Market

Potret Provinsi Kaya, Infrastrukturnya ‘Duafa’

Rusaknya jalan di Lampung yang sempat viral di medsos, bahkan menjadi perhatian Presiden Jokowi, hanya sepenggal cerita mengenai jebloknya kualitas infrastruktur di daerah. Masih banyak provinsi yang jalanannya dipenuhi lubang, bahkan kubangan. Padahal, provinsi itu dikenal kaya, karena punya kekayaan alam luar biasa.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kualitas jalanan (infrastruktur) di sejumlah provinsi, cukup memprihantikan. Padahal, jalan provinsi dan kabupaten/kota yang ditanggung APBD, bisa segera diperbaiki. Kalau kepala daerahnya punya concern terhadap infrastruktur. Kalau infrastruktur jeblok, berdampak kepada mahalnya biaya logistik. Berefek pula kepada harga bahan pokok.

Data BPS tentang Statistik Transportasi Darat 2021 yang dirilis November 2022, menempatkan Riau sebagai jalan provinsi yang punya jalan provinsi rusak terpanjang se-Indonesia. Yakni 633 kilometer (km). Sedangkan jalan kabupaten/kota yang rusak, panjangnya 3.250 km. Atau lima kali jalan provinsi.

Padahal, Riau dikenal sebagai provinsi kaya, ‘gemah ripah loh jinawi’. Punya kekayaan alam berupa tambang dan perkebunan yakni minyak bumi, gas dan kelapa sawit. Pada 2022, Riau ditetapkan sebagai provinsi terkaya kelima di Indonesia dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita mencapai Rp102.292.000/tahun.

Ada lima kabupaten dan kota penyokong Riau. Yakni, Kabupaten Bengkalis dengan PDRB per kapita Rp243.439.000 pada 2021. Kedua, Kabupaten Siak yang PDRB per kapita sebesar Rp192.539.000. Ketiga, Kabupaten Pelalawan yang pendapatan rata-rata atau PDRB per kapita 2021 sebesar Rp144.312.000. Keempat, Kota Pekanbaru dengan PDRB per kapita sebesar Rp127.245.000. Terakhir, Kabupaten Rokan Hilir dengan PDRB per kapita sebesar Rp124.630.000.

Posisi kedua, jalanan provinsi yang rusak di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang baru saja menjadi tempat penyelenggaraan KTT ke-42 ASEAN sepanjang 667 km. Provinsi ini dikenal punya pariwisata yang ciamik. Potensi perikanan, perkebunan juga luar biasa. Tapi memang tidak sebesar Riau. Ada sejumlah kabupaten dan kota yang pendapatannya warganya lumayan gede, karena sumber daya alam (SDA).

Kota Kupang yang menjadi ibu kota provinsi. Memiliki PDRB per kapita tertinggi di NTT sebesar Rp53.785.000 pada 2021. Kedua, Kabupaten Sumbawa Timur memiliki PDRB per kapita Rp25.974.000. Ketiga, Kabupaten Ende memiliki PDRB per kapita Rp23.209.000. Keempat, Kabupaten Rote Ndao memiliki PDRB per kapita Rp22.434.000.

Selanjutnya, jalan provinsi di Papua Barat mengalami kerusakan sepanjang 623 km. Provinsi yang berdiri sejak 2007 ini, kaya kekayaan alam berupa hutan, mineral, minyak dan gas bumi, serta laut. Ada sejumlah kabupaten dan kota yang menjadi penopang perekonomian Papua Barat. Sebut saja, Kabupaten Teluk Bintuni yang memiliki PDRB-nya Rp25,56 triliun, Kota Sorong sebesar Rp10,167 triliun. Di bawahnya, Kabupaten Sorong dengan PDRB Rp8,702 triliun. Kabupaten Manokwari dengan PDRB Rp6,761 triliun. Dan, Kabupaten Fakfak dengan PDRB Rp3,552 triliun.

