncul saja ada Ketua Bappilu PDIP, Bambang ‘Pacul’ Wuryanto, Trimedya Panjaitan, dan Masinton Pasaribu. Masih ada politisi muda PDIP yang cenderung anti-oligarki, Adhian Napitupulu, meski saat ini sikapnya belum menyeruak ke permukaan.

Benar sebagaimana dikatakan penulis analisis tersebut, bahwa-–saya ambil verbatim—tidak sebagaimana “politisi kutu loncat seperti Ruhut Sitompul, Tjahjo Kumolo, dll, …Ganjar adalah kader Banteng yang teruji dan tulen“. Namun pada posisi saat ini, sulit untuk menutup kesan bahwa dalam konflik tersebut Ganjar adalah ‘mainan’ pihak luar—yang umumnya ditengarai publik sebagai Pak LBP dan oligarki.

Artinya, ada dua kartu truf yang bisa dimainkan Ibu Mega cs dalam perseteruan tersebut. Pertama, ke dalam, Ibu Mega cs bisa mengonsolidasi diri dengan jargon bahwa pihaknya tengah berjuang membela partai dari kepentingan pihak luar yang diback-up oligarki. Beliau cs bisa menuntut pengabdian para kader untuk membantunya memperjuangkan kepentingan genuine partai, sekaligus mendesak Ganjar pada posisi kurang menguntungkan, yakni sebagai orang dalam yang membawa-bawa outsider semata untuk memuaskan ambisi politik pribadinya.

Kedua, ke luar, untuk public, Ibu Mega cs bisa memainkan kesan bahwa pihaknya tengah berjuang mempertahankan marwah partai dari rongrongan oligarki yang penuh ambisi kekuasaan. Posisi ini tentu saja populis—dalam arti pro-rakyat—dihadapkan kepada citra oligarki Indonesia saat ini. Dengan kartu itu pula, Ibu Megawati cs bisa membawa kembali PDIP kepada citranya sebagai partai ‘wong cilik’.

Berbeda dengan analisis yang beredar, saya tidak melihat Ibu Megawati akan dengan mudah memberikan restu resmi untuk menjadikan Ganjar sebagai capres PDIP dan Erick Thohir sebagai wakilnya. Benar bahwa dukungan kuat dari Pak Jokowi-Pak Luhut dan (konon) oligarki akan merepotkan Ibu Mega cs. Tetapi untuk sampai membuat faksi ini terpojok, apalagi tak mampu melawan, nanti dulu. Kekuatan itu bukan sesuatu yang tidak bisa dilawan Ibu Mega cs, yang pernah memiliki lawan setara Pak Harto, dan terbukti beliau mampu. Kuncinya, kita tahu, pada dukungan public, wong cilik, yang masih bisa diajak bergabung dalam perjuangan vis a vis oligarki.

Meski tidak diametral, saya pun tak setuju analisis terkini yang menyatakan bahwa Ibu Mega akan dengan mudah ‘mengorbankan’ Puan. Bolehlah dikatakan bahwa Pak Jokowi dan Pak Luhut jauh lebih konkret dan rapi dalam menyiapkan Ganjar. Tetapi bila dengan semua itu bisa dipastikan bahwa -–kembali saya ambil verbatim—“Bu Mega bisa kehilangan PDIP”–,saya sangat skeptis. Meski masih harus dilakukan survei untuk mengetahui pasti jumlah dan proporsinya, banyak kalangan yang mengaitkan kecintaan mereka kepada PDIP semata urusan hereditas dan keterkaitan kepada keluarga pahlawan proklamator, Soekarno. Hilang keluarga itu dari PDIP, tampaknya bagi mereka—yang jumlahnya besar ini—hilang pula PDIP.

Alhasil, bagi Ibu Mega sendiri, urusan restunya kepada Puan Maharani itu bukan sekadar urusan yang bisa seenaknya dikaitkan dengan –maaf—KKN alias Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Itu lebih kepada tindakan paling rasional dalam menyelamatkan keberadaan dan keberlanjutan partai senyampang masih banyaknya kalangan yang mengaitkan PDIP kepada (keluarga) Bung Karno.

Dari sisi psikologis, harus pula disadari bahwa tak mungkin di akhir kepemimpinannya (bahkan secara usia), Ibu Mega akan menyingkirkan Puan. Terlalu tragis bila hal itu terjadi.

Akan halnya anggapan bahwa Erick diperlukan PDIP sebagai bouwheer dalam Pemilu 2024 sebagaiman analisis tersebut, saya merasa hal itu sangat meng-underestimated PDIP di satu sisi. Di sisi lain, tampaknya penulisnya tak banyak mengerti Menteri BUMN tersebut. [dsy]

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button