Ekonom dari Center of Economics and Law Institute (Celios), Bhima Yudhistira menyayangkan keputusan para gubernur yang menetapkan kenaikan UMP 2024 sangat rendah. Termasuk DKI yang UMP-nya hanya naik 3,6 persen.
“Para kepala daerah seharusnya menolak formula upah minimum yang terlalu rendah. Karena ini akan berdampak kepada perekonomian daerahnya. Semakin rendah upah maka perekonomian semakin sulit tumbuh. Karena menyangkut daya beli yang melemah,” kata Bhima, Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Selanjutnya Bhima menyoroti keputusan Pj Heru yang menetapkan UMP 2024 hanya lebih tinggi 3,6 persen ketimbang UMP 2023. Sementara, kenaikan harga barang khususnya pangan di DKI, cukup tinggi.
“Pemda DKI punya kewenangan khusus ketimbang daerah lain, terkait penetapan upah merujuk UU tentang DKI Jakarta yang masih berlaku. Khususnya pasal 26 yang mengatur kewenangan dan urusan pemprov.
Dalam pasal 26 UU DKI Jakarta, kata dia, masih bisa memberi ruang pengaturan industri dan perdagangan kepada Pemrov DKI. Di mana upah merupakan komponen yang tidak terlepaskan dari kebijakan ekonomi Gubernur DKI.
“Sehingga bisa manfaatkan regulasi itu. Jadi enggak perlu merujuk UU Cipta Kerja soal formulasi upah. Kalau bisa lebih baik dari hasil formula UU Cipta Kerja. kenapa tidak. Semuanya bergantung niat,” kata Bhima.
Dengan upah yang naik lebih tinggi, kata Bhima, maka perputaran ekonomi semakin naik. Alhasil, masyarakat yang berbelanja semakin banyak yang berdampak juga kepada pendapatan daerah
Rasanya Bhima sulit dibantah. Ketika Anies Baswedan menjabat Gubernur DKI, UMP 2022 dinaikkan 5,1 persen. Selanjutnya diganti Penjabat (Pj) Gubernur DKI, Heru Budi Hartono yang menaikkan UMP 2023 sebesar 5,6 persen menjadi Rp4,9 juta.
Sedangkan untuk UMP 2024, Pj Heru hanya menaikkan 3,6 persen menjadi Rp5,06 juta. Keputusan itu bisa diartikan sebagai kemunduran dan ketidakberpihakan kepada masyarakat kelas pekerja dan buruh.
Leave a Reply
Lihat Komentar