News

15 Jurnalis Terbunuh di Gaza, Keamanan Peliputan Dipertanyakan

Dengan setidaknya 15 jurnalis terbunuh dalam pekan pertama konflik Israel-Hamas, termasuk jurnalis video kantor berita Reuters, redaksi dan spesialis keamanan sedang mendiskusikan cara menjaga para jurnalis tetap aman.

Pemimpin Redaksi Reuters Alessandra Galloni memberi penghormatan kepada jurnalis video Issam Abdallah, yang tertembak dan terbunuh pada 13 Oktober ketika sedang merekam baku tembak di perbatasan, antara tentara Israel dan Hezbollah, kelompok militan di Lebanon.

“Dia hanya sedang melakukan pekerjaannya ketika terbunuh. Membuat laporan terkait berbagai peristiwa dunia dengan akurasi, integritas, independensi dan bebas dari bias, adalah inti dari apa yang kami perjuangkan di Reuters,” kata dia.

Peluru itu, yang dilaporkan berasal dari Israel, melukai enam jurnalis lain. Galloni menuntut Israel agar transparan dalam penyelidikan insiden ini. Dia menggarisbawahi pentingnya media untuk melakukan pelaporan terkait perang.

“Dan sangat penting bagi jurnalis kita untuk bisa melakukan itu secara aman,” tambahnya.

Keamanan adalah kata kunci bagi redaksi ketika mengirim tim liputan ke Israel dan Gaza. Dalam pekan pertama konflik ini, setidaknya sudah 15 jurnalis, termasuk Abdallah, terbunuh, kata Komite untuk Perlindungan Jurnalis.

Sejumlah jurnalis lain terluka atau terhambat dalam bekerja, dalam apa yang disebut UNESCO sebagai pekan pertama paling mematikan bagi jurnalis dalam konflik terakhir. Tetapi kehadiran media di lapangan pada saat perang adalah sesuatu yang sangat penting.

https://c.inilah.com/reborn/2023/10/jurnalis_gaza2_e7555881ef.jpg

“Memiliki jurnalis yang bisa berada di lokasi untuk merekam berbagai peristiwa, sangat penting untuk memahami apa yang sedang terjadi dan agar ada akuntabilitas di sana, terutama karena jumlah warga sipil yang terlibat,” kata Rachel Oswald dari National Press Club.

Menurut dia, adalah sangat penting bahwa jurnalis memberikan liputan yang terverifikasi dan faktual terkait perang Israel dan Hamas.

“Kita melihat semua pihak yang terlibat di dalam konflik mencoba untuk mendominasi layar informasi dengan kebohongan, dengan misinformasi, dengan gambar-gambar yang dimanipulasi. Jurnalis ada di sana untuk mengatakan bahwa apa yang menjadi fakta adalah penting,” ucap Oswald.

Dengan meningkatnya risiko yang dihadapi jurnalis secara global, pembahasan dan pelatihan terkait keamanan perlu dilakukan sejak tahap awal, termasuk di sekolah-sekolah dan program jurnalistik perguruan tinggi.

The James W. Foley Legacy Foundation, yayasan yang mengadvokasi keselamatan jurnalis dan warga negara AS yang secara keliru ditahan di luar negeri, telah membentuk gugus tugas kurikulum keselamatan jurnalis untuk melatih dan mendukung generasi jurnalis masa depan.

Kunci untuk pelatihan, dan persiapan untuk meliput dalam situasi berbahaya, harus direncanakan. Itu mencakup memiliki sumber daya manusia dengan pengetahuan terkait kawasan itu di dalam tim dan berkoordinasi dengan editor di ruang redaksi. Spesialis keselamatan mengatakan, penting juga untuk memiliki perencanaan jalan keluar jika situasi menjadi terlalu berbahaya.

“Jika seseorang berada dalam situasi berbahaya di suatu tempat, mereka memiliki pemahaman dengan segera, gambaran terbaik tentang apa yang sedang terjadi. Jadi, itu tidak bergantung pada saya untuk mengatakan, baiklah, ini yang harus kamu lakukan. Itu semua terserah kepada reporter untuk membuat keputusan, mematuhinya. Dan memberi tahukannya kepada kami,” demikian pernyataan The James W. Foley Legacy Foundation.

Dengan jumlah warga sipil yang terbunuh dan luka-luka dalam konflik Israel-Hamas terus naik setiap hari, dan semakin banyak jurnalis hadir di sana untuk meliput perang, keselamatan adalah bagian penting dari perencanaan di ruang redaksi. [VOA/Reuters]
 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button