News

Alasan SBY dan Mega Larang Ekspor Pasir Laut

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sidementasi laut. Aturan tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada 15 Mei 2023.

Pada penjelasan 9 ayat 1 huruf d, dimana berbunyi “ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Ada pesan dalam PP tersebut, dimana kembali membuka keran ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun di dua pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengharamkan hal tersebut. Tidak sembarangan mengapa kedua tokoh besar tersebut melarang.

Hal ini seperti disampaikan anggota Komisi VII DPR dari fraksi PKS, Mulyanto. “Utamanya karena keselamatan lingkungan ekosistem laut dan pulau-pulau kecil serta soal penambahan luas daratan negara tetangga dan pengurangan luas daratan kita,” ujar Mulyanto, mengenai alasan Presiden Megawati dan SBY ketika itu melarang ekspor pasir laut, kepada Inilah.com, Rabu (7/6/2023).

Kedaulatan menjadi alasan Mega dan SBY larang ekspor pasir

Pada pemerintahan Megawati, terdapat Surat Keputusan Bersama antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 89/MPP/Kep/2/2002, Nomor: SKB.07/MEN/2/2002, Nomor: 01/MENLH/2/2002, tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Surat itu ditandatangani oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi, Menteri Kelautan dan Perikanan Rohkmin Dahuri, dan Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim pada 14 Februari 2002.

Selain SKB, juga terdapat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 117/MPP/Kep/2/2023 tentang penghentian sementara ekspor pasir laut. Surat itu ditandatangani Rini M Sumarno Soewandi pada 28 Februari 2003.

SK yang dikeluarkan Rini itu, merupakan tindak lanjut dari SK Menteri Kelautan dan Perikanan selaku Ketua Tim Pengendali dan Pengawas Pengusaha Pasir Laut (TP4L), No 28/SE/K4-TP4L/II/2003 pada 21 Februari 2003, tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut dari Seluruh Wilayah RI.

Dalam pertimbangan SK tersebut yang paling krusial, yakni sengketa batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura.

Menteri Kelautan dan Perikanan ketika itu, Rokhmin Dahuri, pernah mengingatkan para pengusaha dan pemerintah Singapura bahwa dimulainya kembali ekspor pasir laut Indonesia ke negara tersebut, sangat bergantung pada kemauan politik Singapura untuk menyelesaikan perundingan batas wilayah kedua negara.

“Kemauan politik Singapura akan menentukan hal itu,” kata Rokhmin, dikutip dari laman Kementrian ESDM, 23 Desember 2003.

Selain pertimbangan itu, pada era yang sama , Prof Ermaya Suradinata, yang kala itu menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), punya pertimbangan yang berbeda. Salah satunya mewaspadai penempatan armada ke-7 Amerika Serikat di negara di ujung Semananjung Malaya itu.

Ermaya khawatir, terjadi eskalasi aktivitas militer berkaitan dengan penempatan Armada ke-7 AS di Singapura. Ermaya menyarankan pemerintah harusnya mempertanyakan kepentingan armada tersebut ditempatkan di Singapura.

Perlu diketahui, sebelum larangan ini diberlakukan, dikutip dari Reuters, rata-rata lebih dari 53 juta ton pasir Indonesia di kirim ke Singapura per tahun antara tahun 1997 hingga 2002. Akibat dari ekspor pasir laut dari Indonesia itu, Singapura berhasil memperpanjang bibir pantainya sejauh 12 kilometer.

Pelarangan itu berlanjut hingga era Presiden SBY. Soal batas negara juga menjadi kunci mengapa ekspor pasir laut juga tidak diperbolehkan di era SBY.

Freddy Numberi, yang ketika itu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan di era SBY, menyatakan sebelum adanya kesepakatan batas negara antara Singapura, maka selama itu ekspor pasir laut tetap akan dihentikan.

Pertimbangan pelarangan tersebut, kata Freddy ketika itu, yakni terkait masalah pulau-pulau kecil di sekitar wilayah perbatasan kedua negara yang saat ini belum dinamai.

Freddy mengatakan, ada enam titik di sekitar kawasan Indonesia yang berbatasan wilayah dengan Singapura dan Malaysia. “Selama itu, ekspor pasir laut dihentikan dulu. Singapura sendiri saat ini belum ada tanggapan, karena mereka terima keputusan kita (tutup keran ekspor),” kata Freddy, dikutip dari laman Kementrian ESDM, 13 Oktober 2012.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan bahwa persoalan batas negara antara Singapura dengan Indonesia sudah diselesaikan.

“Setelah ditutup itu, ada tiga perjanjian dan ada undangan-undangnya, setiap kesepakatan dituangkan dalam Undang-undang,” kata Yusri kepada Inilah.com, Kamis (8/6/2023).

Pernyataan Yusri merujuk kepada UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Timur Selat Singapura, 2014. UU tersebut disahkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Januari 2017.

Keputusan menjadikan UU, setelah mendapat lampu hijau dari DPR dalam Rapat Paripurna pada tanggal 15 Desember 2016.

