News

Wacana Legalisasi Ganja, Angan pun Melayang…

Viral di media sosial, seorang ibu membawa poster berisikan pesan tuntutan melegalkan ganja untuk penggunaan medis, saat car free day (CFD) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Sebelumnya Thailand resmi menghapus ganja dari daftar narkotika. Wacana melegalkan ganja kembali ramai di Tanah Air.

Ibu bernama Santi asal Sleman, Yogyakarta, membawa spanduk bertulis tuntutan melegalkan ganja untuk penggunaan medis. Aksi yang dilakukan Santi dimulai dari Bundaran HI hingga Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Minggu (26/6/2022) pagi.

Putri Santi bernama Pika ini menderita lumpuh otak atau dikenal dengan nama Cerebral Palsy, yang menyebabkannya mengalami kejang selama 2 minggu sekali. Menurut Santi, Pika bisa disembuhkan dengan minyak CBD, minyak berbahan dasar ganja. Ibu ini menuntut legalisasi penggunaan ganja untuk pengobatan anaknya.

Sebelumnya, negara tetangga Thailand resmi menghapus ganja dari daftar narkotika mereka. Mulai 9 Juni 2022, Thailand resmi melegalkan ganja atau mariyuana untuk ditanam dan dikonsumsi di dalam makanan dan minuman. Negeri Gajah Putih ini menjadi negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan ganja dan menghapusnya dari daftar narkotika Kategori 5. Harapan pemerintah Thailand, pelegalan ganja dapat mendorong sektor pertanian dan pariwisata yang terseok akibat pandemi COVID-19.

“Ini adalah kesempatan bagi masyarakat dan negara untuk mendapatkan penghasilan dari ganja dan hemp,” kata Anutin Charnvirakul, Wakil Perdana Menteri Thailand yang juga menjabat Menteri Kesehatan, di akun media sosialnya bulan lalu.

Apa yang terjadi di Thailand ini berimbas ke negara-negara tetangga lainnya termasuk di Indonesia. Beberapa pihak di Indonesia pun ikut-ikutan demam ganja. Wacana melegalkan tanaman ini pun di Tanah Air kembali ramai. Selama ini, Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara sangat ketat melarang penggunaan narkotika termasuk ganja ini.

Dirkursus Ganja

Legalisasi ganja merupakan diskursus yang terus berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Publik mungkin masih ingat di 2017, Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap seorang pria karena terbukti menanam ganja di dalam rumahnya sendiri. Ganja tersebut akan digunakan untuk pengobatan istrinya yang mengidap penyakit Syringomyelia.

Meskipun untuk pengobatan, di Indonesia penggunaan ganja masih dilarang seperti diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Di beberapa negara, ganja dikenal sebagai obat untuk beberapa penyakit keras semacam alzheimer dan arthritis. Tumbuhan yang memiliki sebutan marijuana atau cannabis sativa ini dinilai bermanfaat dalam berbagai bentuk pengobatan terapi dan penghilang rasa sakit.

Bahkan penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Molecular Cancer Therapeutics menemukan bahwa zat cannabidiol yang terdapat dalam ganja bisa membunuh gen bernama ‘Id-1’ yang ada pada sel kanker untuk menyebar ke seluruh tubuh.

Karena alasan pengobatan ini, sempat ada permohonan pengujian secara materiil Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) yang melarang penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Dwi Pertiwi (Pemohon I); Santi Warastuti (Pemohon II); Nafiah Murhayanti (Pemohon III); Perkumpulan Rumah Cemara (Pemohon IV), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (Pemohon V); dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) (Pemohon VI).

Para Pemohon menganggap larangan penggunaan ganja bagi kesehatan ini merugikan hak konstitusional Pemohon. Hal ini karena menghalangi Pemohon untuk mendapatkan pengobatan yang dapat meningkatkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak dari Pemohon.

Sempat pula muncul usulan untuk melakukan revisi UU Narkotika terkait kebijakan penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan ini. Usulan itu bahkan pernah masuk ke dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021 dengan status usulan Pemerintah.

Pengunaan ganja dan minyak ganja untuk tujuan medis belum dilakukan di Indonesia. Selain karena adanya aturan larangan penggunaannya termasuk untuk tujuan medis, juga belum ada bukti manfaat klinis dari penggunaan ganja ataupun minyak ganja untuk pengobatan di Indonesia.

“Kalangan medis tidak menggunakan ganja dan produk turunannya saat ini. Meskipun saat ini di Amerika salah satu kandungan, yaitu Kanabidiol dapat memberikan efek anti epilepsi dan sudah di-approve oleh FBI pada tanggal 28 Juni 2018 dengan nama epidiolex, tetapi di Indonesia terdapat drug of choice epilepsy, yaitu gabapentin, asam valproat, dan sebagainya,” urai Arianti Anaya saat menjabat Plt. Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, beberapa waktu lalu.

Ganja di Thailand

Legalisasi ganja di Thailand tidak serta merta terjadi, tetapi melalui proses panjang. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, ganja mulai dilihat sebagai komoditas yang memiliki potensi lain di luar dari statusnya sebagai obat-obatan terlarang.

