Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menilai, ketentuan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga UU 19/2003 tentang BUMN yang membuat BPK tak leluasa mengaudit Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), justru blunder besar.
“Dalam pasal 15A ayat 2 UU 1/2025 menyatakan, BPK tidak dapat langsung melakukan audit terhadap keuangan Danantara, kecuali atas permintaan DPR. Ini fatal menurut saya,” kata Hardjuno, Jakarta, Sabtu (8/5/2025).
Dia menegaskan, memperlakukan Danantara sebagai entitas komersial murni seperti halnya Temasek di Singapura, bukanlah masalah. Namun, jika ingin mengambil model negara maju, maka penegakan hukum terhadap kasus korupsi serta standar etik pejabat pemerintah dan BUMN, harus mengikuti standar Singapura dan negara-negara maju lainnya.
“Korupsi harus diberantas, indeks persepsi korupsi Indonesia harus turun hingga setara dengan negara-negara maju dan modern. Hanya dengan itu rakyat bisa percaya bahwa Danantara benar-benar akan dikelola secara profesional,” kata Hardjuno.
Menurut kandidat Doktor di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini, adalah tingginya angka korupsi. Bahkan, nilai kerugian negaranya sudah di luar akal sehat.
“Jika UU BUMN yang baru disahkan dan Danantara diperlakukan layaknya entitas komersial murni, maka sebagai penyeimbang, pemerintah harus menunjukkan ketegasan dalam pemberantasan korupsi,” imbuhnya.
Pertama, kata Hardjuno, pemerintah harus segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset. Tanpa aturan ini, sulit bagi negara untuk mengambil kembali uang hasil korupsi yang telah disembunyikan oleh para pelaku.
Kedua, lanjut mantan Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI itu, pembuktian terbalik harus diberlakukan tidak hanya untuk pejabat negara, tetapi juga untuk pejabat dan pegawai BUMN serta Danantara.
Dengan demikian, siapapun yang memiliki harta di luar kewajaran wajib membuktikan keabsahannya. Ketiga, hukuman mati bagi koruptor harus diterapkan untuk memberikan efek jera yang nyata, terutama bagi mereka yang menggerogoti dana publik dalam jumlah besar.
“Saat UU BUMN yang baru telah ditetapkan dan kewenangan BPK dipangkas, lalu masyarakat diminta percaya begitu saja bahwa audit independen bisa menjamin keamanan keuangan Danantara yang nilainya mencapai Rp 14 ribu triliun, itu sama saja dengan menempatkan nasib rakyat di mulut buaya dan serigala,” tegasnya.
Sebagai perbandingan, Temasek di Singapura beroperasi sebagai entitas komersial, namun menerapkan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Laporan keuangan tahunannya diaudit oleh auditor independen, KPMG LLP, yang telah melakukan audit terhadap laporan keuangan Temasek sejak 2008 hingga 2024 tanpa modifikasi.
Namun, yang perlu digarisbawahi adalah konteks pengawasan dan etika pejabat di Singapura sangat berbeda dengan Indonesia. Singapura dikenal sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi yang sangat rendah dan penegakan hukum yang ketat terhadap kasus korupsi.
Berdasarkan data Transparency International, Singapura secara konsisten menempati peringkat teratas dalam indeks persepsi korupsi global, menunjukkan minimnya praktik korupsi di pemerintahan dan sektor bisnisnya.
“Pejabat publik di Singapura tunduk pada standar etika yang tinggi dengan pengawasan yang ketat, serta ancaman hukuman berat bagi pelanggar hukum,” imbuhnya.
Sementara Indonesia saat ini, kata Hadjuno, masih bergulat dengan korupsi yang konsisten meluas. Ditunjukkan dengan indeks persepsi korupsi Indonesia, lebih buruk ketimbang negara-negara maju.
Berbagai kasus korupsi besar yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa sistem pengawasan masih lemah dan belum efektif dalam memberikan efek jera. Inilah yang membuat perbandingan Danantara dan Temasek menjadi sesuatu yang tidak apple to apple.
“Kita ingin Danantara dikelola secara profesional seperti Temasek, tetapi jika korupsi masih merajalela dan tidak ada ketegasan dalam pemberantasannya, maka ini hanya akan menjadi celah baru bagi oligarki untuk menggerogoti uang rakyat,” tutup Hardjuno.