Selama musim haji, penduduk Mekah di kota suci tersebut sering dipuji karena kefasihan mereka dalam beberapa bahasa termasuk Bahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa asing ini berasal dari seringnya interaksi mereka dengan orang-orang dari seluruh dunia.
Keterlibatan mereka dalam kegiatan terkait haji, baik komersial maupun sukarela, di berbagai sektor, memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan musiman dan mendapatkan pengalaman berharga ketika menjadi sukarelawan. Yang terpenting, hal ini memberi mereka kehormatan dalam melayani jamaah, memenuhi kebutuhan mereka, dan memastikan kenyamanan mereka.
Anas Al-Harithi, seorang penduduk Makkah, melakukan pekerjaan musiman setiap tahun selama musim haji dengan agen yang menawarkan pekerjaan sementara. Ia menggambarkannya sebagai pengalaman luar biasa yang memungkinkannya belajar bahasa Indonesia dan berinteraksi dengan jamaah asal Indonesia. Indonesia adalah kelompok jamaah haji terbesar yang tiba di Mekah setiap tahunnya.
Al-Harithi mengatakan hambatan linguistik telah berkurang secara signifikan karena banyak orang di Mekah telah lama fasih dalam beberapa bahasa. Selama bertahun-tahun berkarya selama haji, Al-Harithi telah membangun pengetahuan luas terkait ibadah haji. Kemampuannya dalam berbagi bahasa dan berpartisipasi aktif membuat perjalanan para peziarah menjadi lebih mudah dan lancar.
Sebagian besar warga Makkah memperoleh keterampilan ini bukan melalui pendidikan formal namun melalui kontak langsung dengan jamaah, sehingga memungkinkan mereka memenuhi kebutuhan jamaah secara efektif, katanya.
Rania Chaudhry, seorang pemandu jamaah, mengatakan, haji merupakan kesempatan besar bagi masyarakat Mekah untuk bekerja, mengabdi, dan menikmati kehormatan profesi mulia tersebut.
Kemampuannya berkomunikasi dalam bahasa Urdu dikembangkan melalui pengalaman bertahun-tahun menyambut para peziarah, memenuhi kebutuhan mereka, dan memastikan perjalanan mereka selancar dan senyaman mungkin.
Chaudhry mengatakan, banyak pemandu pria dan wanita yang berasal dari negara yang sama dengan para jamaah. Oleh karena itu, mempelajari bahasa-bahasa tersebut tidaklah sulit bagi mereka.
“Keunggulan ini memberikan keluarga-keluarga ini kehormatan untuk melayani para jamaah, menampung mereka, memastikan kenyamanan mereka, dan memberikan layanan terbaik untuk membantu mereka melakukan ibadah selama musim haji,” katanya.
Chaudhry menambahkan bahwa pemandu menyambut jamaah sejak mereka tiba di Mekah dan menemani mereka sepanjang perjalanan haji, serta membantu mengatasi hambatan bahasa apa pun. Hubungan antara pemandu dan jamaah membentuk ikatan yang kuat, tidak didorong oleh kepentingan ekonomi tetapi oleh ikatan kemanusiaan, spiritual, dan agama, ujarnya.
“Merupakan kewajiban di hadapan Allah, juga kepada para pejabat dan masyarakat, untuk memperhatikan mereka yang digambarkan sebagai tamu yang datang untuk menjawab panggilan-Nya. Oleh karena itu, setiap orang berusaha untuk memahami kebutuhan mereka dan berkomunikasi dalam bahasa mereka jika mereka tidak fasih berbahasa Arab. Komitmen ini mencerminkan hakikat keimanan sejati yang dijalani oleh para pembimbing, menyaksikan keberkahannya dan memaksimalkan pahalanya.”
Awad Al-Maliki, seorang profesor linguistik di Universitas Islam Madinah, mengatakan bahwa jamaah haji yang datang ke Mekah dari seluruh dunia memiliki keinginan kuat untuk mengenal masyarakat ini, merasakan budaya dan kehidupan sosialnya, serta menyelaraskan dengan tradisi Saudi. Sekaligus terlibat dalam pertukaran pengetahuan dan kemitraan budaya yang konstruktif.
Para peziarah melihat Arab Saudi tidak hanya sebagai jantung dunia Islam tetapi juga sebagai pusat budaya yang berbeda dan terbuka serta inkubator budaya yang menyatukan seluruh dunia Islam, katanya. Al-Maliki mengatakan bahwa jamaah haji merasakan hubungan budaya yang kuat dengan Mekah, dan banyak yang tidak fasih berbahasa Arab.
Akibatnya, warga sering kali menjadi pemandu budaya dan wisata, menawarkan tur warisan dan situs budaya di Mekah dan kota-kota Saudi lainnya dalam beberapa bahasa, termasuk Inggris, Prancis, Urdu, Melayu, dan Hausa.
Orang Saudi sangat tertarik dengan komunikasi linguistik dengan semua kelompok untuk meningkatkan pengalaman jamaah. Keragaman budaya ini mendorong kota ini, memperkayanya secara budaya, kata Al-Maliki.