Thailand memang telah lama memiliki sejarah dengan ganja yang banyak digunakan penduduk setempat untuk pengobatan tradisional. Selain itu, sudah ada ratusan bisnis di Thailand yang beroperasi bahkan sebelum undang-undang baru, menawarkan berbagai macam produk ganja, seperti restoran yang menyajikan daun kari Thailand.

Pemerintah setempat kini mengeluarkan aturan bahwa siapa pun dapat menjual hidangan mengandung ganja. Syaratnya, produknya harus mengandung kurang dari 0,2 persen tetrahydrocannabinol (THC), senyawa yang memberi pengguna perasaan mabuk.

Lalu apakah ganja boleh diisap sebagai rokok di Thailand? Penggunaan ganja untuk kepentingan rekreasional, semisal diisap sebagai rokok belum diizinkan pemerintah Thailand. Kementerian Kesehatan Masyarakat negara itu telah menyetujui draf panduan pengendalian bau asap mariyuana.

Draf itu menyebutkan jika seseorang merokok ganja yang asapnya mengganggu, warga bisa mengadukan ke aparat. Apabila aduan itu terbukti, orang tersebut terancam dipenjara selama kurang dari tiga bulan, atau denda kurang dari 25.000 baht (Rp10,5 juta), atau gabungan kedua hukuman.

Rakyat Thailand kini diizinkan menanam mariyuana di rumah, tapi tidak diisap untuk ‘giting‘. Bahkan pemerintah membagikan satu juta bibit kepada masyarakatnya. Setiap rumah tangga dapat menanam hingga enam pohon ganja. Sementara bagi siapapun yang menjual tanaman ganja untuk tujuan komersial harus mengantongi izin dari pemerintah Thailand.

Langkah dekriminalisasi ganja bakal mendorong pengembangan ganja di bidang farmasi, kosmetik dan makanan. Jadi di atas kertas penanaman ganja sekarang sepenuhnya dilegalkan di Thailand. Polisi sekarang tidak mungkin menangkap orang hanya karena memiliki mariyuana.

Pemerintah Thailand bersikeras, mereka mengizinkan produksi dan konsumsi semata-mata untuk tujuan medis, bukan rekreasi, tetapi dalam praktiknya garis pemisahan itu sudah kabur. Apalagi tanpa adanya pengawasan yang ketat dalam penggunaannya.

BNN Tegas Soal Ganja

Kecuali Thailand, masih banyak negara lain di dunia yang memberikan status ilegal kepada ganja. Hal itu juga akan berlaku di Indonesia. Di Amerika Serikat pun, kebijakan legalisasi ganja tidak merata, hanya di negara-negara bagian, bukan secara terpusat atau di tingkat federal.

Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Petrus Reinhard Golose menegaskan tidak adanya wacana legalisasi ganja di Indonesia. Pihaknya mengklaim bahwa legalisasi ganja untuk kebutuhan medis atau rekreasi tak akan ada. Meskipun sudah dilakukan di beberapa negara tetangga, namun pembahasan legalisasi ganja di Indonesia tak terjadi.

“Tidak ada sampai saat ini pembahasan untuk legalisasi ganja. Di tempat lain ada, tetapi di Indonesia tidak ada,” kata Komjen Petrus di sela-sela acara peringatan Hari Antinarkotika Internasional (HANI) 2022 di Badung, Bali, 19 Juni lalu.

BNN kini malah tengah mengkaji tanaman kratom (Mitragyna speciosa) yang dianggap punya efek candu. “Kratom masih dalam proses, kami melihat bagaimana sampai sekarang itu masih menunggu. Ada aturan-aturan yang harus kami laksanakan. Akan tetapi, kami dari BNN mengusulkan itu jadi salah satu bahan dalam perubahan Undang-Undang (Narkotika),” katanya.

BNN meyakini kratom memiliki efek samping yang lebih kuat daripada morfin, zat yang saat ini masuk narkotika golongan II di Indonesia. BNN tahun lalu menyampaikan rencana mengusulkan, agar kratom masuk dalam narkotika golongan I sehingga tidak dapat digunakan untuk pengobatan. Namun muncul polemik karena beberapa kelompok masyarakat menggunakan kratom sebagai bahan obat-obatan tradisional/herbal.

Jadi legalisasi ganja di Tanah Air tampaknya akan sangat sulit. Masih berupa angan-angan yang melayang. Apalagi di Indonesia, tanaman ganja saat ini masih banyak yang bersifat merugikan daripada mendatangkan manfaat. Lihat saja, kasus sitaan ganja masih tinggi karena banyak disalahgunakan untuk rekreasi atau penggunaan yang bersifat rekreasional sehingga berdampak pada angka kematian lebih tinggi.

Terakhir, menarik mengungkap sepenggal lirik lagu karya Bondan Prakoso and Fade 2 Black yang berjudul Narkoba. “Overdosis, rumah sakit, nyawa pun melayang, Linting daun…”.

Ayo perangi narkoba, war on drugs!

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button