News

Usai Letusan Marapi, Media Asing Pertanyakan Keselamatan di Sektor Pariwisata


Setelah letusan Marapi di Indonesia, sektor pariwisata menghadapi pertanyaan tentang keselamatan. Menurut pemandu wisata setempat, para pendaki seharusnya tidak diperbolehkan berada di puncak gunung yang terkenal di Sumatera Barat itu.

Mungkin anda suka

Penjaga hutan setempat Ajo mengungkapkan, seharusnya tidak ada seorang pun yang melakukan pendakian di Gunung Marapi, salah satu gunung berapi paling terkenal di Indonesia, pada tanggal 3 Desember.

Menurut laporan Al Jazeera, kemarin, selama hampir setahun, pemandu berusia 25 tahun, yang memimpin tur di gunung tersebut dari tahun 2020 hingga 2022, telah memperingatkan pihak berwenang tentang peningkatan aktivitas gunung berapi di puncak, dan ketakutannya bahwa pendaki akan menjadi korban jika gunung berapi aktif tersebut meletus.

Sayangnya prediksinya mengenai volatilitas Gunung Marapi terbukti benar. Sekitar 75 pendaki berada di gunung tersebut ketika Marapi meletus awal bulan ini, dan menimbulkan abu setinggi 2.000 kaki (600 meter) ke langit. Sedikitnya 24 orang tewas, sebagian besar menderita luka bakar serius.

Mendengar bencana tersebut, Ajo merasa ngeri karena selalu menganggap keselamatan tamunya adalah yang utama, ujarnya. “Saya juga selalu mendidik para tamu tentang prosedur dasar mitigasi darurat. Jika tamu saya ingin pergi ke puncak gunung berapi, saya akan mendidik mereka terlebih dahulu dan memperhatikan cuaca. Kalau tidak memungkinkan, saya tidak akan izinkan mereka mendekati puncak,” kata Ajo kepada Al Jazeera.

Ajo, yang berasal dari Sumatera Barat, mengatakan bahwa dia sangat ketat dalam menerapkan langkah-langkah keselamatan lainnya, dan bersikeras bahwa para tamu hanya mendaki dekat kawah saat fajar dan berangkat pada pukul 11 ​​pagi untuk menghindari terlalu lama berada di dekat “zona bahaya”.

Ia juga menggunakan pengetahuan lokal lainnya untuk menjaga keamanan para tamu, seperti hanya mendirikan kemah di area dengan vegetasi yang lebat, bukan di area berbatu yang terkena cuaca, dan di tempat yang sudah pernah dihanguskan oleh letusan sebelumnya.

Namun meski mencintai pekerjaannya mengawal pendaki ke salah satu puncak terindah di Indonesia itu, Ajo berhenti bekerja di gunung tersebut pada Desember 2022, menyusul perselisihan dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) cabang Sumatera Barat, badan konservasi lingkungan Indonesia, yang memakan waktu lama atas pengelolaan Gunung Marapi dan taman nasional tempatnya berada, pada Juli 2022.

Ajo menuturkan, perselisihan tersebut bermula dari pengumuman BKSDA yang “ambigu” tentang keamanan gunung tersebut pada akhir tahun 2022. Berdasarkan pengumuman tersebut, Gunung Marapi akan ditutup untuk umum mulai 30 Desember 2022 hingga 2 Januari 2023 karena “peningkatan aktivitas vulkanik sejak 25 Desember”.

“Itu membodohi masyarakat, karena mereka kembali membuka akses ke gunung tersebut pada 3 Januari. Bagaimana mereka tahu kapan aktivitas vulkanik akan berkurang?” kata Ajo.

Sementara itu mengutip BBC, jatuhnya 23 korban jiwa akibat erupsi Gunung Marapi, Sumatra Barat –yang disebut terjadi “tiba-tiba”– pada Minggu (03/12/2023) membuktikan bahwa prosedur dan rambu-rambu keselamatan “telah diabaikan”.

Pengamat kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurna, mengatakan bahwa korban tewas semestinya bisa dicegah andai rekomendasi untuk tidak mendekati kawah dalam radius tiga kilometer dipatuhi. “Kalau dilihat ada pendaki yang sampai merapat dekat ke kawah, maka SOP [standard operational procedure] tersebut diabaikan oleh pendaki dan pihak-pihak yang seharusnya memberi peringatan untuk itu,” kata Eko kepada BBC News Indonesia.

Gunung Marapi telah berstatus Waspada atau level II sejak 2011. Aktivitas erupsi Gunung Marapi sempat meningkat pada 7 Januari 2023, sehingga pihak berwenang menutup sementara jalur pendakian. Akan tetapi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat membuka kembali jalur pendakian ke Marapi pada 24 Juli 2023 – meski gunung dengan ketinggian 2.885 meter ini masih berstatus Waspada.

