Kanal

Catatan Kecil Tentang Sayyid Abdullah Al Haddad, Wali Sufi yang Sangat Dihormati di Indonesia [1]**


Habib Abdullah al-Haddad tumbuh sebagai pelajar yang dikagumi oleh setiap orang yang mengenalnya.  Allah SWT telah menggantikan penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah di samping kemampuan menghapalnya yang kuat. Dalam usianya yang sangat dini, ia berhasil menghapal seluruh Alquran al-Karim. Setiap hari, selepas mengikuti pelajaran, ia menunaikan salat sunnah di masjid, tidak kurang dari seratus bahkan du ratus rakaat setiap hari.

Oleh    : Muhammad Al-Baqir**

Al-Imam al-Allamah as-Sayyid ‘Abdullah ibn Alwi al-Haddad al- Alawi al-Husayni, atau yang terkenal dan lebih akrab disebut Habib Abdullah al-Haddad, dilahirkan di Subair, di pinggiran kota barim, sebuah kota terkenal di Hadramaut, Yaman Selatan. Ia dilahirkan pada malam Kamis, 5 Safar 1044 H, dan dibesarkan di kota Tarîm yang dikenal pada masa itu sebagai pusat kaum ‘Alawiyyin, sebutan bagi keturunan Sayyidina Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thalib ra. Leluhur mereka yang pertama, yang hijrah ke Hadramaut, ialah Imam Ahmad al-Muhajir ibn ‘Isâ ibn Muhammad ibn Ali al-‘Uraydhi ibn Ja’far ash-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ‘Alî Zayn al-‘Abidîn ibn Husayn ibn ‘Ali ibn Abi Thâlibr.a.

Pada tahun 317 H, Ahmad al-Muhajir meninggalkan kota Bashrah di Irak, kemudian menetap di Hadramaut bersama tujuh puluh orang keluarga dan pengikutnya. Sejak itu, berkembanglah keturunannya sehingga menjadi kabilah terbesar di sana; banyak di antaranya menjadi tokoh-tokoh ulama dan dai terkemuka. Menurut taksiran Shalih ibn Hâmid al-‘Alawî al-Hadhrâmî, jumlah mereka pada 1366 H (yakni sekitar tahun 1947–red) tidak kurang dari 70.000 jiwa yang terdiri atas kurang lebih dua ratus marga. Salah satu di antara marga-marga itu adalah marga Al-Haddad, marga Habib ‘Abdullah.

Ia dibesarkan di bawah pengawasan ketat ayahandanya, Sayyid Alwi ibn Muham-mad al-Haddâd, terutama setelah pada usia empat tahun, kedua matanya menjadi buta akibat penyakit cacar. Agaknya, musibah ini justru menjadi salah satu penyebab keberhasilannya di kemudian hari dalam menuntut ilmu yang luas. Berkat perhatian khusus dan kasih sayang yang dicurahkan ayahandanya kepadanya, mele-bihi kasih-sayang yang diberikan kepada saudara-saudaranya yang lain, ditambah dengan bakat, kecerdasan dan kecemerlangan otaknya yang melampaui rata-rata anak-anak yang sebaya dengannya. 

Habib Abdullah al-Haddad tumbuh sebagai pelajar yang dikagumi oleh setiap orang yang mengenalnya.  Allah SWT telah menggantikan penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah di samping kemampuan menghapalnya yang kuat. Dalam usianya yang sangat dini, ia berhasil menghapal seluruh Alquran al-Karim, juga mempelajari dan menguasai buku-buku karangan Al-Ghazali yang memang sangat digemari kalangan masyarakat sana. Pengaruh buku-buku inilah yang membawanya ke lingkungan hidup yang didominasi warna kesufian yang kuat. Kecenderungan ini, pada mulanya, tidak berkenan dihati ayahnya, yang kemudian mengarahkannya agar mempelajari ilmu-ilmu syariat sebelum–apa yang oleh kalangan sufi disebut–ilmu-ilmu hakikat.

