Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM, Prof. Adi Utarini, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, memaparkan proses penelitian nyamuk berwolbachia sebagai strategi untuk menurunkan kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), khususnya di Yogyakarta.
“Pelepasan nyamuk ini dilakukan secara bertahap. Kami menggunakan ember yang diisi dengan nyamuk aedes aegypti dan diletakkan berjarak sekitar 75 meter antar rumah,” ujar Uut sapaannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/11/2023).
“Setiap dua minggu, telur nyamuk diganti dan airnya diganti, sehingga dalam 6 bulan, nyamuk aedes aegypti berwolbachia menyebar di masyarakat,” sambungnya.
Selain itu, Uut juga membentuk 250 jebakan nyamuk yang disebarkan di seluruh Yogyakarta untuk memonitor jenis serangga yang tertangkap dan jumlah nyamuk aedes aegypti yang terjebak.
“Dengan pelepasan selama 6 bulan, populasi aedes berwolbachia diharapkan mencapai 60 persen,” tambahnya.
Saat populasi nyamuk berwolbachia mencapai 60 persen, proses berkembang biak akan berlangsung alami dan pelepasan dihentikan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, dimulai dari uji keamanan dan kelayakan teknologi Wolbachia.
Masyarakat sendiri dikhawatirkan dengan munculnya tuduhan, seperti “nyamuk Bill Gates”, nyamuk bionik, atau dugaan akan munculnya penyakit baru dari program ini. Namun, Prof Uut, peneliti pionir Wolbachia, yang risetnya sudah diakui dunia sebagai gold standar, tegas membantah anggapan tersebut.
“Kami membangun laboratorium dan pertama kali membawa telur nyamuk aedes yang sudah ada wolbachianya untuk dikawin silangkan dengan nyamuk lokal,” terang Uut.
Pelepasan pada skala kecil dimulai di dua dusun di Sleman dan Bantul, sebagai fase kedua. Fase ketiga adalah pembuktian efektivitas teknologi ini dalam menurunkan kasus DBD.
“Setelah risiko dinyatakan bisa diabaikan, kami melanjutkan pelepasan skala luas,” jelas Uut.
Penelitian ini telah mendapat rekomendasi dari AIPI dan WHO, menandai langkah maju dalam pengendalian DBD di Indonesia.
Leave a Reply
Lihat Komentar