UMP Sah Naik 6,5 Persen di 2025, Menaker Yassierli Sebut tak Ada Protes dari Pengusaha


Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan sudah berkomunikasi dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terkait asal angka penetapan UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Menurutnya, pengusaha sudah tidak lagi melakukan protes.

Yassierli mengakui bahwa penetapan UMP 6,5 persen rata-rata nasional ini mendapat banyak protes dari pengusaha. Namun, ia mengeklaim pengusaha kini sudah tidak lagi protes.

“Banyak protesnya, pengusaha banyak protesnya sebelum tadi malam, tadi malam kami sudah sampaikan,” kata Yassierli saat memberikan keterangan pers, di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Rabu (4/12/2024).

“Oke, berarti setelah penjelasan tadi malam jadi nggak ada protes lagi,” sambungnya.

Menurut Yassierli, penetapan 6,5 persen ini sudah melalui beberapa kajian, mulai dari pertumbuhan ekonomi hingga tingkat inflasi, dan tren kenaikan upah dalam 3-4 tahun terakhir.

Kemudian usulan itu disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu. Hingga pada akhirnya Prabowo mengambil kebijakan untuk penetapan kenaikan 6,5 persen.

“Pak Presiden mengambil kebijakan untuk meningkatkan daya beli, sehingga pada akhirnya itu menjadi 6,5 persen,” kata Yassierli.

Sebelumnya, Ketua Umum APINDO Shinta W Kamdani mengatakan, pihaknya menunggu penjelasan pemerintah terkait dasar perhitungan yang digunakan untuk menentukan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen.

Hingga saat ini, dia melanjutkan, belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi perhitungan kenaikan ini. Terutama apakah telah memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual.

Penjelasan penetapan UMP 2025 ini juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut.

APINDO berpandangan kenaikan UMP yang cukup signifikan ini akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.

“Dalam kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik, kenaikan ini berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional,” ujar Shinta dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu (30/11/2024).

“Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” lanjut dia.