Melarang Pendakian

Masih menurut Al Jazeera, dikenal sebagai “Gunung Api” dalam bahasa Indonesia, Marapi – berbeda dengan Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Merapi di Jawa Timur – memiliki sejarah yang panjang dan penuh kekerasan, dengan letusan pertama yang tercatat terjadi pada tahun 1830. Pada tahun 1979, gunung ini kembali meletus, menewaskan 60 orang, dan satu orang meninggal dunia setelah letusan tahun 1996.

Pada tahun 2011, tingkat kewaspadaan gunung berapi, dinaikkan dari tingkat satu ke tingkat dua, sebagai bagian dari sistem peringatan empat tingkat yang digunakan untuk mengklasifikasikan aktivitas gunung berapi di Indonesia. Badan Penanggulangan Bencana Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) juga melarang orang melakukan pendakian dalam jarak tiga kilometer dari kawah karena kekhawatiran akan terjadinya letusan lebih lanjut, meskipun badan tersebut sendiri tidak memiliki wewenang untuk menegakkan larangan, yang merupakan kebijakan pemerintah setempat di tahun 2018.

Sebelum Juli 2022, Marapi dikelola oleh penduduk setempat yang mengatur perjalanan ke puncak, menjual tiket, dan melarang pendaki mendaki gunung jika mereka menganggapnya tidak aman.

Setelah BKSDA mengambil alih, lanjut Al Jazeera, badan tersebut menyederhanakan dan memperbarui sistem manajemen sebelumnya, meluncurkan sistem pemesanan online baru untuk pendaki yang membatasi jumlah pengunjung maksimal 150 orang per hari, dan mengenakan biaya $0,32 (Rp5.000) untuk tiket masuk pada hari kerja dan $0,48 (sekitar Rp7.500) pada akhir pekan.

Pasca-letusan bulan Desember, BKSDA kini secara resmi sedang diselidiki oleh pihak berwenang di Sumatera Barat untuk mengetahui apakah ada kelalaian dalam bencana tersebut. 

Ajo bukan satu-satunya sumber lokal yang percaya bahwa hilangnya nyawa di gunung adalah sebuah kecelakaan yang menunggu untuk terjadi. “Bukan hanya kelalaian, sebenarnya ada unsur kesengajaan di sini,” Wengki Purwanto, direktur organisasi nirlaba Forum Lingkungan Hidup Indonesia cabang Sumatera Barat, mengatakan kepada Al Jazeera.

“Resminya pemerintah membuka gunung itu untuk pariwisata dan sudah ada daftar harganya. Hal ini jelas merupakan kebijakan yang mengabaikan aspek bencana yang mungkin terjadi. Pemerintah memiliki data status gunung berapi yang lengkap, namun tidak dijadikan acuan pengelolaan pariwisata berbasis mitigasi bencana,” ujarnya.

“Pemerintah tidak bisa mempertaruhkan nyawa karena alasan ekonomi.” Dia mengatakan, seharusnya ada petugas yang ditempatkan di Marapi untuk menjamin keselamatan dan keamanan para pendaki, dan petugas ditempatkan di lokasi terlarang di gunung, seperti “zona merah” sepanjang tiga kilometer.

Menurut Ajo, saat BKSDA mengambil alih pengelolaan kawasan tersebut, ada sejumlah standar operasional prosedur dan aturan, termasuk ketentuan hanya pemandu lokal yang boleh mengantar pengunjung ke gunung tersebut. Sebaliknya, pemandu lokal yang mengeluhkan masalah keselamatan tidak lagi diperbolehkan memimpin tur, kata Ajo, dan sebagai gantinya pemandu dari luar kawasan didatangkan, meskipun tidak memahami medan setempat dan volatilitas gunung.

Investigasi resmi atas tuduhan tersebut terus berlanjut. Pihak berwenang belum menetapkan siapa pun dari BKSDA sebagai tersangka dalam kasus kelalaian, yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara menurut hukum Indonesia.

Dalam pernyataan yang diberikan kepada Al Jazeera mengenai tuduhan kelalaian dan pertanyaan tentang gunung tersebut dibuka untuk umum pada Januari 2023 meskipun ada peringatan dari pemandu lokal, juru bicara BKSDA membantah melakukan kesalahan.

Tuduhan kelalaian tersebut merupakan pendapat pihak-pihak yang hanya menyaksikan sebagian dari kejadian 3 Desember itu, ujarnya. “Kebijakan pengelolaan Marapi mengacu pada peraturan dan informasi yang dikirimkan pemerintah kepada lembaga kami.” “Mereka yang mengetahui cara kerja pengelolaan Marapi tidak akan menghakimi.”

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button