Kanal

Urgensi Komersialisasi Jalan Raya di Jakarta 

urgensi-komersialisasi-jalan-raya-di-jakarta 

Penerapan jalan berbayar (ERP) dikhawatirkan hanya akan memindahkan kemacetan dari jalan berbayar ke jalan tidak berbayar. Kebijakan ini tak lebih dari sekadar komersialisasi jalan dan dapat ditafsirkan sebagai keputusan elit yang merampas kebebasan berkendara bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang sekaligus mempertegas dan mempertontonkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi.

Oleh Dr Usmar SE MM – Dekan Fak Ekonomi & Bisnis Univ Moestopo (Beragama)

Saat ini Pemprov DKI Jakarta sedang mengkaji regulasi untuk segera menerapkan konsep jalan berbayar di beberapa ruas jalan di Jakarta. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi tingkat kemacetan di Jakarta. Untuk itu Pemprov DKI Jakarta akan menerapkan sistem jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) di 25 ruas jalan di Jakarta.

ERP adalah penerapan jalan berbayar berbasis elektronik, dimana setiap kendaraan yang melewati area ERP dikenakan biaya dengan jumlah yang sudah ditentukan. Adapun pada pintu masuk area ERP (restricted area) akan dipasang teknologi OBU (on board unit), yaitu alat sensor yang dipasangkan pada setiap kendaraan yang terhubung dengan sistem informasi di pusat pengendalian operasi yang dinamai dedicated short range communications (DSRC) dan bekerja secara otomatis memotong setiap deposit uang dari rekening pengguna jalan yang  melewati pintu masuk ERP.

Secara teoritis dan konsep, mungkin memang sistem jalan berbayar ini dapat mengurangi kemacetan. ERP dimaksudkan dengan tujuan agar pengguna kendaraan pribadi dapat beralih ke transportasi umum massal, namun dengan keberadaan moda transportasi umum yang belum terintegrasi dengan baik di berbagai sudut Jakarta, dikhawatirkan ini hanyalah sekadar memindahkan lokasi kemacetan dari  lokasi jalan berbayar ke jalan tidak berbayar.

Jika hal ini terjadi, gaung yang mengasumsikan kebijakan ini hanyalah sekadar komersialisasi jalan dan dapat ditafsirkan sebagai kebijakan elitis yang merampas kebebasan berkendara bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang secara umum dapat mempertegas dan mempertontonkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi.

Memang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PLLSE) di Jakarta ini masih dibahas, yang menurut Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono proses penerapan jalan berbayar di Jakarta masih cukup panjang. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya kebijakan tersebut dijalankan.

Tapi sebelum kebijakan tersebut tuntas sampai nanti dalam bentuk Perda, maka peran aktif masyarakat tentu sangat diperlukan untuk memantau dan mengamati dengan seksama, mengingat kebijakan ini berhubungan dengan hajat kehidupan orang banyak, khususnya warga Jakarta dan sekitarnya.

Gambaran Umum Transportasi di Jakarta

Dari data Jakarta.bps.go.id, pada tahun 2021, jumlah seluruh kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 21.758.695 unit, sudah termasuk motor, mobil penumpang, bus, dan truk yang teregistrasi, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Mobil Penumpang sebanyak 4.111.231 unit.
  2. Bus sebanyak 342.667 unit.
  3. Truk sebanyak 785.600 unit.
  4. Kendaraan roda dua atau motor mencapai sebanyak 16.519.197 unit atau sekitar 76 persen dari jumlah kendaraan bermotor yang ada.

Jika kita melihat data BPS tersebut, terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun, dimana pada tahun 2019 total kendaraan bermotor di Jakarta hanya ada sebanyak 19 883 246 unit, lalu di tahun 2020 meningkat menjadi 20 221 821 unit, dan di tahun 2021 naik menjadi 21.758.695 unit. Jika jika tidak diimbangi juga dengan pertumbuhan jalan, maka ini juga menjadi indikator kemacetan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan, pertumbuhan kendaraan sebesar 1,7 persen, tetapi pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen.

