Urusan Buang Hajat Rakyat tak Senikmat Wakil Rakyat


Di sudut Gedung Nusantara II DPR RI, ada kertas penanda bertuliskan “Khusus Anggota Dewan” terpampang di beberapa pintu toilet. Sepintas, tampak seperti toilet biasa. Namun, saat masuk ke dalam, perbedaan langsung terasa.

Toilet ini luas, dindingnya tertutup sempurna dan dilengkapi tempat penyimpanan khusus untuk barang-barang pribadi, termasuk tas mahal para legislator. Semerbak aroma pengharum ruangan menyambut pengunjung yang datang, tentu saja, hanya anggota DPR.

Sebaliknya, toilet yang disediakan untuk tenaga ahli, staf atau masyarakat yang kebetulan mengunjungi gedung ini, memiliki fasilitas seadanya. Bilik lebih kecil, dinding hanya berlapis kaca, dan pengharum ruangan kadang terlupakan. Gantungan barang? Satu-satunya gantungan itu hanya cukup untuk menahan tas kecil.

Kesenjangan ini bukan hanya soal kenyamanan fisik, tetapi menjadi simbol nyata bagaimana para wakil rakyat memisahkan diri dari rakyat. Toilet, tempat yang paling mendasar sekalipun, mencerminkan hierarki yang tidak semestinya ada di sebuah institusi yang seharusnya melayani masyarakat.

Istilah ‘Rumah Rakyat’ yang disematkan pada gedung ini tampaknya jauh dari kenyataan bagi masyarakat biasa. “Tempat buang hajat pun dibuat berbeda. Mereka lupa, mereka dipilih oleh rakyat?” ujar salah satu pengunjung Kompleks Parlemen Senayan, yang mengomel sambil berjalan lalu.

image_123650291(100).JPG
Penampakan toilet khusus anggota DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/11/2024). (Inilah.com/Vonita).

Menariknya toilet mewah para anggota dewan terhormat tak selalu terlihat terbuka, lebih sering dalam keadaan pintu terkunci. Baru dibuka petugas jika akan digunakan, sungguh hal yang sia-sia. Padahal, toilet dengan akses terbuka tidak hanya akan menghemat biaya, tetapi juga menciptakan kesan kesetaraan di antara semua pengguna gedung parlemen.

Apa yang lebih miris? Di Ibu Kota Jakarta saja, masih ada warga yang tidak memiliki fasilitas mandi cuci kakus (MCK) yang memadai, pemandangan warga buang hajat di pinggir sungai masih terjadi. Di Johar Baru Jakarta Pusat contohnya.

Per September 2023, tercatat sebanyak 4.000 warga di RW 03, 04, 11 dan 14 yang tidak memiliki kamar mandi. Dikarenakan kondisi geografis wilayah Johar Baru cukup sempit. Belum lagi kepadatan jumlah penduduk cukup tinggi.

Pemerintah Provinsi Jakarta pun membangun septic tank komunal di Rumah Susun (Rusun) Tanah Tinggi. Pembangunan dilakukan di dalam area taman yang memang sedang dilakukan revitalisasi. Rencananya akan rampung akhir 2024.

Hingga November 2024, kondisi masih tak jauh berbeda. Contoh di RT 8/RW 12 Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru. Rumah-rumah di sini sangat padat hingga berhimpitan dan membentuk gang sempit. Rumah-rumah di wilayah ini kebanyakan tak layak huni. Mulai dari tata letak permukiman yang padat, tidak tersedianya kamar kamar mandi di dalam rumah, hingga ukuran rumah yang sempit sebesar 2×3 meter dengan penghuni 5-6 orang.

Kritik soal kesenjangan antara rakyat dan wakil rakyat bukan hal baru. Lagu Iwan Fals, Surat Buat Wakil Rakyat, yang dirilis pada 1987, tetap relevan hingga kini. Dalam liriknya, Iwan menyerukan agar para wakil rakyat benar-benar merakyat dan berjuang untuk rakyat. Tiga dekade berlalu, pesan tersebut belum benar-benar didengar. Kesenjangan antara anggota dewan dan masyarakat justru semakin nyata.