Wacana pengalihan dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) untuk pembiayaan program makan siang gratis, yang digagas oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru. Mereka memandang bahwa penggunaan dana BOS untuk keperluan tersebut dapat berdampak negatif terhadap gaji dan kesejahteraan guru serta tenaga kependidikan.
Gagasan tersebut pertama kali diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus anggota Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Airlangga Hartarto, dalam sebuah simulasi di SMP Negeri 2 Curug, Tangerang, Banten. Meski belum ada pengumuman resmi terkait kemenangan pasangan calon dari Komisi Pemilihan Umum, pemerintah telah memulai pembahasan terkait implementasi program ini.
Kepala Bidang Advokasi Guru dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, mengungkapkan kekhawatiran bahwa lebih dari 50% dana BOS yang selama ini dialokasikan untuk membayar guru dan tenaga kependidikan bisa terganggu.
“Program makan siang gratis seakan-akan memberikan makan gratis kepada siswa dengan mengorbankan jatah makan para guru,” ujar Iman dengan nada prihatin.
P2G mendesak pemerintah untuk merumuskan kembali program tanpa menyentuh anggaran pendidikan, termasuk dana BOS yang sudah terasa berkurang. Tahun lalu saja, anggaran BOS telah dipotong menjadi Rp 539 miliar. Dengan alokasi dana BOS per siswa yang hanya mencukupi Rp 2.830 per hari, program makan siang gratis dianggap tidak realistis tanpa adanya penambahan anggaran.
FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia) melalui Ketua Dewan Pakarnya, Retno Listyarti, juga menekankan bahwa dana BOS yang ada saat ini masih jauh dari cukup untuk membiayai operasional pendidikan. Alih-alih dialokasikan untuk makan siang gratis, seharusnya besaran dana BOS ditingkatkan untuk memastikan pembiayaan pendidikan yang layak.
Dalam APBN 2024, dana BOS tercatat sebesar Rp 57 triliun, yang akan disalurkan ke 419.218 sekolah. Namun, rencana penggunaan dana tersebut untuk program makan siang gratis mendapat penolakan keras, termasuk dari Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, yang menilai wacana tersebut kurang didasari kajian yang matang.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan, menyatakan bahwa konsep program makan siang gratis masih kabur, terutama dari aspek regulasi, skema pendanaan, dan potensi risiko yang muncul.
“Program makan siang gratis secara fondasi masih belum kuat,” tegas Misbah, menambahkan bahwa diperlukan perencanaan yang lebih matang.
Rawan dikorupsi
Sementara itu Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai program makan siang gratis rawan dikorupsi. Apalagi, program ini diwacanakan bakal memakan anggaran Rp450 triliun.
“Kita harus menyadari, hingga kini sektor pendidikan masih masuk kategori 5 sektor terkorup di Indonesia. Maka, biaya makan siang yang jumlahnya sangat fantastis ini, bisa menjadi angin segar bagi oknum di sektor pendidikan untuk melancarkan aksinya,” kata Kornas JPPI Ubaid Matraji dalam keterangan tertulisnya.
Apalagi, belum jelas pengelolanya dan pihak-pihak yang terlibat. Ubaid mengatakan juga penting mengetahui mekanisme transparansi dan akuntabilitasnya.
“Dana BOS saja hingga kini masih bermasalah, apalagi ditambah lagi dengan dana makan siang. Jika terlalu gegabah hanya karena pencitraan, maka akan banyak kepala sekolah dan guru yang masuk penjara,” tegasnya.
Pasangan calon Prabowo-Gibran diminta untuk membuka dialog dan diskusi yang lebih luas dengan masyarakat sipil dan akademisi guna merumuskan program yang tidak hanya ambisius tapi juga realistis dan berkelanjutan, mengingat tantangan yang ada.
Rencana program makan siang gratis ini memerlukan kajian mendalam dan partisipasi semua pihak, agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari, khususnya terkait dengan kesejahteraan guru dan kualitas pendidikan di Indonesia.
Leave a Reply
Lihat Komentar