Adapun perjanjian yang tertuang dalam UU itu, merupakan perjanjian ketiga yang melengkapi 2 (dua) Perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, yaitu pada tahun 1973 (disahkan dengan UU No. 7 Tahun 1973) dan tahun 2009 (disahkan dengan UU No. 4 Tahun 2010).

Ketiga Perjanjian tersebut, menyepakati garis batas Laut Wilayah RI-Singapura sepanjang sekitar 36,33 mil laut (sekitar 67,3 kilometer) di Selat Singapura.

Hal ini yang kemudian menurut Yusri, menjadi salah satu alasan mengapa keran ekspor pasir laut ke Singapura dibuka kembali.“Jadi persoalan kedaulatan yang dikhawatirkan pada saat itu (era Megawati dan SBY), tidak menjadi lagi masalah sekarang,” kata Yusri Usman.

Persoalan lingkungan

Selain soal kedaulatan, kedua pemerintahan ketika itu juga menyoroti problem lingkungan yang ditimbulkan akibat dampak dari pengerukan pasir laut.

Dalam SKB tiga menteri era Presiden Megawati, tertulis penghentian ekspor pasit laut untuk menghindari kerusakaan lingkungan hidup, ekositem dan habitat kehidupan laut.

Hal ini juga dipertegas dari SK yang dikeluarkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi. Dimana pelarangan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas berupa tenggelamnnya pulau-pulau kecil, khususnya disekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia, yakni di kepulauan riau.

Soal dampak bagi lingkungan juga menjadi alasan bagi Presiden SBY. Menurut anggota Komisi VII DPR, Sartono Hutomo, pelarangan ketika itu dilakukan akibat dari ekspor pasir laut, Indonesia harus kehilangan dua pulau, yakni Pulau Nipah dan Sebatik.

“Kedua pulau ini merupakan pulau terluar perbatasan Indonesia dengan Singapura dan Malaysia. Bahkan Pulau Nipah dikeruk habis dan hasil ekstrasi pasir laut dijual ke Singapura. Dari luas area seluas 60 hektar saat air surut, kini hanya tersisa tidak lebih dari 90 x 50 meter saat air pasang,” kata Sartono, kepada Inilah.com, Rabu (7/6/2023).

Hal senada juga disampaikan anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat yang juga menjabat Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan, salah satu alasan pelarangan yakni dampak lingkungan yang diakibatkan dari pengerukan pasir tersebut.

”Pengerukan pasir sangat merusak lingkungan laut, spesies laut terganggu dan terjadi perpindahan ikan, yang akan berdampak pada hidup nelayan,” kata Syarief Hasan ketika dihubungi Inilah.com, Kamis (8/6/2023).

Sedangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo membantah akan terjadinya kerusakan lingkungan. Berdasarkan pernyataan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono, justru dengan keluarnya PP ini, memberikan kepastian hukum pemanfaatan pasir dari sedimentasi di laut.

“Kalau ini kami diamkan, tidak diatur dengan baik, bisa jadi pulau-pulau diambil untuk reklamasi atau sedimen di laut malah diambil, akibatnya kerusakan lingkungan. Ini yang kami jaga dan hadapi, makanya terbit PP,” ujar Trenggono dalam konferensi pers di Gedung KKP, Rabu (31/6/2023).

Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mempertegas dengan berani menjamin kalau aktivitas pengerukan pasir laut untuk ekspor tidak akan merusak lingkungan.

“Enggak dong (rusak lingkungan), sekarang ada GPS segala macam. Kita pastikan itu (kerusakan lingkungan) tidak terjadi. Kalau pun diekspor manfaatnya besar untuk BUMN,” ucap Luhut usai menghadiri agenda ICCSC, di Jakarta, Senin (30/5/2023).

Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) mempunyai keyakinan berbeda dengan pemerintah. Menurut Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional Parid Ridwanuddin, dampak dari pengerukan pasir laut yang dimanfaatkan untuk reklamasi di dalam negeri, serta diekspor ke Singapura, telah menenggelamkan sedikitnya 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lainnya.

Selain itu, terdapat 115 pulau kecil terancam tenggelam di perairan Indonesia.

“Kalau yang di perbatasan ada 83 pulau-pulau terluar atau terdepan yang terancam tenggelam,“ kata Parid Ridwanuddin, dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Selain WALHI, Greenpeace Indonesia pun berpandangan hal yang sama. Kedua organisasi lingkungan itu, sepakat menolak terlibat dalam tim kajian yang akan dibentuk Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023.

“Kami secara tegas menolak terlibat dalam tim kajian KKP untuk implementasi PP 26/2023,” kata Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah dalam konferensi pers daring, Kamis (1/6/2023).

Sebaliknya, kedua organisasi itu pun meminta Presiden Joko Widodo membatalkan PP tersebut. “Sikap kami jelas, pemerintah harus membatalkan PP tersebut. Regulasi ini adalah upaya greenwashing atau akal-akalan pemerintah yang mengatasnamakan pengelolaan laut demi keberlanjutan. Padahal, di balik itu semua, PP ini justru akan menjadi ‘pelicin’ oligarki dan para pelaku bisnis untuk meraup keuntungan dari aktivitas ekspor pasir laut,” ujar Afdillah.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button