Kanal

Berlari dengan Hati Seorang Ibu

Berlari dengan hati seorang ibu di antara bukit Shafa dan Marwa merupakan salah satu aspek penting dari sa’i. Tanpa perasaan semacam itu, sa’i tidak akan memiliki makna yang sebenarnya. Hanya hati seorang ibu yang dapat memahami makna berlari di antara dua bukit tandus, di bawah terik matahari, dengan perasaan sedih, khawatir, cemas, butuh, dan hina di hadapan Allah SWT.

Dalam kisah tersebut, ketika Ismail yang masih bayi menangis karena kehausan, Hajar, sang ibu muda yang bingung, berusaha mencari pertolongan dan berlari-lari kecil di antara dua bukit Shafa dan Marwa. Dalam kondisi putus asa, ia berdoa sambil terus berlari, air mata mengalir dari pipinya. Tanpa memedulikan kelelahan dan ketidaknyamanan yang dirasakannya, yang ada di hati dan pikirannya hanyalah Ismail. Ia berusaha mencari jalan keluar bagi derita yang dialami puteranya, dengan segenap kemampuannya.

Inilah inti dari sa’i. Menghadirkan perasaan seorang ibu, yang siap berkorban apa pun demi anaknya. Dalam kondisi apa pun, seberat apapun ujian yang dihadapi, jika kita mampu berkorban untuk orang yang kita cintai, dengan hati yang hanya terpaut kepada Allah, maka Allah akan membukakan jalan dan memberikan akhir yang indah dari perjuangan tersebut.

Di ujung perjuangan Hajar, Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk membimbing langkah Nabi Ismail yang masih bayi menjejak tanah di bawah kakinya. Dan dari situlah, air suci Zamzam memancar. Hajar berlari ke arah Ismail dengan perasaan bahagia, mengumpulkan air suci itu dengan tangannya sambil berkata, “Zam… zam… zam… zam!” Inilah sumur Zamzam yang hingga hari ini airnya tidak pernah habis, bahkan hingga hari kiamat. Ini merupakan salah satu mukjizat Nabi Ismail yang masih bisa kita saksikan dan nikmati hingga saat ini.

Hikmah terbesar dari peristiwa ini adalah bahwa saat berjuang mendapatkan sesuatu yang seolah-olah tidak mungkin, kita perlu menghadirkan perasaan butuh dan hina di hadapan Allah SWT. Dengan begitu, Allah akan mengirimkan pertolongan-Nya. Jika ditanya siapa yang sering mengalami perasaan semacam ini, jawabannya adalah para ibu. Mereka tidak peduli seberapa hina dan menderita diri mereka sendiri, mereka rela melakukan segalanya untuk kebahagiaan anak-anaknya.

Saat melaksanakan sa’i, saya mencoba menghadirkan perasaan tersebut. Saya membayangkan ibu saya sendiri, perjuangan yang telah beliau lakukan untuk membesarkan dan mendidik saya hingga menjadi orang yang saya ini. Di putaran ketiga, saya menangis membayangkan perjuangan tersebut. Ternyata perasaan semacam ini bukan hanya milik Siti Hajar saja, tetapi milik setiap ibu di dunia. Milik semua orangtua untuk anak-anak mereka.

Saat melihat orang-orang berjalan dan berlari-lari kecil dalam sa’i, saya melihat orang-orang yang berusia muda dan tua, yang masih sehat dan yang sudah renta. Mungkin mereka merasa lelah karena harus berjalan dan berlari jauh. Namun, jika mereka mampu menghadirkan perasaan seorang ibu yang berjuang untuk anak-anaknya, maka rasa lelah tersebut akan hilang.

Saya merasa bahwa sa’i kali ini sama sekali tidak melelahkan, karena saya menghadirkan perasaan tersebut. Saya mengelola hati dan emosi saya dengan zikir. Sambil berkata kepada diri sendiri, “Sekarang bukit Shafa dan Marwa berlantai marmer, beratap, dan ber-AC. Bayangkan dulu ketika Siti Hajar berlari di dua bukit ini, dengan tanah sebagai alas, di tengah terik matahari, tanpa atap yang menaungi kepala.” Hasilnya, saya berhasil menyelesaikan tujuh putaran dengan ringan dan mudah. Meski hati rapuh dan mata basah oleh air mata.

Saya teringat perjalanan umrah sebelumnya, terutama pada tahun 2016 sekitar tujuh tahun yang lalu. Waktu itu saya lebih muda dan seharusnya fisik saya lebih kuat daripada sekarang, tetapi mengapa waktu itu saya merasa sangat lelah saat melaksanakan sa’i? Saya merasa lelah, kakiku lemas, dan kepala berat. Mungkin saat itu saya masih hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi gagal menghadirkan perasaan yang diperlukan saat melaksanakan sa’i. Saya gagal memahami makna sebenarnya dari sa’i, saya mengira itu hanya ujian fisik semata.

Haji memang merupakan ibadah fisik, tetapi kita tidak boleh hanya mengandalkan kekuatan fisik semata. Batin juga perlu digerakkan, hati perlu diasah, dan nalar perlu ditundukkan hingga titik pasrah. Hanya dengan begitu, semua rangkaian ibadah haji dapat kita laksanakan dengan ringan. Kekuatan sejati sebenarnya ada dalam apa yang menggerakkan dari dalam.

Saat saya melaksanakan sa’i kemarin, saya melihat seorang ibu berjalan dengan puteranya. Ibu itu sudah tua, tubuhnya kurus, dan berjalan agak menunduk. Puteranya masih muda dan kekar. Ketika mendekati tanjakan bukit Marwa, ibu itu menoleh ke belakang dengan santai, puteranya tertinggal beberapa langkah. Ibu itu tersenyum dan memberi isyarat “Ayo terus jalan”. Anaknya meminta waktu sebentar, menaruh kedua tangannya di pinggang, menarik nafas panjang, lalu melanjutkan perjalanan.

Saya tersenyum melihat adegan tersebut. Saya teringat ketika dulu berumrah bersama ibu saya. Saya yang lebih muda ternyata tidak menjamin bahwa saya lebih kuat dan siap menghadapi semua rangkaian thawaf dan sa’i. Ternyata para ibu lebih memahami, yang terpenting adalah hati, bukan kaki.

Dalam sa’i, saya mengucapkan zikir yang menggerakkan hati, seperti “Rabbighfir, warham, wa’fu, wa takarram, wa tajaawaz, ammaa ta’lam, innaka ta’lam, maa laa na’lam, innaka antallahu, al-a’azzul-akram” (Ya Allah, ampunilah, kasihanilah, maafkanlah, muliakanlah, terimalah segala yang Engkau ketahui, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang tidak kami ketahui, Engkaulah Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Pemurah).

Mekkah, 14 Dzulhijjah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button