Warganet Bandingkan Coretax dengan DeepSeek, Harga Mahal tapi Banyak Masalah


Lagi-lagi netizen di medsos X dibikin heboh dengan mahalnya biaya pembangunan Coretax, aplikasi pajak berbasis digital milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tapi tak setara kualitas.

Sayangnya, meski biaya untuk membuat Coretax mencapai Rp1,3 triliun, aplikasi ini banyak masalah. Mulai diresmikan pada 1 Januari 2025 hingga kini. Masih ada kendala.

Dikutip dari akun @gg_02022020, pembuatan Coretax menelan anggaran negara Rp1,2 triliun. Dalam tangkapan layar dokumen yang ia unggah, tampak pembuatan Coretax dilakukan oleh LG CNS-Qualysoft Consortium selaku pemenang tender.

Informasi itu langsung direspons warganet, membandingkan dengan DeepSeek, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) berbasis chatbot yang dikembangkan perusahaan asal China. Biayanya hanya US$6 juta atau setara Rp97,8 miliar.

Menurut warganet, China lebih mumpuni dalam mengembangkan teknologi secanggih DeepSeek. Bahkan siap bersaing ChatGPT, aplikasi AI buatan OpenAI.

Beda  dengan Coretax yang dinilai warganet kurang optimal, sering bermasalah dan memiliki banyak kelemahan.

Surat Teguran Coretax

Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Alessandro Rey mengkritisi DJP Kemenkeu terkait penerbitan surat teguran pajak otomatis lewat Coretax.

Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan prinsip-prinsip asas umum pemerintahan yang baik, dan berpotensi menimbulkan masalah dalam penyelesaian sengketa pajak.

“Kalau semua dibuat otomatis, apa tugas pejabatnya? Siapa yang akan bertanggung jawab atas surat yang dikirim otomatis itu? Seharusnya ada otorisasi dari pejabat yang memiliki kewenangan agar mudah dilacak siapa yang bertanggung jawab,” ujarnya.

Rey menambahkan, tanpa adanya otorisasi pejabat, proses administrasi perpajakan menjadi lebih tidak transparan serta sulit dipertanggungjawabkan.

Selain itu, lanjutnya, terjadi ketidakselarasan antara sistem penerbitan surat teguran dan mekanisme penyelesaian sengketa.

“Jika sistem sepenuhnya digital, penerbitan surat teguran otomatis harus diimbangi fungsi dispute yang memadai dalam Coretax. Aneh jika surat teguran lancar dikirim, tetapi penyelesaiannya justru macet. Seolah-olah solusi hanya bayar,” tegasnya.

Ia menyarankan DJP Kemenkeu untuk menyediakan menu keberatan, balas surat, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang terintegrasi dalam Coretax.

Selanjutnya, Rey mengkritik arahan DJP kepada wajib pajak untuk mengatasi ketidaksesuaian surat teguran lewat layanan Kring Pajak.

“Ini justru menambah risiko kegagalan layanan. Kring Pajak sudah kewalahan melayani aduan Coretax, sekarang ditambah aduan surat teguran. Ini semakin menunjukkan DJP gagal menyediakan layanan efektif dan efisien,” kata dia.

Ke depan, kata Rey, DJP Kemenkeu harus mengevaluasi Coretax dan mekanisme penerbitan surat teguran. Selama ini, layanan DJP Kemenkeu terhadap wajib pajak, bukannya semakin mudah.

Sementara Sekjen P5I, Dharmawan menyayangkan fitur Coretax tidak ada menu upload video rekaman saat pemeriksaan pajak, terutama saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Padahal, Peraturan Dirjen Pajak nomor 7 tahun 2017, menyatakan wajib ada video.

Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti menjelaskan, penerbitan surat teguran dilakukan secara otomatis berdasarkan data administrasi perpajakan.

Pihak DJP, kata dia, mengimbau wajib pajak yang menerima surat teguran untuk segera memeriksa data di Coretax dan menghubungi layanan helpdesk atau Kring Pajak 1500 200 jika menemukan ketidaksesuaian.