Kanal

49 Tahun Malari: Menolak Lupa dan Menata Ulang Arah Perjalanan Bangsa

Gerakan mahasiswa di era 60-an sampai tahun 80-an senantiasa didahului oleh sebuah pertarungan wacana yang kuat. Gerakan mahasiswa sekarang harus melihat kenyataaan bahwa legislatif tidak lagi efektif menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Yudikatif melupakan fungsinya sebagai penjaga gawang konstitusi dan keadilan hukum. Eksekutif menjalankan roda pemerintahan tanpa arah kecuali ikuti arahan pemodal.

Oleh: In’am El Mustofa – Aktivis dan Direktur Eksekutif  Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan Yogyakarta

Bagi aktivis saat ini, Peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974 hampir pasti memiliki tempat tersendiri, artinya peristiwa tersebut senantiasa dihadirkan setiap tahun untuk diperingati terutama setelah peristiwa itu berlalu puluhan tahun.

Sejarah masa lalu dihadirkan sekarang untuk diberi makna ulang dengan harapan akan cukup membantu untuk meneropong keadaan terkini yang sedang menapaki masa yang akan datang. Begitulah Malari 1974. Meskipun akhir-akhir ini lebih banyak bernuansa seremonial dan romantika kronik masa lalu. Jauh dari itu semua, hal tersebut tidak terlepas dari sosok Hariman Siregar, ikon Malari 74.

Yang luput diperhatikan oleh kaum milennial dari sejarah gerakan mahasiswa masa 60an, 70an dan 80an adalah bahwa pergerakan dari para pendahulu mereka senantiasa didahului oleh sebuah pertarungan wacana yang kuat. Aktivis pers, aktivis kelompok diskusi, dan demonstran berkemampuan untuk melakukan kolaborasi, diskusi bersama mewacanakan keadaan ekonomi, politik dan hankam serta arah pembangunan.

Ke arah mana hendak berlayar negara bangsa Indonesia. Sehingga ideologi pembangunan bangsa Indonesia pada era Hariman Siregar selalu menjadi perdebatan sengit. Pertempuran ideologi pasar dan nasionalisme ekonomi menghiasi setiap diskusi yang digelar oleh aktivis kampus. Mana yang berpotensi lebih besar untuk mempercepat proses kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat. Dua ideologi itu terus menerus diuji.

Hingga akhirnya berkesimpulan bahwa pasar berkemungkinan kecil untuk berpihak pada rakyat kecil-menengah, karena pasar dikendalikan para pemodal yang dipastikan akan memberi keuntungan sebesar-besarnya pada konglomerat. Dulu istilah oligarki belum begitu familiar seperti sekarang. Kecuali pada kelompok-kelompok diskusi mahasiswa.

Pada masanya kaum pergerakan sangat hafal dengan tokoh-tokoh semacam Wijoyo Nitisastro, Muhammad Sadli (ekonom), Ali Moertopo (politik) – kajian yang dilakukan sangat sehat. Dialektikanya hidup sehingga setiap diskusi yang dilakukan secara simultan ada proses internalisasi. Membangun wacana dengan kuat sehingga pergerakan yang kemudian berujung di jalanan akan bertahan lama, dan memiliki daya tahan secara ideologis. Mungkin ini yang membedakan dengan gerakan mahasiswa kekinian yang sedang mencari bentuk, bagaimana dapat memainkan peranannya di tengah arus teknologi dan kapatalisme pasar yang makin menguat.

Kita ketahui bersama, Peristiwa Malari 1974 adalah transisi kekuasaan dari masa Soekarno ke Soeharto. Sebuah transisi ekonomi dari anti kapitalisme/kolonialisme ke era Pembangunanisme ala Soeharto. Politik dan ekonomi oleh Soeharto dikendalikan secara terpusat yang sebenarnya tidak jauh beda dengan Soekarno, yang membedakan cuma kiblat dan cara membangun bangsa. Ringkasnya politik dan ekonomi yang dilaksanakan secara terpusat dapat dipastikan akan menimbulkan masalah. Apalagi era Soeharto peran dari TNI diberi tempat istimewa untuk masuk ke beberapa sektor yang sebenarnya bukan Tupoksinya. Sehingga tidak heran kaum Malari dan aktivis 80-an menyebut era Soeharto sangat militeristik.

Setiap ada dominasi kelompok, baik yang datang dari kelompok ekonomi, pelaku bisnis, militer dan polisi, memiliki potensi untuk membuat kebijakan tidak populis, mengesampingkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sistem politik Indonesia sudah bagus, semoga saja tetap berlandas pada sila ke empat; “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dikatakan semoga, karena pergerakan untuk menggoyang trias politika dengan cara mengkooptasi lembaga tersebut secara kentara kini terlihat.

Legislatif tidak lagi efektif menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Yudikatif melupakan fungsinya sebagai penjaga gawang konstitusi dan keadilan hukum, dan eksekutif menjalankan roda pemerintahan tanpa arah kecuali ikuti arahan pemodal.

Tentu saja keadaan ini membuat miris, kemana hendak berlabuh bangsa ini. Setidaknya dengan potensi sumber daya alam dan demografi jangan sampai dianggap “remeh temeh” ketika terjadi dominasi atau eksploitasi alam dan manusia dalam jumlah besar. Cepat atau lambat hal tersebut akan membuat bangsa kita menjadi bangsa ‘koeli’ di tengah kekayaan melimpah.

Malari setidaknya memberi pelajaran pada generasi kini agar kita peduli dengan keadaan dan jangan sampai kehilangan sensitivitasnya terhadap perasaan keadilan rakyat. Dulu Malari berhadapan dengan militer, kini yang dihadapi adalah Polisi. Korupsi pada masa sebelum Malari meledak juga sangat massif bahkan melibatkan para pejabat penting dan keluarga Presiden.

Reformasi 98 menghendaki militer kembali ke barak agar tidak mencederai demokrasi, namun sayangnya peran itu kini digantikan oleh polisi. Jika kini ada gagasan reformasi Polri maka itu adalah keniscayaan. Mengembalikan Polri sebagai pengayom masyarakat. Kita amat prihatin jika ditengarai mayoritas kasus narkoba, prostisusi dan judi di belakangnya adalah oknum polisi. Namun adanya kasus Sambo cukup membuat mata rakyat terbuka bagaimana sebenarnya Polri kita. Kita akan bersyukur jika Polisi segera mereformasi diri sebagaimana militer dulu saat reformasi 98.

Kini KPK juga lambat laun diamputasi, korupsi juga makin banyak dan merata ke semua sektor. Namun juga tidak fair jika membandingkan masa Orba dengan masa kini. Standar dan indeks demokrasi, kesejahteraan rakyat, kualitas SDM tentu sangat berbeda.

Maka Malari semestinya dimaknai sebagai jalan panjang mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam semua bidang. “Malari-malari” yang lain pada setiap periode kehidupan akan lahir melalui konsolidasi demokrasi pada semua lini tanpa kecuali.

(Disarikan dari Wawancara Pril Huseno dari Forum Selamatkan Indonesia (FASI) dengan In’am El Mustofa aktivis mahasiswa 90-an, inisiator JALA (Jaringan Aktivis Lintas Angkatan) dan Direktur Eksekutif LeSPK (Lembaga Studi Pendidikan dan Kebangsaan Yogyakarta).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button