Market

ADB Dukung Pemerintah Indonesia Terapkan Konsep Ekonomi Hijau

Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) sangat mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam menerapkan ekonomi ramah lingkungan atau green economy.

Dukungan itu disampaikan Said Zaidansyah, Asian Development Bank Deputy Country Director Indonesia dalam sesi diskusi di Indonesia Economic Outlook (IEO) 2023 Forum di Auditorium BKP, Kemenkeu, Senin (3/10/2022).

Said mendeskripsikan green economy sebagai sistem ekonomi yang berusaha untuk mengurangi kerusakan lingkungan, serta kelangkaan ekologis. “Green economy memiliki prinsip pembangunan yang berbasis pengeluaran karbon rendah, efisiensi dalam penggunaan sumber daya, dan inklusif. Dalam hal ini, ADB mendukung pemerintah Indonesia dalam penerapan green economy,” paparnya.

Dia bilang, ADB memiliki standar operational priority, salah satunya merupakan adanya penyorotan khusus terhadap isu-isu lingkungan melalui safety resilience dari sisi iklim, kebencanaan, ketahanan lingkungan, green recovery, mitigasi bencana, water, and food security.

Sedangkan, Medrilzam selaku director for environmental affairs Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menerangkan, green economy merupakan sebuah keniscayaan. “Pengimplementasiannya berpotensi memberikan berbagai manfaat yang multisektoral. Namun, kapasitas dalam aspek inovasi dan RnD (Research and Development) masih menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia,” ungkap Medrilzam.

Menurutnya, guna memastikan terlaksananya green economy, masa transisi yang smooth perlu menjadi perhatian, sehingga sektor yang terlibat dapat merespons transisi tersebut dengan baik.

“Pemerintah Indonesia melalui Bappenas sudah memiliki roadmap yang jelas untuk mengimplementasikan green economy dalam jangka panjang. Walaupun sempat terkendala goncangan akibat pandemi, pemerintah akan tetap konsisten melanjutkan roadmap tersebut dalam rangka mencapai net zero emission pada 2060,” imbuhnya.

Untuk mengakomodasinya, lanjut Medrilzam, roadmap tersebut disertai pula dengan key performance indicator (KPI) dari green economy. Namun demikian, pemerintah tidak dapat melakukan upayanya sendiri, bantuan masyarakat dan sektor swasta sangat krusial dalam prosesnya.

Analis dari Climate Policy Initiative (CPI), Albertus mengupas proyek hijau dari perspektif lain. Bahwa, tidak semua proyek hijau adalah revenue generated program. Meskipun memiliki potensi bisnis, kendala seperti kesiapan tenaga kerja dan teknologi serta permintaan yang masih sedikit karena harganya yang cukup tinggi, menjadi hambatan yang perlu diperhatikan.

Albertus mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia dalam menerapkan green economy, sekaligus mengkritisi perhitungan jumlah emisi yang belum jelas. Dalam hal ini, pemerintah perlu lebih transparan dan tegas dalam mengungkapkan pencapaian penurunan emisi. Diharapkan, pelaksanaan green economy segera disosialisasikan dengan baik dengan berbagai stakeholder, sehingga bisa menjadi sebuah evolusi.

Chief Economist BRI Danareksa Sekuritas, Telisa Falianty mewakili market perspective, mengatakan, pembahasan ekonomi hijau merupakan topik yang sedang hangat diperbincangkan kalangan investor pasca pandemi COVID-19. Semakin nyaring bunyinya sejak pelaksanaan Group of Twenty atau G20 pada 2022.

Telisa menyatakan, terdapat beberapa hal yang menjadi poin penting. Perlu sosialisasi serta roadmap yang lebih lengkap. Penerapannya harus berjalan mulus dan bertahap sehingga tidak mengganggu stabilitas ekonomi yang tidak diinginkan. Pihak keluarga dan swasta merupakan stakeholders yang penting dalam penerapan green economy ini.

“Meningkatkan kualitas ekosistem dan menjadikan ekosistem yang lengkap akan menarik minat investor dan pihak swasta untuk mencanangkan green economy. Kelengkapan dan kejelasan ekosistem ini harus didukung oleh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan juga pembiayaan dari sektor keuangan,” tuturnya.

Di akhir diskusi, Menteri Keuangan Sri Mulyani hadir serta menyampaikan closing remarks dalam IEO 2023 Forum. Pandemi COVID-19 mengguncang Indonesia selama 3 tahun, merupakan sebuah ancaman global yang berdampak pada sektor sosial dan keuangan. “Pandemi COVID-19 merupakan the first shocked yang dialami oleh Indonesia. Kementerian keuangan memberikan penanganan melalui kebijakan fiskal,” ungkapnya.

Tantangan berikutnya, lanjut Sri Mulyani, terkait counter cyclical, yaitu climate change, krisis energi dan pangan, serta inflasi yang tinggi. Global crisis menjadi the next shocked bagi Indonesia. “Kedua fenomena shocked tersebut, menyebabkan disrupsi terhadap sisi demand dan supply. Tentunya kita tidak bisa melakukan pemulihan yang lebih cepat. Dalam hal ini, kementerian keuangan mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan untuk memperbaiki keadaan shock,” pungkas Sri Mulyani.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button