Kanal

Yuk Kita Hijrah! Keluar dari Ego

Senin, 03 Okt 2022 – 06:19 WIB

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 100)

Kata “hijrah” berasal dari bahasa Arab, yang mempunyai arti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan suatu perbuatan, dan menjauhkan diri dari pergaulan buruk.

Adapun secara istilah, hijrah mengandung beberapa makna: Pertama, hijrah (meninggalkan) semua perbuatan yang dilarang Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadis Nabi SAW: “Orang yang berhijrah adalah orang yang mampu menjauhi serta menghindari apa saja yang dilarang Allah untuk melakukannya.”

Kedua, hijrah (menjauhkan diri) dari lingkungan yang tidak mendukung aktivitas ibadah yang kita lakukan. Seorang Muslim yang tinggal di suatu tempat di lingkungan non-Muslim, misalnya, kemudian ia tidak bisa melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena ada gangguan dan cobaan dari orang-orang yang membenci Islam, maka ia wajib berhijrah dari tempat itu ke tempat lain yang lebih aman, untuk dapat melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Inilah hijrah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, dan para pengikutnya.

Selain itu, kita juga dianjurkan berhijrah dari daerah yang tidak aman ke daerah yang aman, seperti adanya bencana alam, kebanjiran, gunung meletus, tsunami dan lain-lain.

Menurut Mahmud Syaltout, hijrah dibagi menjadi dua bagian, yakni hijrah badaniah dan hijrah qalbiyah.

Hijrah badaniah yaitu hijrah menggunakan kekuatan fisik, dengan berpindah dari satu daerah atau tempat yang tidak nyaman, menuju daerah yang memberikan harapan hidup lebih baik di masa yang akan datang.

Sedangkan hijrah qalbiyah adalah hijrah yang didasari oleh keyakinan dan hati nurani. Hijrah itu dilakukan tanpa pindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi pindah dari kondisi batin yang tidak sehat berupa kemaksiatan, kejahatan, dan kemungkaran, kepada sikap batin yang baik yang diridai Allah SWT.

Pandangan yang dikemukakan Mahmud Syaltout ini sejalan dengan apa yang dipahami oleh para sufi ketika menafsirkan ayat wa man yakhruj min baitihi Muhajirin ila Allahi wa rasulihi…

Dalam beberapa kitab tafsir sufi dijelaskan bahwa makna bait (rumah) dalam ayat tersebut, selain secara dzahir diartikan sebagai rumah tempat tinggal, makna hakiki (substansi)-nya adalah rumah di dalam diri setiap manusia. Maka, tafsir ayat tersebut adalah bahwa “…dan barang siapa yang keluar dari (ego) dirinya menuju Allah dan Rasul-Nya…”

Hijrah secara hakiki adalah keluar dari ego, menuju keridaan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW, dalam hadist di atas.

Orang yang berhijrah secara hakiki adalah orang yang meninggalkan segala bentuk kejahatan, kemunkaran, dan kemaksiatan yang bersumber dari dirinya. Dia tinggalkan kesombongan, prasangka buruk (su ‘uzhan), kedengkian, kemarahan, kebakhilan, keputusasaan. Dia hiasi dirinya dengan kerendahhatian (tawaduk), kesabaran dan rasa syukur, berbaik sangka, istiqamah dalam kebaikan serta tawakal kepada Allah. Inilah hijrah yang sesungguhnya, keluar dari ego. [Didi Junaedi, Qur’anic Inspiration]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button