Operasi ‘Anti-Inflasi’ demi Melanggengkan Hasrat Berkuasa?

Persaingan kandidat calon presiden/wakil presiden makin ketat dengan berbagai cara dan program. Yang mungkin berbeda adalah menjalankan operasi ‘anti-inflasi’. Tujuannya bisa jadi bukan hanya untuk menjaga perekonomian tetapi juga terkait melanggengkan hasrat berkuasa. 

Dalam istilah perekonomian, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum serta terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Inflasi tinggi imbasnya bisa ke mana-mana bahkan ada contoh di beberapa negara bisa memicu pergantian pimpinan negara termasuk di Indonesia. Ini masuk akal, karena dampaknya dapat menimbulkan keresahan masyarakat dan menyulitkan terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah.

Mungkin kita masih ingat, Indonesia pernah mengalami resesi hebat pada 1998. Inflasi Indonesia melambung hingga 77,63% sementara ekonomi terkontraksi hingga 13,13%. Ekonomi domestik terkontraksi 6,4% pada kuartal I. Kontraksi semakin membesar menjadi 16,8% pada kuartal II dan 17,4% pada kuartal IV.

Resesi 1998 memang dipicu oleh Krisis Keuangan Asia namun juga tak lepas dari ketidakmampuan pemerintahan saat itu mengantisipasinya. Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp2.500 menjadi Rp16.900 per dolar AS. Krisis moneter bahkan sampai menjalar ke ranah politik dan sosial hingga menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun.

Merusak Struktur Ekonomi

Inflasi tinggi memang menakutkan, bisa merusak struktur ekonomi suatu negara karena menimbulkan ketidakstabilan harga di pasar. Kondisi ini mempengaruhi investasi dan keputusan bisnis yang diambil oleh perusahaan sehingga bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Tingkat suku bunga juga akan ikut meningkat. Ketika harga umum barang dan jasa mengalami kenaikan, maka bank sentral harus membuat kebijakan agar mampu menurunkan inflasi. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan menaikkan tingkat suku bunga agar tingkat inflasi menurun.

Efek dominonya, ketika suku bunga naik, maka pinjaman menjadi mahal karena biayanya pun naik. Jika permintaan pinjaman menurun, maka jumlah uang beredar di masyarakat pun akan menurun. Artinya, masyarakat memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan. Pengeluaran pegawai membengkak, sementara pendapatan tidak naik. Dengan kata lain, daya beli masyarakat pada barang dan jasa menjadi rendah. 

Inflasi akan membuat minat menabung kebanyakan orang berkurang karena nilai uang yang terus menurun. Meningkatnya inflasi dapat menyebabkan biaya ekspor jauh lebih mahal. Hal tersebut akan meningkatkan harga dari suatu produk ekspor, sehingga daya saing produk tersebut di negara tujuan ekspor bisa menurun. Akibatnya, hal ini bisa menurunkan devisa negara.

Pemilu dan Inflasi

Setiap pemilu seringkali menjadi momok bagi pemerintah terkait dengan inflasi. Konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit rumah tangga tumbuh secara signifikan. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, tingkat konsumsi rumah tangga dan lembaga non-profit rumah tangga mulai meningkat enam bulan sebelum pemilu hingga saat pemilu berlangsung. 

post-cover
Ilustrasi Inflasi (Foto:Istock)

“Pemilu 2024 berpotensi memiliki dampak yang lebih besar dari pemilu sebelumnya, akibat penyelenggaraan pesta demokrasi dilakukan secara bersamaan,” kata Zamroni Salim, Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Agenda pesta demokrasi yang panjang memacu uang yang beredar di masyarakat menjadi lebih banyak. Sayangnya, pengeluaran uang itu tidak untuk kegiatan produktif. “Akan terjadi kenaikan inflasi, yang perlu kita waspadai sekali lagi, bukan ketakutan karena kalau ketakutan menyebabkan panic buying, itu lebih berbahaya lagi,” kata Izza Mafruha, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, bulan lalu.

Apalagi saat ini perekonomian global masih dibayangi berbagai tantangan yang berat ke depannya. Akibatnya, tekanan inflasi masih tinggi akibat disrupsi rantai pasok dan juga munculnya berbagai konflik geopolitik seperti perang Rusia dan Ukraina serta serangan Israel ke Gaza yang hingga kini belum berakhir. Tingginya tekanan inflasi telah mendorong pengetatan kebijakan moneter di banyak negara, terutama di negara maju, yang berakibat pada ketatnya likuiditas dan meningkatnya volatilitas di sektor keuangan global.

Memicu Ketidakpuasan dan Stabilitas Sosial Politik

Salah satu yang menjadi kekhawatiran terhadap inflasi yang tinggi adalah dapat menciptakan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan kebijakan ekonomi, yang dapat berdampak pada stabilitas sosial dan politik. Lihat saja era kejatuhan Soeharto, ketika inflasi melambung hingga 77%.

