Jika dokter asing dianggap sangat perlu didatangkan ke Indonesia, Pemerintah harus bertanggung jawab dan memastikan screening yang tepat lewat evaluasi kompetensi. Bukan tidak mungkin akan ada gesekan dengan dokter Indonesia yang juga memiliki kompetensi yang sama atau bahkan lebih baik.
Mengapa tidak berdayakan saja dokter yang ada di Indonesia? Itulah pertanyaan publik yang muncul ketika aturan mengenai kehadiran dokter asing ini tertera pada UU.No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Beberapa kalangan menilai aturan ini belum jelas dan tidak memadai.
Masalah dokter asing menjadi salah satu persoalan yang krusial bagi dunia kesehatan di Indonesia saat ini. Dalam UU No.17 Tahun 2023 tentang Kesehatan memang diatur pendayagunaan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing. Pasal 248 ayat (1) menyebutkan bahwa tenaga dokter asing bisa berpraktik di Indonesia setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Lalu Pasal 284 ayat (3) mengatakan kompetensi yang dimaksud adalah penilaian kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik. Namun jika dilihat dari aturan tersebut belum komprehensif. Sementara itu, regulasi dibutuhkan untuk melindungi dokter di dalam negeri.
“Saya kira ada plus-minusnya yang menurut saya ada pembatasan dalam arti dibolehkan tetapi ada regulasi tegas yang pada akhirnya bisa menjawab kekhawatiran para dokter,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dokter Hasto Wardoyo saat ditanya Inilah.com, Selasa (16/07/2024).
Dokter Asing untuk Siapa?
Kementeri Kesehatan menyebutkan, kehadiran dokter asing diharapkan dapat mengatasi masalah kekurangan dokter spesialis di daerah terpencil. Hal ini tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar apakah para dokter asing tersebut nantinya mau ditempatkan di daerah terpencil yang kekurangan dokter?
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT mengungkapkan kemungkinan dokter asing bekerja di tempat yang tidak kekurangan dokter, kemudian dijamin kesejahteraannya dengan diberikan pembiayaan oleh negara. Tentu saja ini akan mengusik rasa keadilan.
“Satu sisi, masih banyak dokter-dokter warga negara Indonesia yang belum sejahtera dan tetap mengabdi, yang belum mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat,” ujar Dr Adib, kepada Inilah.com, kemarin.
Tentunya ini yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Karena pada saat ini, salah satu faktor mengapa ketersediaan dokter-dokter spesialis belum merata di berbagai daerah berkaitan juga dengan masalah insentif dan kesejahteraan.
Melihat situasi ini, Adib menegaskan lebih mendorong mengefektifkan pemerataan atau distribusi dokter-dokter dari lulusan dalam negeri untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil. “Tapi tentunya dengan jaminan dan memperhatikan banyak hal seperti peralatan, sarana pra-sarana, dan kesejahteraan tadi,” katanya.
Tudingan Monopoli IDI?
Jumlah dokter spesialis di Tanah Air memang masih menjadi tantangan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,12 per 1.000 penduduk, lebih rendah dibandingkan dengan median Asia Tenggara, 0,20 per 1.000 penduduk.
Sementara, rasio dokter umum 0,62 dokter per 1.000 penduduk di Indonesia, lebih rendah dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebesar 1,0 per 1.000 penduduk.
Ada anggapan lambatnya pertumbuhan dokter terutama dokter spesialis ini tak lepas dari monopoli IDI. IDI disebut-sebut mempersulit izin praktek karena mahalnya biaya pengurusan. Namun anggapan ini dibantah dengan tegas.
“Framing yang dimunculkan pada saat keluarnya undang-undang ini dianggap bahwa IDI memonopoli. Tapi saya kira kita kembalikan lagi sekarang tentang keikutsertaan anggota, merupakan sebuah kewajiban bagi organisasi untuk memberikan kemanfaatan pada anggotanya. Dan ini yang sekarang kami ke depankan sehingga anggota merasakan manfaat pada saat menjadi anggota IDI,” papar Adib.
