Hangout

Awas! Menagih Utang dengan Cara Kasar Bisa Dipidana

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh debt collector dinilai sangat meresahkan masyarakat. Pasalnya, debt collector ini sering melakukan aksi premanisme yang tidak manusiawi, mulai dari perkataan kasar hingga mengambil paksa jaminan peminjam.

Salah satu korban debt collector yang mengalami aksi pengambilan paksa adalah seorang selebgram bernama Clara Shinta.

Mungkin anda suka

Berdasarkan pengakuannya, puluhan debt collector mendatangi dirinya di parkiran apartemen di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Debt collector ini langsung merampas kunci mobil dengan alasan tunggakan pembayaran cicilan.

Clara bukan satu-satunya korban perampasan mobil yang dilakukan oleh debt collector. Dari peristiwa tersebut, Clara melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Polda Metro Jaya dengan Pasal 365, 368, dan 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Melihat dari kasus perampasan barang jaminan di atas, ada banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh pihak debt collector. Padahal, OJK sudah membuat Peraturan OJK No.35/POJK.05/2018 yang mengatur cara penagihan hutang di Bab XI tentang Penagihan.

Salah satu prosedurnya adalah Perusahaan Pembiayaan wajib memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu perjanjian dan Perusahaan Pembiayaan boleh kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan.

Di dalam peraturan tersebut juga menjelaskan bahwa pihak ketiga harus memiliki sumber daya manusia yang sudah memiliki sertifikasi di bidang penagihan dari Lembaga Sertifikasi Profesi di bidang penagihan.

Meski perusahaan pembiayaan menggunakan pihak ketiga, mereka tidak boleh melepas tanggung jawab atas dampak dan masalah yang ditimbulkan dari kerja sama dengan pihak ketiga tersebut.

Hukum Perlindungan konsumen

Pada dasarnya, pihak yang meminjam wajib membayar utang sesuai dengan kesepakatan di awal dengan Perusahaan Pembiayaan. Apabila pihak peminjam memiliki masalah selama periode pinjaman, berdasarkan peraturan OJK, kreditur harus mengirim surat peringatan terlebih dahulu.

Apabila peminjam tidak merespons surat peringatan tersebut, maka kreditur boleh kerja sama dengan pihak ketiga untuk memberikan peringatan kepada peminjam.

Sayangnya, pihak ketiga ini sering melakukan tindakan kekerasan saat menagih utang para debitur, seperti kekerasan verbal, fisik, sampai mengambil jaminan dengan paksa.

Di satu sisi, peminjam memang salah jika tidak memenuhi kewajibannya selama periode pembayaran. Di lain sisi, debt collector menggunakan kekerasan supaya mereka bisa mencapai target untuk mendapat bonus tambahan dari Perusahaan Pembiayaan.

Melihat banyaknya kasus tindakan premanisme yang dilakukan oleh kreditor melalui pihak ketiga, akhirnya Mahkamah Konstitusi membuat Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019.

Berdasarkan kacamata penasihat hukum perlindungan konsumen dari Universitas Islam Djakarta (UID), abusten, putusan Mahkamah Konstitusi ini mencakup dua perlindungan konsumen, eigenrichting (main hakim sendiri) dan prinsip equality before the law.

1. Hukum Main Hakim Sendiri

Prinsip hukum yang pertama adalah main hakim sendiri atau eigenrichting. Biasanya, metode penagihan utang yang sering dilakukan oleh para debt collector adalah kekerasan. Baik secara verbal dan non-verbal.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa setiap masyarakat, baik itu peminjam maupun kreditur tidak boleh main hakim sendiri.

Apabila salah satu pihak melanggar aturan ini, korban dapat melaporkan tindakan kekerasan kepada lembaga hukum terkait.

2. Hukum Equality Before the Law

Prinsip yang kedua adalah equality before the law atau yang berarti setiap individu itu sama di mata hukum. Orang yang berutang memang wajib melunasi utangnya, tapi kekerasan juga bukan cara yang benar untuk menagih hutang kepada peminjam.

Apabila peminjam benar-benar tidak mampu membayar cicilan atau utangnya, Perusahaan Pembiayaan harus bermediasi secara langsung dengan peminjam dan mencari solusi terbaik. Bisa berupa keringanan cicilan atau berupa jaminan dari pengguna. Intinya, tidak boleh melakukan kekerasan.

Pasal-Pasal Menagih Hutang secara Kasar

Berdasarkan dua prinsip perlindungan konsumen dari Mahkamah Konstitusi, pelaku yang melakukan pencemaran nama baik dan kekerasan saat menagih utang bisa mendapat hukuman pidana berupa:

1. Pasal 27 ayat 4 dan Pasal 45 ayat 4

Berdasarkan dasar hukum Pasal 27 ayat 4, setiap pihak yang sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi pemerasan dan pengancaman, dapat dipidana penjara paling lama enam tahun dan dengan Rp1 miliar rupiah, berdasarkan Pasal 45 ayat 4.

2. Dasar Hukum 32 ayat 2 jo pasal 48 ayat 2 UU ITE

Sedangkan untuk kreditur atau pihak ketiga yang secara sengaja menyebarkan data pribadi peminjam dapat dikenakan hukuman penjara selama 9 tahun dan denda Rp3 miliar berdasarkan dasar hukum 32 ayat 2 jo pasal 48 ayat 2 UU ITE.

3. Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP

Apabila selama penagihan peminjam mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, peminjam dapat menuntut pihak debt collector dengan Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP, yang berbunyi:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain”.

4. Pasal 368 ayat (1) KUHP

Berdasarkan isi Pasal 368 ayat (1) KUHP,  berbunyi:

(1) barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

5. Pasal 369 ayat (1) KUHP

Berdasarkan isi Pasal 369 ayat (1) KUHP,  berbunyi:

(1) barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seorang supaya memberikanbarang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

6. Pasal 365 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP

Isi Pasal 365 ayat (1) dan Ayat (2) KUHP,  berbunyi:

(1) Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan (terpergok) supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap, ada ditangannya.(K.U.H.P. 89, 335)

(2) Hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan :

1e. jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada di rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan. (K.U.H.P. 98, 363).

2e. Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih (K.U.H.P. 364-4).

3e. jika si tersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat, atau dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu (K.U.H.P. 99,100, 364 s).

4e. jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat (K.U.H.P. 90).

(3) Hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karena perbuatan itu ada orang mati. (K.U.H.P. 35, 89, 366).

(4) Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara se-lama2nya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No. 1 dan 3. (K.U.H.P. 339, 366, 486)

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button