Tentu saja ada harga mahal yang harus dibayar pemerintah jika tidak bisa mengendalikan inflasi. Tak bisa lagi melanggengkan kekuasaan. Apalagi saat ini Pemerintahan Joko Widodo berharap keberlangsungan pembangunan dan kekuasaan dengan ‘menyiapkan’ penggantinya yakni Calon Presiden Prabowo Subiyanto yang berpasangan dengan putra sulungnya yakni Gibran Rakabuming Raka.

Tak heran Jokowi sangat konsern dengan pengendalian inflasi ini. Apalagi selama sembilan tahun era pemerintahannya, Jokowi memang berhasil menekan inflasi. Inflasi Indonesia pada 2015-2022 atau masa periode Jokowi memimpin secara penuh hanya tercatat 3,11%. Inflasi tahun ini juga sangat terkendali yakni menyentuh 2,28% (year on year/yoy) pada September 2023. Jika dirata-ratakan, maka inflasi selama sembilan tahun kepemimpinan Jokowi berada di angka 3,46%.

Karena tak mau terpeleset gara-gara inflasi ini, Jokowi sudah mewanti-wanti kepala daerah untuk menjaga inflasi. “Inflasi menjadi momok bagi semua negara,” kata Jokowi. Apalagi, menurutnya, tahun 2023 ini, managing director IMF memprediksikan, satu per tiga ekonomi di dunia mengalami resesi.

“Pemerintah daerah, gubernur, walikota, saya minta perhatikan dari waktu ke waktu, dari jam ke jam, pergerakan angka inflasi di daerah masing-masing. Ini penting sekali. Ini momok semua negara,” ujarnya, di Medan, Sumatera Utara, 9 Februari lalu. Presiden juga kerap mengadakan rapat pemantauan inflasi.

Operasi ‘Anti-Inflasi’ Para Pj Kepala Daerah

Tak heran para kepala daerah benar-benar ditekan untuk membantu menjaga inflasi di wilayahnya. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian selalu menekankan pengendalian inflasi ini juga merupakan salah satu fokus pemerintah. Bila pengendalian tidak dilakukan, maka inflasi akan kembali melonjak sementara harga-harga barang dan jasa naik sehingga menyulitkan masyarakat.

post-cover
Presiden RI, Joko Widodo didampingi Mendagri, Tito Karnavian dan Menkeu, Sri Mulyani saat pertemuan dengan seluruh Penjabat (Pj) kepala daerah se-Indonesia di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/10/2023). (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)

Setiap kepala daerah maupun penjabat (Pj) kepala daerah yang dilantik dari mulai tingkat I hingga tingkat II, ditugaskan untuk menjaga inflasi di masing-masing daerahnya. Pj itu separuh hampir 514 kabupaten/kota. “Kemampuan menangani inflasi dimasukan sebagai variable evaluasi untuk bisa diperpanjang atau diganti (dicopot),” kata Tito yang sempat disebut-sebut menjadi Cawapres, usai acara Gerakan Pangan Murah (GPM) di Kantor Badan Pangan Nasional, Jakarta Selatan, Senin (16/10/2023).

Salah satu Pj kepala daerah yang telah diberhentikan, yakni Pj Walkot Cimahi Didik Suratno Nugrahawan. Dia dicopot gegara tiga bulan berturut-turut angka inflasi di Kota Cimahi tinggi, bahkan dua kali tertinggi se-Pulau Jawa. Mendagri terus melakukan evaluasi Pj ini setiap tiga bulan. Tahun lalu terdapat 7 Pj kepala daerah yang terpaksa diganti, dengan berbagai sebab terutama terkait dengan pelaksanaan program prioritas pemerintah seperti inflasi, penanganan stunting, revitalisasi hingga infrastruktur. 

Seperti diketahui, pada 2022, terdapat 101 penjabat kepala daerah dilantik, terdiri dari 7 penjabat gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota. Sementara pada 2023, ada 170 penjabat kepala daerah yang akan dilantik, terdiri dari 17 penjabat gubernur, 38 wali kota, dan 115 bupati.

Mungkin baru di era Tito Karnavian ini, Mendagri sangat serius memantau para kepala daerah untuk menjaga inflasi. Ada pertanyaan muncul, apakah operasi ‘anti-inflasi’ ini dilakukan lebih pada menjaga agar posisi dan kepentingan Jokowi tetap aman? Hal ini mengingat Jokowi masih memiliki kepentingan dan ikut cawe-cawe untuk ikut menentukan siapa penggantinya sebagai presiden.

Hanya saja apakah operasi ‘anti-inflasi’ ini akan berlangsung aman dan lancar? Hal ini mengingat bukan tidak mungkin para kepala daerah termasuk para Pj memiliki afiliasi kepada calon presiden lainnya sehingga bisa mengganggu misi ini.

Kalau benar operasi ‘anti-inflasi’ ini dijalankan untuk kepentingan kekuasaan, muncul pertanyaan menggelitik berarti ini bukan sebuah upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga perekonomian negara agar rakyat sejahtera. Bisa jadi hanya menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan menempatkan orang-orang pilihannya untuk melancarkan hasrat berkuasa. Entahlah, hanya waktu yang akan menjawabnya.

 

Sumber: Inilah.com