News

Was-was Politik Identitas Menjelang 2024

Permainan politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini berhenti di otak reptil saja, meminjam istilah Paul D. MacLean, tidak pernah sampai ke neokorteks. Hasilnya, kita lebih senang saling memaki, saling menjatuhkan, saling mendiskreditkan, saling mendebat. Politik jadi kehilangan aspek art-nya yang luhur dan berhenti di kompetisi untuk saling meniadakan, menang-menangan, zero-sum-game.

Oleh: Fahd Pahdepie

Politik adalah tentang relasi, permainan, dan perjuangan memperoleh kuasa. Para teoritisi membedakannya menjadi beragam model: power relations, power play, power struggle, dan lainnya. Semua hal yang menjadi sumber kuasa (source of power) pada dasarnya bisa dipakai sebagai token untuk bermain politik. Token itu alat tukar untuk mempengaruhi, menawar, bahkan membeli token yang lain. Politik sebagai pola transaksi memang tak terhindarkan.

Pertanyaannya adalah apa yang ditransaksikan? Seorang politisi yang punya ide atau visi mentransaksikan gagasannya dengan suara pemilih, kandidat dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi mentransikan nilai jualnya dengan dukungan partai, organisasi dengan jumlah massa besar mentransaksikan struktur kuasanya dengan meminta jatah jabatan di pemerintahan. Pada dasarnya semua orang dalam politik melakukan transaksi semacam itu. Tafsir yang paling dungu tentang political transaction ini tentu saja adalah membeli suara rakyat dengan amplop serangan fajar, money politics.

Singkatnya, apa-apa yang bisa ditransaksikan dan punya nilai tukarnya sendiri dalam relasi dan permainan politik selalu bisa digunakan. Apapun itu. Mulai dari uang, massa, keluarga, nasab, pengetahuan, pendidikan, agama, kultur, identitas, semuanya. Semua boleh digunakan selama tidak melanggar aturan main yang telah ditetapkan. Sisanya tinggal soal adab dan rasa malu, apa-apa yang kemudian kita masukkan ke dalam keranjang political ethics atau etika politik.

Namun, politik sesungguhnya adalah permainan yang pragmatis. Politik adalah matematika yang logis, kadang terkesan jahat karena sifatnya yang dingin, heartless. Niccolo Machiavelli menyebutnya realpolitik. Ini mirip dengan pragmatisme dalam permainan sepakbola, sebuah tim bisa bertahan dalam 88 menit dengan “parkir bus” di depan gawangnya sendiri, lalu dengan satu counter attack memasukkan satu gol ke gawang lawan dan memenangkan pertandingan. Bagaimanapun, tim itu tetap memang, meski bermain sangat membosankan.

Suatu hari Jose Mourinho pernah ditanya apa pendapatnya tentang sepakbola indah. Ia menjawab dengan lugas, “Apa gunanya bermain sepakbola indah selama 90 menit tetapi tim Anda kalah? Sepakbola adalah tentang hasil akhir, skor akhir, seindah apapun Anda bermain, selama kebobolan lebih banyak, Anda tetap kalah.” Seperti prinsip Mourinho, realpolitik adalah tentang hasil akhir, sementara politik etis adalah tentang sepakbola yang indah.

Belakangan ini, dalam konteks politik Indonesia, kita sering mendengar tentang politik identitas. Anies Baswedan, misalnya, sering dianggap sebagai bad guy karena dinilai menggunakan politik identitas untuk memenangkan game of politics Pilkada DKI 2017 lalu.

Orang-orang seperti Ade Armando, Denny Siregar, Eko Kuntadhi getol menyerang Anies gara-gara persoalan politik identitas ini. Tentu saja dengan cara membenturkannya dengan identitas yang lain. Yang sebenarnya itu adalah politisasi identitas juga. Bahkan, boleh jadi, justru merekalah yang mempertahankan isu politik identitas ini terus ada di ruang publik, karena ini merupakan political battleground yang disukai dan selling di tengah publik Indonesia.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sering menyuarakan soal antipolitik identitas, padahal tanpa sadar mereka sering menggunakan identitas sebagai salah satu token untuk menciptakan pengaruhnya dalam politik. Anies diserang PSI karena dianggap terlalu pro-Islam dan pro-pribumi, di saat yang sama insinuasi itu sebenarnya ingin mengatakan bahwa Anies anti-non-Islam dan anti-non-pribumi.

Ini cara-cara politik identitas juga, bukan? Lucunya, partai dengan identitas anak muda ini menyerang pihak lain melakukan politisasi identitas Islam, sementara di saat yang sama mereka memuat di cover majalah resmi mereka foto Ganjar Pranowo yang sedang diusungnya sebagai calon presiden, melakukan gerakan shalat. Di saat lain, Ketua Umum PSI membanggakan gelar haji yang dimilikinya dengan lantang berkata, “Saya, Haji Giring Ganesha!” Paradoks.

Orang-orang yang menyebut dirinya anti-politik identitas ini adalah orang-orang yang sama yang gemar melabeli massa politik Islam dengan sebutan “kadrun”, akronim dari kadal gurun. Mereka yang mengaku menginginkan persatuan, menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika dan menyebut NKRI harga mati, seringkali adalah orang-orang yang sama yang giat memelihara polarisasi “cebong-kampret”. Tentu saja ini bukan sepakbola indah, bukan politik yang indah, ini adalah politik nir-adab yang menjijikan.

Masalahnya, di tengah permainan politik yang makin cepat, dengan span of attention kita yang kian hari kian pendek, menjadi sepersekian detik saja, politik kita memang jadi makin jauh dari persoalan adab. Makin nir-empati dan nir-akhlak.

Permainan politik yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini berhenti di otak reptil saja, meminjam istilah Paul D MacLean, tidak pernah sampai ke neokorteks. Hasilnya, kita lebih senang saling memaki, saling menjatuhkan, saling mendiskreditkan, saling mendebat. Politik jadi kehilangan aspek art-nya yang luhur dan berhenti di kompetisi untuk saling meniadakan, menang-menangan, zero-sum-game.

Meski sebenarnya sah dan boleh, kita merasa politik identitas dalam segala bentuknya seperti saya ceritakan di atas membuat game of politics kita menjadi tidak menarik. Membosankan. Tidak seru untuk ditonton. Melampaui persoalan pragmatisme dan etik, politik Indonesia hari ini membutuhkan kesegaran dan kebaruan.

Menjelang 2024, kita was-was nuansa politik semacam ini akan terulang lagi. Masih besarnya pengaruh para buzzer politik untuk mengadu domba mendatangkan de ja vu yang mencemaskan. Politisi, partai politik, dan kandidat politik, semakin berpikir pragmatis: Pakai cara apa saja yang penting menang. Tidak apa-apa mengadu domba dan melakukan polarisasi yang penting jelas siapa kawan dan siapa lawan. Sisanya soal pengaruh, adu konten di media sosial, negative campaign di linimasa, untuk menjadi sedikit lebih banyak dari yang lain, bukan menjadi sedikit lebih baik.

Bisakah nuansa ini berubah? Dalam politik, kita tidak bisa berharap kepada publik. Kita harus meminta semua pihak yang bertanding untuk mengikuti aturan tertentu. Politik Indonesia butuh aturan fair play dan penyelenggara serta wasit pertandingan yang adil. Sisanya, kita berharap kepada para ketua partai, para pemilik klub, para kandidat, dan para pengatur strategi dan narasi agar tidak memainkan permainan yang sama seperti tahun 2014 dan 2019. Negara ini butuh perubahan.

FAHD PAHDEPIE – CEO Inilahcom

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button