Kanal

Yankes Buruk Untungkan Rumah Sakit Konglomerat dan Luar Negeri


Akibat pelayanan kesehatan (Yankes) pemerintah yang buruk, rumah sakit swasta dengan layanan wah makin menjamur memanfaatkan peluang. Beberapa rumah sakit di luar negeri juga meraup untung dari banyak warga Indonesia yang berobat. Sementara si miskin di berbagai daerah hanya bisa mengelus dada kian sulit mendapat layanan kesehatan yang baik.

Nursaid tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Matanya terlihat sembab setelah kematian istrinya Marianah yang diduga menjadi korban minimnya pelayanan serta dugaan malpraktik saat cuci darah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Lombok Utara (KLU), Maret lalu.

Warga Desa Menggala, Kecamatan Pemenang, KLU itu meninggal dunia setelah cuci darah, kemudian mengalami koma. “Sebelum cuci darah kondisinya masih normal. Namun saat cuci darah tiba-tiba terjadi kendala, listrik tiba-tiba padam dan alatnya tidak berfungsi. Dokter yang menangani langsung mencabut selang pada istri saya,” kata Nursaid.

Setelah itu pasien dipindahkan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) karena kondisinya koma. Tak lama di IGD, pasien dibawa ke ruang inap sebelum akhirnya dibawa kembali ke ruang Hemodialisa untuk cuci darah. “Saat koma itu dilakukan cuci darah dan sekitar 1,5 jam kemudian istri saya meninggal dunia,” ujarnya.

Sementara seorang pasien berusia 66, meninggal dunia di depan IGD lantaran diduga ditelantarkan dan penanganan yang lambat setelah menunggu hampir 1 jam di RSUD Syekh Yusuf di Gowa, Sulawesi Selatan. 

Dalam rekaman amatir yang viral di media sosial, keluarga menyatakan pasien yang merupakan rujukan Puskesmas Parangloe menunggu selama 1 jam di depan IGD, namun tidak mendapatkan pelayanan.  Padahal kondisi pasien sudah dalam kondisi kritis atau berada di tingkat kesadaran GCS 3 atau terendah.  

Ini hanyalah beberapa contoh bagaimana buruknya pelayanan kesehatan di daerah. Masih lebih banyak lagi keluhan warga apalagi yang tinggal di berbagai pelosok tentang Yankes mulai dari keterbatasan jumlah rumah sakit, minimnya peralatan hingga urusan keramahtamahan petugas medis. Padahal, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 8,4 juta kematian disebabkan oleh kualitas pelayanan yang buruk di negara penghasilan rendah dan menengah menyumbangkan 15% kematian. 

Rumah sakit besar yang menangani penyakit berat juga terbatas. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, Indonesia memiliki 69 buah rumah sakit kelas A per September 2023. Masih belum tersebar secara merata, baru 16 dari 34 provinsi (sebelum pembentukan 4 provinsi baru di wilayah Papua) di Indonesia yang belum memiliki rumah sakit tipe A ini. 

Konglomerat Manfaatkan Peluang 

Bagi kelompok ekonomi sulit terpaksa harus bersabar dan pasrah menerima pelayanan kesehatan seperti itu. Namun mereka yang berkantong tebal tentu akan memilih rumah sakit swasta dengan fasilitas wah meskipun harus merogoh kocek lebih dalam. 

orang miskin sakit
Ilustrasi. Orang miskin dilarang sakit. (Foto: Antara/M. Agung Rajasa).

Pihak swasta termasuk para konglomerat ikut memanfaatkan peluang pasar ini. Dengan investasi sangat besar, mereka gencar membangun rumah sakit dengan fasilitas mewah dan melebarkan jejaring layanan medisnya di berbagai kota. 

Misalnya anak taipan bisnis perkebunan kelapa sawit Martua Sitorus, Jacqueline Sitorus yang memegang saham pengendali PT Murni Sadar Tbk (MTMH). Emiten tersebut merupakan pengelola Murni Sadar Hospitals yang memiliki total 6 rumah sakit, 5 rumah sakit Murni Teguh dan 1 rumah sakit ibu anak Rosiva dengan total kapasitas 858 tempat tidur.

Konglomerat lain yang memiliki jaringan bisnis rumah sakit adalah mendiang Boenjamin Setiawan yang wafat 4 April 2023 lalu. Dia merupakan pendiri Rumah Sakit Mitra Keluarga, yang pertama kali berdiri pada 1989 dengan mengoperasikan 25 rumah sakit. 

