Kanal

Zikir Itu, Air Zamzam di Tumit Ismail

“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu.” (QS Al-Baqarah 198)

Tiga hari terakhir ini, 11-13 Dzulhijjah 1444H, boleh jadi adalah rekor saya berjalan kaki sepanjang hidup. Total hampir 50 km saya berjalan kaki, mengerjakan lebih dari 65.000 langkah, membakar ribuan kalori dalam tubuh. Semua itu dikerjakan di sepanjang Mina, Muzdalifah, hingga Masjidil Haram. Rata-rata di tengah terik matahari.

Jangan tanya rasanya. Yang jelas, wajah, kaki, dan tangan gosong. Saat saya membuka sandal, garis putih terlihat jelas tercetak di atas kulit kaki yang melegam. Saat membuka baju, terlihat jelas betapa kontras warna kulit tangan dan bahu. Saat membuka kacamata hitam, ada bayangan kacamata tercetak di wajah saya. Mungkin itu efek berjalan di tengah suhu 41-44°C.

“Badan rasanya remuk,” kata teman saya. Sedikit mengeluh. Tapi ia tersenyum. “Alhamdulillah hati tetap penuh semangat,” sambungnya. Memang jika hati lapang dan tenang, semua yang lelah di tubuh tidak terlalu dirasa.

Wajar jika dikatakan bahwa haji adalah ibadah fisik yang berat. Bagi kami yang masih muda dengan fisik yang masih prima saja, semua ini begitu melelahkan dan menguras tenaga. Kalau tidak disiplin minum dan menyemprot air ke wajah, dehidrasi tak terhindarkan lagi. Masuk akal jika banyak lansia bertumbangan di Muzdalifah dan Mina, apalagi saat mereka harus kembali ke Mekkah. Mengerjakan satu rukun haji lagi yang menjadi penutup rangkaian, ‘thawaf ifadhah’.

Setelah rangkaian Armuzna selesai, rata-rata jemaah haji Indonesia jatuh sakit. Yang tua atau muda sebagian besar menderita flu atau batuk. Di masjid atau mushala hotel, batuk tak berhenti menggema, bersahutan tak putus-putus. “Kayaknya yang nggak batuk cuma onta dan tiang listrik!” kata seorang bapak dari Bekasi sambil terkekeh, kemudian terbatuk dengan hebohnya.

Hari ini, saya akan melakukan ‘thawaf ifadhah’ untuk menutup rangkaian haji. Diperkirakan jarak antara hotel dan Masjidil Haram pulang pergi, ditambah ‘thawaf’ dan ‘sa’i’, total mungkin akan menempuh 13 km lagi siang ini. Jika ditotal dengan tiga hari sebelumnya, jumlahnya 63 km. Itu setara jarak berjalan kaki dari Bandung ke Garut.

Sepanjang jalan dari hotel ke Masjidil Haram, melewati dua terowongan, saya melihat orang-orang begitu semangat berjalan kaki. Bahkan seorang kakek asal Afghanistan terus menyeret kakinya yang agak pincang, sementara seorang pemuda Afrika mendorong kursi roda yang di atasnya duduk ayah atau pamannya yang difabel. Ini pemandangan yang luar biasa, tak mungkin mereka semua berjalan kaki sejauh ini, di tengah terik yang sangat, jika tak ada iman yang menggerakkan.

Saya merenungkan apa hikmah di balik semua ini, kemudian teringat surat Al-Baqarah ayat 198 yang saya kutip di atas. Jika kita pahami benar ayat itu, bahkan terus membaca hingga ayat ke 203, kita akan mengerti bahwa di antara esensi haji adalah zikir. Mengingat Allah. Di ayat ke 200, Allah berfirman, “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membanggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu.”

Ini ayat yang sangat penting dan dalam. Di luar haji, mungkin kita kerap mengandalkan koneksi, status, jabatan, jaringan, keturunan, dan lainnya. Hidup kita digerakkan oleh ‘nama-nama’ yang kita sebut: Nama kita sendiri, orangtua, atasan, perusahaan, instansi, organisasi, dan lainnya. Di dalam haji, semua itu tidak berguna. Maka kita diminta pasrah untuk hanya mengingat dan menyebut nama Allah saja.

Zikir juga adalah esensi dari ‘thawaf’ dan ‘sa’i’. Sepanjang ‘thawaf’, tujuh putaran melawan arah jarum jam, kita diminta memperbanyak berzikir. Konon, ‘thawaf’ yang sejati adalah yang tenggelam dalam nama-nama Allah, yang hanya menghadirkan Allah di dalam hati dan pikiran. Tubuh juga bergerak sebagai upaya zikir badan, yang digerakkan oleh pikiran dan hati yang berzikir tadi.

Kemudian ‘sa’i’, tujuh kali bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwa, merekonstruksi rasa perih dan rasa hina Siti Hajar yang lelah mencari air untuk putera tercintanya Ismail yang kehausan. Saat ‘sa’i’, kita perlu menghadirkan rasa hina, khawatir, dan butuh kepada Allah sebagaimana dulu Hajar melakukannya. Seraya hati, pikiran, dan lidah terus menyebut ‘asma’ Allah.

Hingga kemudian Allah menghilangkan semua kesulitan dalam hidup kita kelak, seperti Allah menghapus duka lara hajar dengan menghadirkan air Zamzam di tumit Ismail. Dengan nama Allah pula air Zamzam itu tak pernah surut sampai hari ini, meski berabad-abad usianya, walaupun miliaran orang telah menangguk miliaran liter darinya.

‘Innash shafâ wal marwata min sya’â’irillâh, fa man ḫajjal baita awi’tamara fa lâ junâḫa ‘alaihi ay yaththawwafa bihimâ, wa man tathawwa’a khairan fa innallâha syâkirun ‘alîm.’

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah 158)

Sambil terus berjalan atau berlari-lari kecil di ‘mataf’ dan ‘mas’a’, saya menghitung langkah dengan zikir. Ternyata semua ringan jika kita sertakan nama Allah dalam seluruh aktivitas kita. Semua mudah jika ada nama Allah dalam seluruh gerak kita. Semua terberkati jika hati, pikiran, dan tubuh terus berzikir.

Di antara ratusan ribu orang siang ini, saya bersyukur menempuh puluhan kilometer, menghabiskan puluhan hingga ratusan ribu langkah. Bersyukur karena dalam setiap gerak dan ayunan kaki selalu disertakan nama Allah. Ternyata ini indah dan manisnya iman. Ini yang disebut para ulama zikir hati, zikir pikiran, zikir lisan, dan zikir badan. Di tengah terik yang membakar, semua terasa bagai air, meleleh, mengalir, membanjir menggerakkan segalanya.

Ya Allah… Ya Allah… Ya Allah…

Masjidil Haram, 13 Dzulhijjah 1444 H

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button