Market

BMKG: Krisis Air Menggerus Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang

Mungkin tak banyak yang tahu, bencana alam termasuk krisis air karena kemarau El Ninodi negara berkembangan, cukup mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengatakan, data World Meteorogical Organization (WMO) menyebutkan, 60 persen bencana di negara maju akibat perubahan iklim, cuaca ekstrem dan krisis air, menggerus Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,1 persen.

Mungkin anda suka

Sedangkan untuk negara berkembang, kerugiannya lebih besar lagi. Misalnya, 7 persen bencana di negara berkembang menggerus PDB sebesar 5 persen hingga 30 persen. 

“Terlebih bila dibandingkan dengan negara kepulauan kecil, di mana 20 persen bencana menyebabkan kerugian hingga 50 persen dari PDB, bahkan bisa melebihi hingga 100 persen,” kata Dwikorita dalam diskusi daring membahas Krisis Air Dampak Perubahan Iklim yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) di Jakarta, Senin (16/10/2023).

Masih dari data WMO, kata Dwikorita, kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air, terus berkembang pesat. Selama periode 2010-2019, kerugiannya mencapai US$1.476,2 miliar. Atau setara Rp22.143 triliun (kurs Rp15.000/US$).  

Angka ini, kata Dwikorita. bertumbuh signifikan dibandingkan 2000-2009 yang tercatat 997,9 miliar dolar AS. Sedangkan 1990-1999, kerugiannya 906,4 miliar dolar AS (Rp13.596 triliun), dan dekade 1980-1989 hanya sebesar US$305,5 miliar (Rp4,582,5 triliun).

“Ini menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara kecil, berkembang, dan negara kepulauan dalam menghadapi krisis air dan kebencanaan. Padahal mereka yang paling terdampak,” kata Dwikorita.

Kombinasi teknologi dan nilai-nilai budaya setempat menjadi kunci bagi Indonesia untuk berperan dalam memberikan solusi kepada dunia. Khususnya dalam mengatasi krisis air, dampak perubahan iklim.

Dwikorita mengatakan, kombinasi dari penggunaan teknologi serta kearifan lokal telah disepakati bersama menjadi formula yang paling pas untuk mengatasi krisis air imbas dari perubahan iklim. “Banyak negara di dunia mengalami kesenjangan kapasitas dan ketangguhan dalam menghadapi dampak perubahan iklim, terutama dalam hal yang berkaitan dengan teknologi.

Menurutnya, ada gap yang besar antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang, negara miskin, dan negara kepulauan dalam mengatasi persoalan permasalahan air ini.

“Negara maju, tinggi dalam teknologi. Namun negara berkembang, miskin, dan kepulauan tidak seperti itu. Di Indonesia, teknologi kita cukup baik dan kita juga kuat di local wisdom (kearifan lokal). Kombinasi teknologi dan local wisdom, Indonesia bisa membantu di situ untuk menutup atau menjadi jembatan,” tutur Dwikorita.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button