Market

Abaikan Keselamatan Pekerja, Jatam: 10 Pekerja Smelter GNI Tewas

Sejak PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) beroperasi pada 2021, Jaringan Adovasi Tambang (Jatam) mencatat 10 pekerja tewas. Pertanda, pabrik smelter nikel asal China itu, abai terhadap faktor keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Menurut Kepala Simpul dan Jaringan Jatam, Ki Bagus Hadi Kusuma, berdasarkan laporan dan informasi dari sejumlah buruh, sejak pertama operasi hingga meletus konflik antar pekerja smelter PT GNI di Morowali Utara, Sulawesi Tengah pada Sabtu (14/1/2023) yang menewaskan 3 pekerja, tercatat adanya 10 pekerja meregang nyawa.

“Korban pertama berinisial HR, meninggal karena tertimbun longsor pada 8 Juni 2020 malam. HR tertimbun bersama excavator dan baru diketahui dua hari setelah kejadian. Pada Mei dan Juni 2022 juga terjadi peristiwa bunuh diri tenaga kerja asing (TKA) asal China. Keduanya masing-masing berinisial MG dan WR,” papar Ki Bagus, Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Kecelakaan kerja lain, lanjut Ki Bagus, menimpa empat pekerja GNI berinisial YSR, AF, NS, dan MD. Di mana, YSR terseret longsor saat mengoperasikan bulldozer tanpa penerangan dan tenggelam ke laut di kedalaman 26 meter.

Sementara AF, hilang saat bekerja di tungku enam smelter 1 GNI. Dia ditemukan tak bernyawa setelah jatuh di sebelah tuas kontrol mesin hidrolik. Sementara NS dan MD adalah dua korban yang meninggal dunia pada ledakan tungku smelter 2 GNI pada 22 Desember 2022. “Pekerja NS (Nirmala Selle) adalah seleb tiktok yang viral karena sering memposting aktivitasnya sebagai operator crane di PT GNI,” imbuhnya.

Hingga 14 Januari 2023, kata dia, terjadi bentrokan antara pekerja lokal dengan TKA, menewaskan tiga pekerja. Yakni, 2 pekerja lokal dan 1 pekerja asing. dan banyak pula pekerja mengalami luka-luka.

“Berdasarkan keterangan sejumlah buruh kepada Jatam, pihak perusahaan juga memotong berbagai tunjangan yang menjadi hak pekerja, serta menciptakan dan memelihara kesenjangan upah dan fasilitas pekerja antara TKI dan TKA dengan jenis pekerjaan yang sama,” beber Ki Bagus.

Menurut Ki Agus, tenaga kerja dari Cina diberikan gaji lebih tinggi serta fasilitas tambahan lebih besar dari mayoritas pekerja lokal. Kesenjangan ini dipelihara manajemen GNI sejak lama. “Tergambar dari helm putih dan merah kebanyakan pekerja China. Sedangkan helm kuning kebanyakan pekerja lokal. Helm putih biasanya manager, helm merah supervisor. Sementara helm kuning adalah kru tambang,” kata Ki Bagus.

Selain itu, lanjut Ki Bagus, sebagian besar TKA pada posisi memerintah sementara pekerja lokal yang diperintah. Dalam proses perintah ini, acapkali terkendala bahasa. Karena, kebanyakan TKA itu tak bisa bahasa Indonesia.

Mereka memberikan instruksi kerja dalam Bahasa Mandarin yang sering tidak dipahami oleh pekerja Indonesia. Hal ini sering membuat frustasi TKA. Mereka pun sering berkata dengan nada tinggi, yang membuat pekerja Indonesia tersinggung. Suasana kerja yang tidak sehat ini. berlangsung dari tahun ke tahun. Pihak perusahaan tidak pernah mencari jalan keluar yang baik,” terangnya. .

Masih menurut Ki Bagus, GNI sering menyerobot lahan warga Desa Bungintimbe, Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Pada 2 Juli 2021, dua warga Desa Bungintimbe

menggugat PT GNI dan anak usahanya, PT Stardust Estate Investmen ke PN Poso, atas dugaan penyerobotan lahan seluas 30.000 meter-persegi. Namun ditolak dan mewajibkan pelapor membayar denda biaya perkara hampir Rp10 juta.

“Lucunya, penolakan gugatan itu hanya karena salah dalam menuliskan nama perusahaan. Seharusnya Stardust Estate Investmen, namun ditulis Stardust Estate Investment,” ungkapnya.

Pada 23 Agustus 2021, lanjutnya, GNI kembali digugat SB ke PN Posso, warga Desa Bunta, Kecamatan Petasia, Morowali Utara. Karena tanpa izin menggunakan lahan warga untuk akses jalan angkutan tambang. Kali ini, GNI keok. “PT GNI diputus bersalah dan harus membayar ganti rugi kepada warga pemilik lahan sebesar Rp55 juta,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button