Ukraina Kehilangan 500.000 Tentara, Kyiv Menyerah atau Perang Tanpa Akhir?

Ukraina telah kehilangan 500.000 tentara, tewas atau terluka parah, sejak awal invasi militer Rusia. Setelah perang berlangsung 23 bulan, para analis meramalkan beberapa kemungkinan yakni akan menjadi konflik beku, Kyiv menyerah atau perang tanpa akhir?

“Saya pikir mereka harus menyebutkan jumlah warga Ukraina yang tewas. Saya tahu mereka tidak menginginkan hal ini, dan hal ini akan ditanggapi dengan serius. Ya, itu akan mengejutkan,” kata mantan Jaksa Agung dan mantan kepala Kementerian Dalam Negeri Ukraina Yuriy Lutsenko di saluran YouTube, mengutip Eurasian Times.

Menurut Lutsenko, Ukraina kehilangan puluhan ribu pejuang setiap bulannya, itulah sebabnya militer mengusulkan untuk memobilisasi setengah juta orang. “Harus jujur ​​kita sampaikan bahwa 500.000 tentara yang sekarang dibicarakan kalau dibagi bulan adalah 30 ribu sebulan, baru kira-kira kita akan paham apa yang terjadi di depan,” tegasnya.

Konflik Beku

Ketika, pada Februari 2022, Rusia memulai perangnya di Ukraina, yang juga dikenal sebagai ‘Operasi Militer Khusus’ (SMO), badan intelijen Amerika melontarkan spekulasi yang menyatakan bahwa perang tersebut akan berakhir dalam beberapa hari. Kini, setelah 23 bulan konflik, para analis mengatakan – perang Ukraina akan menjadi konflik beku pada tahun 2024. 

Mengutip Eurasian Times, ada pula prediksi bahwa perang tersebut akan mengarah pada penyerahan Kyiv secara tiba-tiba atau akan terus berlanjut tanpa titik akhir. Negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, mungkin tidak dapat melanjutkan arus kas mereka ke Ukraina untuk jangka waktu yang tidak ditentukan karena mereka sedang menghadapi krisis ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan berbagai masalah sosial yang akan memburuk. 

Namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tidak akan begitu saja menerima kenyataan tersebut. Sebaliknya, menurut The Guardian, rakyat Ukraina percaya bahwa mereka dapat memenangkan perang. 

Sedangkan surat kabar Inggris menyebut, “… Meskipun demikian, memang benar bahwa prospek terobosan yang menentukan untuk mengusir pasukan Rusia dari tanah Ukraina terlihat semakin kecil dibandingkan sebelumnya. Sementara itu, dengan krisis lain yang terjadi di Timur Tengah, keinginan negara-negara Barat untuk terus menyediakan dana dan senjata yang dibutuhkan Kyiv semakin berkurang”.

Hingga saat ini Biden belum bisa mencapai kesepakatan untuk mendapatkan dana bagi keperluan Ukraina. Namun para pejabat Pentagon mengatakan masih ada cukup amunisi untuk bertahan di Ukraina selama musim dingin. Sebagai alternatif, AS dan Eropa dilaporkan mempertimbangkan untuk menarik aset Rusia yang dibekukan senilai US$300 miliar.

Jika pendanaan tidak diberikan dalam bentuk apa pun, “hal ini akan menjadi bencana besar bagi Ukraina,” kata koresponden perang Shaun Walker. “Mereka sudah menghadapi kekurangan terhadap segala sesuatu yang mereka butuhkan.” 

Volodymyr Zelensky mengunjungi Washington pada awal Desember 2023, tetapi permohonannya untuk mendapatkan lebih banyak dukungan tampaknya tidak membuat Partai Republik bergeming. Mayoritas anggota parlemen AS tidak mau membiarkan pemerintahan Biden mengirimkan dana lebih lanjut ke Ukraina.

Hiroyuki Akita, komentator Nikkei Asia, menulis: “… Tidak seorang pun yang saya ajak bicara menyerukan gencatan senjata, meskipun jelas bahwa masyarakat ingin pertempuran dihentikan. Dalam sebuah wawancara kelompok dengan Nikkei dan media berita lainnya, Zelenskyy [Volodymyr Zelensky] mengakui bahwa negaranya sedang menghadapi kekurangan senjata yang serius dan serangan balasannya telah terhenti”.

Artinya, meskipun Zelensky terus-menerus meminta arus kas dari negara-negara Barat, setelah menghabiskan lebih dari US$75 miliar, Ukraina tidak mendapatkan kemenangan apa pun dibandingkan pasukan Rusia. Sebaliknya, Kyiv sudah berada di ambang kekalahan perang.

Sementara itu, menurut Kiel Institute for the World Economy, sebuah lembaga penelitian Jerman, pemerintahan Biden dan Kongres AS telah menyalurkan lebih dari US$75 miliar bantuan ke Ukraina, yang mencakup dukungan kemanusiaan, keuangan, dan militer.

Meskipun dana besar ini tidak membantu Ukraina menunjukkan tanda-tanda nyata memenangkan perang, Presiden AS Joe Biden ingin mengirimkan paket bantuan tambahan sebesar US$61 miliar, yang kemudian ditahan oleh Kongres. 