Lalu mulailah ia mempelajari ilmu-ilmu tafsir, hadits, fikih, tarikh, dan sebagainya di bawah bimbingan sejumlah guru besar di zamannya. Mereka itu, antara lain, Al-‘Allamah as-Sayyid ‘Aqil ibn Abdirrahmân as-Saqqâf, al-‘Allamah Sahl ibn Ahmad Bahasan, al-Allamah Abdurrahman ibn Syaikh ‘Aydid, Al-Allamah ‘Umar bin ‘Abdirrahman al-Aththas, dan lain-lain. Menurut keterangan Habib Abdullah al-Haddad sendiri, dalam kitab kumpulan ucapan-ucapannya yang berjudul “Tatsbit al-Fu’âd”, ia pernah berguru kepada tidak kurang dari seratus orang ulama.

Pada masa mudanya, seperti diceritakan orang-orang yang mengenalnya, ia lebih cenderung menjauhkan diri dari cara hidup para remaja seusianya. Pada waktu-waktu tertentu, ia sering menyendiri di tempat-tempat sunyi, lembah-lembah, dan bukit- bukit di kota Tarim, untuk bertafakur dan beribadah. Namun, kebiasaannya ini tidak mengurangi ketekunannya dalam menuntut ilmu dari masjid satu ke lainnya, dari satu kota ke lannya. Ia mendengar dan menimba ilmu dari masjid yang satu ke sejumlah guru, yang masing-masing memiliki kekhususan di bidangnya. Di sela-sela itu, tak kurang pula ketekunannya dalam beribadah. Setiap hari, selepas mengikuti pelajaran, ia menunaikan salat sunnah di masjid, tidak kurang dari sera-tus bahkan dua ratus rakaat setiap hari.

Bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antara Tarim, dan Siwun masa itu, menyaksikan seorang pemuda buta berjalan sendirian di malam-malam yang sepi untuk berziarah ke makam Imam Ahmad al-Muhajir di Desa Husaisah, adalah pemandangan yang biasa. Selesai berziarah, ia menimba air untuk mengisi kolam-kolam di masjid yang berada dekat dengan makam itu. Setelah itu, ia pulang ke Tarîm dengan hati yang puas dan jiwa yang telah dipenuhi dengan bekal ruhani. 

Selain ke makam tersebut, ia juga sering berziarah ke makam Imam Muhammad ibn ‘Ali Faqih al Muqaddam serta tokoh-tokoh besar lainnya; termasuk pula berziarah ke makam Nabi Hûd a.s. yang merupakan tradisi di Hadramaut di setiap bulan Sya’ban. Dengan ziarah-ziarah seperti itu jiwanya merasakan ketenteraman dan memperoleh bekal ruhani yang diperlukan dalam menempa diri dan melawan hawa nafsu.

Dalam pada itu, ia tidak pernah beristirahat dalam bersuluk demi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab, begitulah seharusnya yang dilakukan oleh orang yang bersuluk. Seperti yang dituliskannya dalam salah satu suratnya, “Suluk ialah berjalannya hati menuju pelurusan akhlak keimanan, serta pen-tahqiq-an pering-kat-peringkat keyakinan dan segala yang berkaitan dengannya. Perjalanan hati haruslah dengan mendaki dari suatu maqam yang telah dicapai ke arah maqâm lainnya yang lebih tinggi secara terus-menerus, tanpa henti dari sejak awal sampai akhir. Itulah perjalanan batin di atas perjalanan batin pula.”

Akhirnya, perjuangan yang tak kenal lelah–yang dilakukannya selama puluhan tahun dalam menuntut ilmu dan menyucikan jiwa dari segala perilaku tercela, seraya mengisinya dengan akhlak Nabi–telah mengantarkannya ke puncak kesempurnaan insani. Oleh karena itu, ia berhak memperoleh sebutan sebagai Mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat dan Al-Quthb al-Ghawts dalam ilmu hakikat.  Jadilah ia panutan orang yang bertakwa; teladan bagi yang berjalan lurus dan berhati lurus, sumber ilmu bagi yang ingin meraihnya, serta rahmat bagi siapa saja yang mendambakannya. 

