Market

4 Alasan PEPS Menyebut Sri Mulyani Sesatkan Publik Soal Utang

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut, pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang tambah utang maka pertumbuhan ekonomi melesat, cukup menyesatkan.

“Ada empat alasan, pernyataan Sri Mulyani tersebut menyiratkan penyesatan, pembodohan serta pembohongan publik,” papar Anthony di jakarta, Senin (5/6/2023).

Pertama, kata dia, ekonomi terdiri dari dua sisi, yaitu supply (produksi) dan demand (permintaan atau konsumsi). Sedangkan sisi permintaan, terdiri dari empat komponen, yaitu konsumsi masyarakat (C), investasi (I), belanja negara (G), dan ekspor dikurangi impor (E-M).

Dalam notasi: Y = C + I + G + (E-M). Teori demand ini dikembangkan ekonom terkenal asal Inggris, John Maynard Keynes. “Keynes berargumen, kalau konsumsi masyarakat (C) turun, maka harus dikompensasikan dengan kenaikan Belanja Negara (G), yaitu melalui defisit anggaran, atau stimulus fiskal, untuk menahan ekonomi agar tidak anjlok dan masuk resesi lebih dalam,” terang Anthony.

Keynes memberi contoh, kesalahan kebijakan saat depresi besar pada era 1930-an. Kala itu, pemerintah tidak memberi stimulus fiskal yang memadai, sehingga membuat ekonomi global mengalami depresi berkepanjangan.

Sebaliknya, lanjut Anthony, ketika ekonomi memanas, artinya konsumsi masyarakat naik pesat, pemerintah harus mengurangi Belanja Negara, agar tidak terjadi hiperinflasi. Artinya, pemerintah harus menjalankan kebijakan destimulus fiskal, atau kontraksi, melalui surplus anggaran. Dalam hal ini, tanpa utang, ekonomi juga bertumbuh,” terangnya.

“Dalam notasi persamaan ekonomi menurut Keynes, tidak ada korelasi langsung antara utang (defisit anggaran) dengan pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.

Kedua, lanjut Anthony, sisi supply ekonomi, dinyatakan dengan Y, terdiri dari Harga dikali Kuantitas: Y = P x Q. Dalam resesi, Harga (atau general price index) dan kuantitas produksi tertekan. Sehingga ekonomi (Y) tertekan.

Stimulus fiskal berupaya menahan agar kuantitas produksi (Q), dan harga, tidak anjlok. Tetapi, tidak cukup. Maka itu, hampir semua Bank Sentral dunia menjalankan kebijakan stimulus moneter, menurunkan suku bunga, dan sekaligus membanjiri likuiditas melalui quantitative easing. Kebijakan ini bersifat inflationary, dan memicu inflasi.

“Ini yang terjadi di masa pandemi. Kebijakan moneter global, penuriammo suku bunga hingga 0 persen serta quantitative easing, memicu harga komoditas dan inflasi global naik tajam, dan membuat ekonomi (PDB) dalam nilai nominal naik. Terutama bagi negara produsen komoditas seperti Indonesia,” imbuhnya.

Oleh karena itu, kata Anthony, membandingkan kenaikan PDB nominal antar negara, khususnya negara produsen komoditas seperti Indonesia dengan negara non-produsen komoditas seperti India, seperti disampaikan Sri Mulyani dalam rapat bersama Banggar DPR, sangat tidak relevan. “Yang membuat PDB nominal naik bukan karena utang, tetapi karena kebijakan moneter inflationary,” terangnya.

Ketiga, ungkap Anthony, mengikuti logika Sri Mulyani, rasio kenaikan PDB nominal akibat utang, di pemerintahan Jokowi sangat rendah dibandingkan dengan SBY. Periode 2004-2009, rasio kenaikan PDB terhadap utang sangat tinggi 11,31: setiap kenaikan satu rupiah utang, membuat PDB nominal naik 11,31 rupiah. Rasio ini jauh lebih besar ketimbang rasio di pemerintahan Jokowi. Rasio pada periode 2014-2019 hanya 2,64. Dan rasio pada periode 2019-2022 hanya 1,27. Artinya, Jokowi dan Sri Mulyani gagal?

Keempat, kata Anthony, Sri Mulyani seharusnya membandingkan kenaikan PDB nominal dengan kenaikan utang, dalam persentase. Ternyata, rasio pada periode 2019-2022, sangat rendah. Hanya 0,38. Artinya, setiap kenaikan 1 persen utang hanya membuat PDB nominal naik 0,38 persen. Sedangkan di periode 2004-2009, setiap kenaikan 1 persen utang, membuat PDB nominal naik 6,37 persen. Rasio ini lagi-lagi menunjukkan Jokowi dan Sri Mulyani gagal?

“Tetapi, Sri Mulyani berusaha menutupi kegagalan ini dengan penyesatan opini kepada publik, dan sekaligus melakukan pembodohan dan pembohongan kepada publik dan anggota Banggar DPR,” ungkapnya.

Pada Selasa (30/5/2023), Sri Mulyani menyampaikan bahwa total kenaikan utang sebesar US$206,5 miliar periode 2018-2022, berdampak kepada kenaikan PDB nominal Indonesia sebesar US$276,1 miliar.

Sri Mulyani kemudian membandingkan dengan negara lain. Misalnya, Vietnam yang berhasil menaikkan PDB nominal lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan utang. Vietnam mencatat kenaikan utang US$18,2 miliar, menghasilkan kenaikan PDB sebesar US$102,0 miliar.

“Vietnam juga termasuk yang cukup efektif. Mereka kenaikan PDB-nya naik sangat tinggi di US$102 miliar, ini karena kenaikan FDI [foreign direct investment], capital inflow, investment yang keluar dari China ke Vietnam lumayan besar,” jelasnya.

Sri Mulyani menyebut sejumlah negara yang mengalami kenaikan PDB lebih rendah ketimbang kenaikan utang. Malaysia misalnya, mencatatkan kenaikan utang US$69,5 miliar dengan kenaikan kenaikan PDB lebih kecil yakni US$48,9 miliar.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button