Presiden Ukraina Zelensky sudah mengakui kepada Associated Press bahwa serangan balasan musim panas tidak membuahkan hasil yang diinginkan, sebagian karena Kyiv tidak menerima senjata yang diperlukan dari sekutunya.

Pada 1 Desember, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengklaim bahwa tentara Ukraina telah kehilangan lebih dari 125.000 orang dan 16.000 senjata skala besar sejak dimulainya serangan balasan. “Mobilisasi total di Ukraina, pasokan senjata Barat, dan pengenalan cadangan strategis ke dalam pertempuran oleh komando Ukraina tidak mengubah situasi di medan perang,” katanya.

Zelensky Butuh Tiga Kemenangan

Pada bulan November lalu, Zelensky menyatakan bahwa Ukraina membutuhkan tiga kemenangan. Pertama Kongres AS dapat menyetujui bantuan militer lebih lanjut. Kedua, Uni Eropa (UE) dapat melanjutkan dukungannya, dan ketiga, dialog terbuka mengenai aksesi Ukraina ke UE. Pertanyaannya adalah mampukah Zelensky berhasil meraih tiga kemenangan itu? 

Pemerintahan Biden telah memberikan lebih dari US$40 miliar bantuan keamanan kepada Ukraina. Jerman dan Belanda juga baru-baru ini meningkatkan janji bantuan mereka untuk Ukraina. Namun, masa depan komitmen ini berisiko terperosok dalam politik dalam negeri, karena usulan paket bantuan AS senilai US$61 miliar telah ditahan oleh Kongres.

Terlebih lagi, perang antara Israel dan Hamas yang pecah sejak 7 Oktober juga memberikan dampak. AS telah mengurangi pasokan amunisi 155 mm “lebih dari 30 persen”, kata sumber senior Ukraina kepada ABC News pada November 2023, meskipun Washington menjamin bahwa konflik di Timur Tengah tidak akan berdampak terhadap Ukraina.

Dalam kaitannya dengan mitra Eropa, usulan paket €50 miliar dari UE ditentang oleh Hongaria sehingga menunda persetujuannya. Menurut para ahli, mereka juga mungkin menghadapi gangguan akibat krisis keuangan di Jerman dan menguatnya kelompok sayap kanan di beberapa negara Eropa, seperti yang terjadi pada pemilu Belanda baru-baru ini. 

Selain aspek finansial, aspek diplomasi juga masih menjadi kendala. Yang tidak kalah pentingnya adalah fakta bahwa keanggotaan Ukraina telah memecah belah Uni Eropa. “Ukraina sama sekali belum siap untuk menegosiasikan ambisinya untuk bergabung dengan Uni Eropa,” kata Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban pada November tahun lalu.

Menteri Luar Negeri Hongaria Peter Szijjarto, mengomentari rekomendasi Komisi Eropa agar negosiasi aksesi dengan Kyiv harus dimulai, menyarankan agar Ukraina tidak diterima di UE sampai konflik bersenjata di sana berakhir. Jika tidak, konflik ini berisiko menyebar ke seluruh Eropa.

Sementara itu, Perdana Menteri Rumania Marcel Ciolacu memperingatkan bahwa sekutu NATO harus berdiri teguh dalam mendukung Ukraina atau mengambil risiko kekuatan sayap kanan dan populis di UE menjadi lebih kuat.

Kemungkinan terjadinya perundingan perdamaian antara Moskow dan Kyiv sangatlah penting, meskipun perundingan tersebut diperkirakan tidak akan terjadi pada 2024, terutama karena ketidaksepakatan antara kedua pihak yang bertikai.

Zelensky sampai saat ini sangat keras kepala dan menyatakan bahwa konflik bisa berakhir jika Rusia memenuhi persyaratan “formula perdamaian” yang ia sampaikan. Namun Moskow telah mengesampingkan negosiasi berdasarkan rencana Zelensky. Artinya konflik tidak akan berakhir dalam waktu dekat.

Sementara pada bulan Desember, Presiden Rusia Vladimir Putin malah memerintahkan penambahan jumlah tentara Rusia hampir 170.000, sehingga menjadi 2,2 juta, termasuk 1,32 juta tentara.

Zelensky, meski hingga kini berhasil menyatukan warga Ukraina untuk “perjuangan nasional”, juga tengah menghadapi kritik tajam yang mencakup merajalelanya korupsi dan penjarahan kekayaan publik. Ia khawatir situasi ini akan menambah kekuatan penantangnya di dalam negeri terhadap perjuangan eksternalnya yang mungkin berujung pada kekalahannya yang memalukan dalam pemilu.

Dengan kompleksitas seperti ini – mulai dari kekurangan uang tunai dan perangkat keras militer hingga berbagai tuduhan, termasuk korupsi, bagi Volodymyr Zelensky, bulan-bulan mendatang mungkin akan semakin penuh tantangan. Akibatnya, kemungkinan perdamaian di Ukraina atau kemenangan Presiden Volodymyr Zelensky dalam perang melawan Rusia masih sulit tercapai.

Sumber: Inilah.com