Transfer of Knowledge Dokter Asing?
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Tjandra Yoga Aditama termasuk pihak yang tegas menentang kebijakan dokter asing ini. Ia mengilustrasikan bahwa ada sejumlah Puskesmas di Indonesia tidak ada dokternya, apakah dokter asing didatangkan untuk mengisinya, dengan sarana dan prasana yang ada serta perlakuan sama seperti yang diberikan kepada dokter Puskesmas saat ini?
“Hal yang sama juga berlaku untuk ketersediaan dokter spesialis, apakah dokter asing akan ditempatkan di daerah-daerah yang belum ada dokter spesialisnya di berbagai daerah? Apakah dokter asing akan berhadapan dengan sarana dan prasana yang ada serta perlakuan yang sama seperti diberikan kepada dokter spesialis WNI, belum lagi tentang kemampuan bahasa Indonesia dokter asing itu,” tegas Tjandra.
Apakah rencana ini bagian dari transfer of knowledge? Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara mengatakan, jika rencana masuknya dokter asing ini sebagai bagian dari transfer of knowledge, sudah sejak puluhan tahun lalu, berbagai fakultas kedokteran di Indonesia bekerjasama dengan universitas luar negeri.
Selama ini sudah banyak dokter luar negeri yang memberi ceramah, kuliah dan pelatihan kepada dokter dan mahasiswa di Indonesia. Ada juga sebaliknya, dokter Indonesia yang diminta memberi ceramah, kuliah dan memberi pelatihan di luar negeri.
Kalau memang ada kebutuhan dokter spesialis di luar Jawa misalnya, sehingga perlu mendatangkan dokter bedah dari luar negeri, tentu ada berbagai pilihan jalan keluar.
“Misalnya dengan mendatangkan dokter dari daerah lain di Indonesia untuk melakukan pembedahan, atau melatih dokter setempat oleh dokter-dokter akhli di dalam negeri, atau berbagai pendekatan lainnya,” papar Tjandra.
Menkes Klaim Dokter Asing untuk Selamatkan Ribuan Nyawa
Sementara itu Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan kedatangan dokter asing untuk berpraktik di Indonesia sebenarnya bertujuan menyelamatkan ribuan nyawa bayi yang mengalami kelainan jantung.
Menkes mengakui kebijakan itu belum sepenuhnya diterima oleh sejumlah pihak. Karena, banyak yang mengaitkannya dengan kualitas layanan dokter asing dengan dokter Indonesia.
“Bahwa kemudian mungkin ada yang merasa sensitif seperti FK Unair, oh dokter kita lebih hebat, kemudian kita juga bisa. Isunya bukan itu, isunya bukan juga merendahkan kemampuan dokter-dokter kita, nggak,” katanya.
Budi meyakini dokter Indonesia mampu mengatasi operasi jantung, tapi dengan laju kasus mencapai 6 ribu pasien per tahun, kuota dokter yang dimiliki Indonesia belumlah cukup.
“Kita kan enggak bisa nunggu. Kita datangkan dokter-dokter asing itu untuk menyelamatkan nyawa 6 ribu bayi ini dan 12 ribu ibu-ibu yang akan sedih kalau bayinya kemudian cacat jantung bawaan,” ujarnya.
Sedangkan Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani menyebut kehadiran dokter asing ke Indonesia tidak disambut dengan penolakan. Dia menjamin hal ini sudah diatur dengan ketat regulasinya melalui UU Kesehatan.
“Saya meminta fakultas kedokteran dan para dosennya tidak perlu menolak kehadiran dokter asing, karena prasyaratnya sangat ketat (UU kesehatan), jangan apriori dulu. Kebutuhan masyarakat untuk pelayanan kesehatan harus didahulukan,” kata Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani.
(TKA/HARRIS MUDA/VONITA)