Market

Angka Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi Era Jokowi, Makin Berat

Target pemerintah menggerus angka kemiskinan menjadi 7,5 persen dan kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024, serta kesenjangan sosial dinilai berlebihan, alias lebai.

Peneliti Indef, Nailul Huda menerangkan, ketika fungsi APBN sebagai penyedia subsidi atau shock absorber tidak berfungsi, jangan harap angka kemiskinan atau kemiskinan ekstrem bisa turun.

“Kalau enggak jalan, sangat sulit untuk mewujudkan angka kemiskinan ekstrem nol persen. Atau menggerus kemiskinan jadi 7,5 persen pada 2024,” papar Nailul di Persroom DPR, Jakarta, Selasa (15/8/2023).

Asal tahu saja, perbedaan antara kemiskinan dan kemiskinan ekstrem, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), bergantung garis batasnya.

Untuk kemiskinan ekstrem garis batasnya US$1,9 PPP (Purcahsing Power Parity). Atau setara Rp11.941,12/orang/hari atau Rp358.233,6/orang/bulan (2021).

Artinya, seseorang masuk kategori miskin ekstrem apabila pengeluaran per kapita per harinya kurang dari Rp11.633. Atau di bawah Rp358.233 per kapita per bulan.

Sedangkan garis batas kemiskinan yang ditetapkan BPS per Maret 2023 sebesar Rp550.485 per kapita per bulan. Atau Rp18.340 per hari. Angkanya lebih besar ketimbang garis batas kemiskinan ekstrem.

Ketika pandemi COVID-19 masuk Indonesia pada 2020, kata Nailul, angka kemiskinan melonjak menjadi dua digit. Tepatnya 10,19 persen. Setahun kemudian turun tipis menjadi 10,14 persen. “Maret 2023, turun tipis menjadi 9,36 persen. Saya kok gak yakin bisa 7,5 persen pada 2024. Apalagi kemiskinan ekstrem bisa nol persen,” kata dia.

Selain itu, Nailul mengingatkan masih tingginya ketimpangan ekonomi yang ditunjukkan angka rasio gini sebesar 0,38. Ada tren kenaikan menyangkut angka ini.

“Gini rasio Maret 2023 masih 0,388 persen, melonjak dibandingkan September 2022 maupun Maret 2022. Artinya, ketimpangan pengeluaran ini semakin naik dan target gini rasio turun ke 0.37, cukup berat,” tuturnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button