Saat ini, tingkat kemacetan di Jakarta menurut Dirlantas Polda Metro Jaya mencapai 48 persen, terutama pada waktu pagi hari di rentang pukul 07.00 – 09.00 WIB, saat warga Jakarta dan sekitarnya  memulai aktivitas, dan kemacetan di sore hari yang terjadi mulai pukul 16.00 – 18.00 WIB, ketika masyarakat mulai kembali ke rumah usai melakukan aktivitas.

Transport Demand Management (TDM)

Transport Demand Management (TDM) atau sering juga disebut mobility management meliputi semua metode yang dapat meningkatkan pemanfaatan fasilitas dan sarana transportasi yang telah ada dengan lebih efisien dengan mengatur atau meminimalkan pemanfaatan kendaraan bermotor dengan mempengaruhi perilaku perjalanan yang meliputi: frekuensi, tujuan, moda dan waktu perjalanan.

Adapun tujuan umum dari TDM adalah meningkatkan efisiensi pergerakan lalu lintas secara menyeluruh dengan menyediakan aksesibilitas yang tinggi dengan cara menyeimbangkan antara permintaan dan sarana penunjang yang tersedia, penghematan penggunaan bahan bakar, dan waktu tempuh perjalanan secara lebih efisien (Harata, 1994).

Dan ini sesuai dengan Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, yang secara umum bertujuan untuk mewujudkan sistem yang efektif, efisien, lancar, dan terintegrasi.

Untuk tercapainya tujuan ini, maka menurut penulis yang mendesak adalah bagaimana Pemprov dan DPRD DKI Jakarta segera menuntaskan pembahasan tentang rancangan Rencana Induk Transportasi Jakarta (RITJ) yang memuat juga arah kebijakan dari transportasi di Jakarta sampai 2039.

Mengapa ini diperlukan agar Pemprov DKI Jakarta mempunyai pijakan yang strategis dan pasti tidak hanya ingin menyelesaikan kemacetan dengan cara menerapkan ERP saja, apalagi dalam skala besar yaitu di 25 ruas jalan di Jakarta. Sedangkan Raperda tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PLLSE) di DKI Jakarta pun belum selesai pembahasannya.

Jika yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta hanya sekadar ingin segera menerapkan ERP yang digunakan sebagai penerapan dari TDM untuk mengurangi kemacetan tidak dengan cara yang lebih komprehensif dalam menuntaskan kemacetan di Jakarta, maka tidak salah kalau kita katakan ini adalah kebijakan elitis yang merampas kebebasan masyarakat untuk berpergian di Jakarta.

25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP, yaitu sebagai berikut:

  1. Jalan Pintu Besar Selatan
  2. Jalan Gajah Mada
  3. Jalan Hayam Wuruk
  4. Jalan Majapahit
  5. Jalan Medan Merdeka Barat
  6. Jalan Moh Husni Thamrin
  7. Jalan Jend Sudirman
  8. Jalan Sisingamangaraja
  9. Jalan Panglima Polim
  10. Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1 – Simpang Jalan TB Simatupang)
  11. Jalan Suryopranoto
  12. Jalan Balikpapan
  13. Jalan Kyai Caringin
  14. Jalan Tomang Raya
  15. Jalan Jenderal S Parman (Simpang Jalan Tomang Raya – Simpang Jalan Gatot Subroto)
  16. Jalan Gatot Subroto
  17. Jalan MT Haryono
  18. Jalan DI Panjaitan
  19. Jalan Jenderal A Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya – Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan)
  20. Jalan Pramuka
  21. Jalan Salemba Raya
  22. Jalan Kramat Raya
  23. Jalan Pasar Senen
  24. Jalan Gunung Sahari
  25. Jalan HR Rasuna Said

Dengan rencana besaran tarif yang akan dikenakan adalah sekitar Rp5.000 hingga Rp19.000 sekali melintas.

Untuk itu perlu kita ingatkan bahwa dana pembangunan 25 ruas jalan yang akan ditetapkan sebagai ruas jalan berbayar tersebut berasal dari APBN dan APBD DKI Jakarta, dan itu pasti berasal dari uang rakyat.

Padahal esensi dari Transport Demand Management adalah untuk mengurangi jumlah kendaraan dengan menggunakan sistem jaringan jalan dengan menyediakan berbagai pilihan mobilitas (kemudahan melakukan perjalanan) bagi siapa saja yang berkeinginan untuk melakukan perjalanan, bukan hanya untuk siapa saja yang mampu membayar.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button