Dan, Provinsi Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai provinsi paling kaya di Pulau Sulawesi, punya jalan provinsi rusak terpanjang yakni 442 km. Pada 2021, penghasilan penduduk Sulawesi Tengah mencapai Rp81,73 juta per tahun, atau setara Rp6,8 juta/bulan. Angka itu di atas PDRB per kapita nasional yang hanya Rp62,24 juta per tahun. Selama ini, Sulawesi Tengah dikenal sebagai penghasil nikel, batubara, minyak bumi, kelapa sawit, coklat dan perikanan laut. Destinasi wisata baharinya juga oke. Sedangkan jalanan kabupaten atau kota yang rusak di wilayah Sulawesi Tengah, panjangnya mencapai 3.147 km.

Ada sejumlah kabupaten dan kota yang menjadi penyangga Sulawesi Tengah, yakni Kabupaten Morowali dengan PRDB per kapita pada 2021 sebesar Rp588.290.000. Disusul Kabupaten Morowali Utara dengan PDRB per kapita Rp107.058.000. Kabupaten Banggai Rp84.236.000, dan Kota Palu sebagai ibu kota provinsi memiliki PDRB per kapita Rp69.321.000.

Ini baru secuil potret jalan rusak di provini, kabupaten dan kota di Indonesia. Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno pernah menyebut 52 persen jalanan rusak di Indonesia.

Dia mengakui, masih banyak daerah yang belum memiliki anggaran cukup untuk perbaikan atau pemeliharaan fasilitas jalan. Pertanda bahwa gubernur, bupati atau wali kota di Indonesia, banyak yang tak perduli akan kualitas infrastruktur. “Salah satu daerah dengan jalan rusak itu ada di Parung Panjang, jadi wajar kalau banyak masalah. Sementara daerah tersebut tidak punya banyak anggaran,” papar Joko.

Salah Kelola dan Politisasi Anggaran

Terkait banyaknya jalanan rusak di provinsi atau kabupaten/kota yang kaya, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, disebabkan salah kelola APBD, atau kuatnya politisasi anggaran.

Dia contohkan APBD Provinsi Lampung sebesar Rp7,38 triliun, seharusnya mencukupi untuk perawatan atau perbaikan jalan provinsi, kabupaten dan kota. “Sekarang kalau dibilang angka Rp7 triliun untuk APBD (Lampung) harusnya kan cukup untuk perbaikan jalan. kalau hanya untuk membenahi infrastruktur jalan. Kan bisa dihitung. Ini bukan membangun kawasan industri baru gitu ya,” kata Bhima kepada Inilah.com di Jakarta, Kamis (11/5/2023).

Sebenarnya, kata Bhima, anggaran infrastruktur sudah disediakan oleh pemerintah namun dalam hal ini, terjadi masalah dalam pengalokasian dana tersebut. “Jadi masalahnya bukan karena anggarannya kurang, tapi salah dalam mengalokasikan anggaran dan itu tidak ada yang mengingatkan,” tegas ekonom muda itu.

Banyaknya belanja yang dinilai tidak penting untuk didahulukan, menyebabkan fungsi otonomi daerah, tidak berjalan dengan baik. Akibatnya, tata kelola anggaran pemerintah, baik pusat atau daerah, menjadi rusak. “Jadi makanya ini yang bikin jengkel, rata-rata belanja modal itu relatif kecil ada pemda yang belanja pegawainya bisa mencapai 60 persen dari total APBD,” kata Bhima.

Selain itu, baik pemerintah maupun lembaga pengawasan perlu memeriksa pengunaan APBN, sebelum adanya intervensi anggaran dari pusat.  “Karena di dalam APBD yang ada, ada dana transfer pemerintah pusat, DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus), belum ada dana bagi hasil. Itu bisa jadi, selama ini, jalan rusak dibiarkan karena alokasi anggarannya salah,” jelas Bhima.

Lebih dari itu, jika kasus pelimpahan tanggung jawab pemerintah daerah ke pemerintah pusat seperti di Lampung kembali terulang, akan menyebabkan utang negara semakin bertambah dan juga pemerintah daerah akan terlihat semakin “manja”.  “Nah cara-cara manajemen kebijakan publik dan keuangan seperti itu tidak bagus. Karena seolah semua akan bisa diselesaikan dengan turunnya pemerintah pusat,” tutur Bhima.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button