Eddy Kusnadi Sariaatmadja pemilik PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) kini mengendalikan pengelola RS Omni, PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk (SAME). Saat ini terdapat 8 rumah sakit dengan kapasitas 1.454 tempat tidur, 6 di antaranya rumah sakit EMC dan 2 lagi rumah sakit GRHA.

Pemilik grup besar lainnya Mochtar Riady, pendiri grup Lippo, berbisnis rumah sakit melalui bendera Siloam Group. Pada awal pendiriannya, dia bekerja sama jaringan rumah sakit Singapura, Gleneagles. Kini Siloam Group berkembang dengan lebih dari 41 cabang rumah sakit dan 25 klinik.

Hungkang Sutedja, anak taipan The Ning King, merupakan pemilik manfaat dari perseroan (ultimate beneficial owner) PT Kedoya Adyaraya Tbk (RSGK). Emiten itu memiliki dua rumah sakit yakni GRHA Kedoya dan GRHA MM2100. The Ning King memiliki banyak perusahaan di sektor tekstil, industri baja, properti, pertambangan, energi, dan pertanian di bawah bendera Agro Manunggal. 

Eka Hospital Group, jaringan rumah sakit milik Sinar Mas Group juga terus melakukan ekspansi. Sebanyak tujuh rumah sakit baru tengah dipersiapkan dan dibangun Eka Hospital Group, ditargetkan selesai pada 2027. Selain itu, kelompok usaha ini juga berencana melakukan akuisisi rumah sakit.

Berobat ke Luar Negeri

Tak hanya rumah sakit swasta dengan layanan wah, banyak warga kini memilih berobat ke rumah sakit di luar negeri. Entah tidak percaya dengan dokter dan rumah sakit di dalam negeri atau memang berobat sambil berwisata. 

Setidaknya sudah dua kali Presiden Joko Widodo menyesalkan banyaknya warga memilih berobat ke negara lain. “Indonesia telah kehilangan potensi devisa US$11,5 miliar atau Rp180 triliun karena satu juta lebih warganya tidak mau berobat di dalam negeri,” katanya, dikutip dari saluran YouTube Sekretariat Presiden.

dokter
Ilustrasi Dokter saat Mengoperasi Pasien (Foto: Istock)

Beberapa negara sudah menawarkan pelayanan seperti medical tourism. Singapura misalnya memiliki sistem perawatan yang diakui WHO paling unggul di Asia dan keenam di dunia. Berbagai pengobatan termasuk kardiologi dan bedah jantung, gastroenterologi, neurologi, onkologi, eftamologi, ortopedi, dan terapi stem cell menjadi andalannya.

Sementara India juga menawarkan rumah sakit swasta berkualitas, terutama di kota-kota besar seperti Bangalore, Mumbai, Chennai, dan Delhi. Perjalanan medis ke India tumbuh sebesar 30% per tahun. Biaya operasi di India jauh lebih murah puluhan ribu dolar dari pada di Amerika dan Eropa. 

Sementara Negeri Ginseng Korea Selatan mendapatkan reputasi baik dalam hal operasi tulang belakang, skrining kanker, serta perawatan dan operasi bedah kosmetik. Demikian pula Thailand yang banyak menawarkan prosedur bedah kosmetik, dengan infrastruktur medis yang sangat baik.

Negara tetangga Malaysia juga menawarkan fasilitas medis, keahlian dokter dan biaya yang lebih kompetitif. Mereka sejak lama menciptakan sejumlah paket menarik seperti ‘well man dan well woman’ yang mencakup pemeriksaan kesehatan secara komprehensif berbiaya rendah.

Fenomena warga memilih berobat di rumah sakit swasta atau memilih berobat ke luar negeri tentu tak bisa begitu saja disalahkan. Warga jelas akan mencari pelayanan terbaik. Namun bagi rakyat kecil terutama di daerah-daerah, seperti Nursaid di Lombok Utara, untuk mendatangi rumah sakit swasta di kota-kota besar tentu hanya sebatas mimpi mengingat mahalnya biaya pengobatan dan terkendala jarak.

Yang juga mesti diingat, meski sejumlah rumah sakit pemerintah dan swasta gencar mengembangkan layanan kelas mewah, persepsi warga Indonesia atas buruknya layanan rumah sakit masih sulit berubah. Modernisasi seringkali hanya terjadi pada penyediaan ruang dan peralatan medik, tetapi profesionalitas dan kemampuan tenaga medik dan pendukungnya belum tertata baik.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button