Bertepatan dengan hari Kesaktian Pancasila (1/10/2024), 580 orang anggota DPR dan 152 DPD periode 2024-2029 telah dilantik. Entah berhubungan atau tidak, sekira pukul 07.00-08.30, pintu tol contra flow Halim ditutup. Kami (saya dan ribuan warga lain yang hendak ke ibu kota) pun termangu dalam lalu lintas yang macet total. “Tadi pagi itu macet di mana-mana, Pak. Ada pelantikan DPR. Saya yang mengantar penumpang seharusnya 20 menit, jadi satu jam. Kacau pokoknya,” begitu kata supir ojol yang saya tumpangi dari Simprug ke SCBD sore harinya.
Apa yang terjadi di jalanan pada hari itu rupanya berbanding terbalik dengan yang tampak di Gedung DPR. Di sana, para anggota legislatif yang akan dilantik datang dengan riang. Tidak cukup diekspresikan di Senayan, kesumringahan tersebut juga ditebar di berbagai akun pribadi mereka: anggota dari sejumlah artis berpose manis, istri pejabat tampil memikat, sejumlah pengusaha tampak berwibawa, dan seterusnya, hingga ada pula yang sepertinya datang dengan kaul, yakni memakai kostum Ultraman.
Pemandangan kontradiktif ini kiranya merupakan representasi dari relasi antara DPR dengan rakyat secara umum. Sejarah hubungan kedua pihak tersebut menunjukkan bahwa antara DPR dan rakyat nyaris selalu berada dalam relasi oposisi biner (pasangan berlawanan). Namun, tidak dalam arti DPR hadir karena ada rakyat, melainkan kehadirannya justru untuk “memunggungi” rakyat. Secara semiotik, hubungan ini menunjukkan kerusakan “relasi signifikasi” tanda. Beranalogi kepada semiotika Hjemslev (2013/paperback) yang mengidentifikasi ekspresi sebagai tanda yang bersumber kepada konten, ekspresi wajah anggota DPR sejatinya merujuk kepada rakyat sebagai kontennya.
Wajah Yang Alfa
Tentu, kita juga harus mengapresiasi kehadiran DPR lebih dari sekadar posisinya sebagai lembaga resmi negara yang mesti ada, melainkan juga terhadap capaiannya. Seperti dikutip dari sebuah media online nasional, setidaknya terdapat tiga produk perundang-undangan yang diapresiasi rakyat, yakni:
- UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
- UU Pelindungan Data Pribadi (PDP)
- UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA)
Puan Maharani, Ketua DPR periode 2019-2024, memang membeberkan jumlah produk perundang-undangan yang jauh lebih banyak, serta sekian ratus rapat dan kunjungan kerja di dalam dan ke luar negeri, juga segudang aduan dari rakyat. Baiklah, laporan Puan yang terpilih kembali sebagai Ketua DPR periode 2024-2029 tersebut kita terima saja sebagai “kewajaraan posisional,” yakni kegaliban yang umum dilakukan pelaku atau penyelenggara. Tidak penting diperkarakan.
Hal yang menjadi soal adalah seringnya anggota DPR tidak hadir justru ketika rakyat sangat membutuhkannya. Bukan hanya sering tidak hadir secara fisik pada rapat paripurna, tetapi juga absen secara substansial dalam pemikiran dan tindakan. Sebab, terlalu sering, tidak susah untuk menunjukkan contoh kealfaan ini. Bahkan sekarang saja kita masih menyaksikan bagaimana DPR tetap minggat ketika penguasa menanggalkan rasa malu dan melampaui batas kewajaran dalam perebutan kekuasaan. Kita tidak mendengar suara DPR justru ketika nyaris seluruh lapisan rakyat berteriak tentang hal tersebut. Orang awam saja bisa berkata, jika rakyat bersuara sendiri, mengapa mereka mesti mengirim wakil.
Kiranya para anggota DPR yang terhormat sedang dan selalu berpikir bahwa hak rakyat yang diwakilkan kepadanya adalah hak politik, bukan soal-soal lain di luar itu. Artinya, rakyat memilihnya (partai politik) sebab secara teoretik mereka setuju dengan pilihan dan arah sokongan politiknya. Jadi, sosok yang dipilih partai politik (dan/atau koalisi partai politik) harus disokong tanpa reserve. Jika pikiran dan keyakinan teoretik ini yang dianut, tidak akan pernah ada kebaikan pada lembaga legislatif tersebut. Di dalam suatu bangsa yang kondisi pendidikan dan ekonominya centang perenang ini, partai politik akan terus-menerus menjadi lorong gelap demokrasi yang pekerjaannya memanipulasi dan menjebak rakyat.
Apakah kita memiliki harapan perubahan pada DPR RI periode 2024-2029 yang baru dilantik tersebut? Tidak ditemukan sinyal yang terang. Hal yang pasti, gedung “politis-legendaris” di Senayan tersebut masih didominasi anggota lama—kiranya penting untuk dipermasalahkan batasan waktu keanggotaannya (jangan ditunggu sampai membusuk duduk di gedung itu hanya karena memiliki modal untuk membeli suara rakyat).
Dari 580 anggota, 307 merupakan wajah lama, dan 273 pendatang baru (jawapos.com, 2/10/24). Secara semiotik, perbandingan jumlah ini bisa dibaca sebagai kode naratif: bahwa perubahan ke arah yang diharapkan kebanyakan rakyat masih sangat jauh dari jangkauan. Alih-alih, tanpa bermaksud melesapkan semangat optimistis, yang akan terjadi mungkin justru kian menjauh dari harapan tersebut. Ya, wajah-wajah mereka akan selalu sumringah, tapi wajah rakyat kiranya akan tetap pucat! *