Market

BP Batam Tak Punya HPL, Ombudsman Sebut Proyek Rempang Eco City Ilegal

Beberapa waktu lalu, Ombudsman RI menemukan fakta bahwa Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) tidak mempunyai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di Pulau Rempang. Artinya, proyek Rempang Eco City statusnya ilegal.

“Temuan ini sangat penting, karena menunjukkan BP Batam tidak mempunyai hak apapun untuk melakukan kegiatan di Pulau Rempang,” kata Managing Director, Political Economy dan Plicy Studies (PEPS), Jakarta, Sabtu (30/9/2023).  

Temuan Ombudsman ini, kata Anthony, menunjukkan bahwa semua tindakan BP Batam di Pulau Rempang, merupakan ilegal dan melanggar hukum. Khususnya mematok tanah masyarakat dan menggusur, atau relokasi (secara paksa), jelas merupakan tindakan ilegal, melanggar hukum dan melanggar hak asasi manusia (HAM) berat.

“Karena, BP Batam tidak mempunyai hak dan dasar hukum apapun untuk melakukan tindakan, yang kemudian memicu bentrokan antara masyarakat yang mempertahankan hak tempat tinggalnya dengan aparat hukum yang dikerahkan oleh BP Batam (dan pemerintah daerah) tanpa ada dasar hukum yang valid,” tuturnya.

Terkait bentrokan antara warga dengan aparat, kata dia, beberapa orang ditangkap aparat hukum dengan tuduhan provokasi.

“Mereka harus segera dibebaskan. Karena tuduhan provokasi tersebut tidak mempunyai dasar sama sekali. Tuduhan seperti itu hanya dapat terjadi di pemerintahan otoriter atau kolonial. Karena, masyarakat sebenarnya sedang mempertahankan haknya yang sah secara hukum dari tindakan ilegal BP Batam,” tutur Anthony.

Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro menyebut lima temuan sementara terkait konflik relokasi warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, terkait proyek Rempang Eco City.

Pertama, Ombudsman menemukan bahwa sertifikat hak pengelolaan (HPL) atas nama BP Batam belum diterbitkan. Hal ini dikarenakan lahan yang dimohon belum jelas sebab masih dikuasai oleh masyarakat.

“Badan pertanahan akan mengeluarkan sertifikat kalau area itu sudah tidak ada penghuni lagi. Itulah kenapa, mereka sepertinya kemudian tergesa-gesa untuk mendesak warga di kampung-kampung tua itu keluar dari area itu,” ucap Anggota Ombudsman RI Johanes Widijantoro dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (27/9).

Pasalnya, Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan APL telah terbit dari Menteri ATR/KBPN tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada 30 September 2023.

“Meskipun dapat diperpanjang dengan persetujuan menteri. Kalau dalam jangka waktu ini enggak terbit, ya memang kemudian gugur kalau dia enggak mengajukan perpanjangan. Artinya sertifikat HPL tidak akan pernah terbit,” jelas Johanes.

Kedua, program Rempang Eco City memang termasuk proyek strategis nasional (PSN). Dasar hukum ini baru saja keluar tahun ini dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023.

Ketiga, terdapat warga yang tetap menolak relokasi yang dilakukan oleh BP Batam. Johanes menjelaskan bahwa warga di tiga kampung tua di Rempang merasa tempat tinggalnya sudah turun temurun dan tak ada jaminan akan mendapatkan sumber mata pencaharian yang sama.

Keempat, belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran, pemberian kompensasi dan program yang dijanjikan secara keseluruhan dari BP Batam. Dalam hal ini, terkait dengan pemberian kompensasi berupa rumah pengganti, uang tunggu dan hunian sementara bagi warga terdampak.

Kelima, seluruh perkampungan tua di Batam belum ditetapkan batasnya oleh Pemkot Pemerintah Kota Batam. Johanes mengatakan hal ini secara langsung dinyatakan oleh Lembaga Adat Melayu yang mewakili komunitas kampung tua.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button