MarketNews

Utang Pemerintah Sudah Berbahaya, 2022 Diramal di Atas Rp7.500 Triliun

Suka tidak suka, utang pemerintah terus menggunung hingga Rp6.687,28 triliun per Oktober 2021. Tahun depan, utang negara diprediksi melonjak hingga lebih dari Rp7.500 triliun. Bisa Rp8 ribu triliun atau di atasnya lagi.

Peneliti muda Center of Macroeconomics and Finance (Indef), Riza Annisa Pujarama kepada Inilah.com, Senin (13/12/2021), menyebut angka penambahan utang Rp868 triliun pada tahun depan.

Dia mengasumsikan, utang pemerintah tahun ini sebesar Rp6.700 triliun. Sedangkan proyeksi utang pemerintah tahun depan berdasarkan APBN 2022 dipatok Rp868 triliun.

“Anggaplan utang pemerintah tahun ini mencapai Rp6.700 triliun, ditambah asumsi utang tahun depan berdasarkan APBN 2022 sebesar Rp868 triliun. Ketemu angka Rp7.568 triliun. Angka ini bisa saja bertambah,” papar Riza.

Riza tidak setuju kalau utang pemerintah Indonesia, sebesar Rp6.700 triliun per Oktober 2021, disebut masih aman. Dari berbagai indikator, menurutnya cukup beresiko.

Kata Riza, pertumbuhan utang sejak 2015 hingga 2020, dari perspektif kesinambungan fiskal, masuk kategori sangat beresiko. “Bukan aman ya tetapi beresiko,” tegas Riza.

Misalnya, debt ratio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2015-2020 naik dari 30,76% menjadi 39,39%. Debt income ratio terhadap penerimaan negara 2015-2020 naik dari 249,78% menjadi 368,98%.

Interest ratio terhadap penerimaan negara 2015-2020 naik dari 13,58% menjadi 19,06%. Dan, debt service ratio terhadap penerimaan negara 2015-2020 naik dari 36,74% menjadi 46,76%. “Semua indikatornya naik, artinya cukup beresiko,” ungkapnya.

Di sisi lain, jelas Riza, penerimaan pajak jeblok terus. Di mana, angka tax ratio sejak 2015 hingga 2020 terjun bebas. Pada 2015, tax ratio mencapai 20,8% kemudian terjun bebas ke level 8,3% pada 2020. Ketika penerimaan pajak seret maka ancaman defisit membesar. Untuk menambal defisit, mau tak mau pemerintah menarik utang baru.

“Namun kita berharap melalui UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP), pemerintah menaikkan PPN pada tahun depan, tax ratio bisa ikut naik,” ungkapnya.

Ekonom Indef Imaduddin Abdullah menambahkan, kondisi fiskal pemerintah semakin terdisrupsi saat pandemi Covid-19. Penerimaan negara berkurang dan pada saat bersamaan ada keharusan untuk membiayai stimulus. Sehingga, pemerintah menerbitkan utang baru dan defisit meningkat.

“Tidak ada pilihan lain, memang yang harus dilakukan pemerintah adalah konsolidasi fiskal. Mengerem belanja, dalam artian memprioritaskan belanja atau pengeluaran yang memiliki dampak terhadap sektor ekonomi,” paparnya.

Menurut dia, pemerintah harus melakukan evaluasi pengalokasian dan penggunaan anggaran dari pengalaman 2020 dan pelaksanaan sepanjang 2021.

Tidak hanya realisasi anggaran, tetapi juga seberapa besar pengaruh setiap rupiah bagi masyarakat dan perekonomian. “Evaluasinya harus dilihat seberapa besar pengaruhnya, bukan hanya gap realisasi dan budget yang dianggarkan,” ujarnya.

Dia juga menilai perlu digelar mobilisasi penerimaan untuk menekan defisit. Salah satu percepatan yang bisa dilakukan adalah penerapan pajak karbon karena akan berdampak terhadap penerimaan dan juga lingkungan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button