Murid-muridnya berdatangan dari segala pelosok. Banyak yang dari luar daerah Hadramaut yang mendengar ketokohannya.  Ketika pada tahun 1080 H ia berangkat menuju Al-Haramayn untuk menunaikan ibadah hajı, banyak tokoh-tokoh ulama dan para wali di sana yang meminta ijazah darinya sebagai pengakuan atas keduduk-annya yang tinggi, walaupun ia pada mulanya bermaksud memintanya dari mereka.

Mazhab Habib ‘Abdullah Al-Haddad

Seperti juga kalangan Alawiyyîn di Hadramaut pada umumnya, akidah yang menjadi pegangan Habib Abdullah al-Haddad adalah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni mereka yang benar-benar berpegang teguh pada teladan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Meskipun demikian, sering pula ia menyatakan dirinya hanya bermaz-habkan Alquran dan Sunnah, sebagaimana disebutkan dalam salah satu percakap-annya yang dimuat dalam kitab Tatsbit al-Fuad. Namun disebutkan pula di situ bahwa, ketika ia ditanya, “Apakah mazhab Asy’arî adalah satu-satunya mazhab yang benar?” Ia menjawab, “Tidak, tetapi semua yang ada dalam mazhab Asy’ariyah adalah haq, sedangkan dalam mazhab-mazhab selain itu, ada yang haq dan ada pula yang batil.”

Demikian pula, ia menyatakan bahwa dirinya bermazhab Imam Syafi’î dalam persoalan-persoalan furu. Yang demikian itulah, menurut pandangannya, yang merupakan mazhab yang paling dekat dengan Alquran dan Sunnah; di samping merupakan mazhab yang dianut para leluhurnya dan kebanyakan orang Hadramaut. Hal ini juga demi menghindari pertentangan yang berlarut-larut seandainya ia menyatakan dirinya tidak terikat dengan mazhab mana pun. Oleh sebab itu, dalam bukunya, “Risalah al-Muawanah” hal 13, ia menulis, antara lain sebagai berikut : 

“Kebenaran ada beserta kelompok orang-orang Asy’ariyah, yakni mereka yang dinisbatkan kepada Syaikh Abû al-Hasan al Asyári rahimmahullah. Beliaulah yang telah menyusun secara stematis kaidah-kaidah tentang akidah ahl al-haq dan mencatat dahil-dalnya, yakni akidah yang telah disepakati oleh para sahabat dan til în serta akidah ahl al-haq di setiap tempat dan zaman, juga akidah sebagian besar ahli tasawuf, seperti diungkapkan oleh Abū al-Qasim al-Qusyayrî pada awal risalah yang disusunnya. Itulah pula akidah kami serta kelompok kami dari kalangan Ahlul Bait yang dikenal sebagai Husayniyah–yakni keturunan Husayn ibn Alî, cucu Rasulullah saw–atau yang juga dikenal dengan sebutan Alawiyyin.”

Mengenai pandangan Habib Abdullah al-Haddad terhadap para sahabat Nabi saw. telah ditegaskan dalam bukunya, “Aqidah al-Islam”, sebagai berikut:

“Hendaknya Anda beritikad tentang keutamaan para sahabat Nabi saw, serta urut-urutan mereka. Mereka adalah orang-orang yang bersifat adil, baik, dan jujur. Tidak dibenarkan mencari-maki atau melecehkan mereka. Khulafa’ al-Haq (Para khalifah yang benar) Rasulullah saw. ialah Abu Bakar ash Siddiq, ‘Umar al-Farûq’, ‘Utsmân ibn ‘Affan, dan ‘Ali al-Murtadha.” [Bersambung]

*Judul dari redaksi. Bahan diambil dari catatan “Kuliah-kuliah Tasawuf” 1993-1997, yang kemudian diterbitkan Pustaka Hidayah, Juni 2000  

**Penulis dan pemikir Islam, ayah dari cendikiawan Muslim Haidar Bagir. Dalam sebuah wawancara, Haidar mengatakan sang ayah adalah seorang Sunni, tetapi memiliki wawasan yang luas dan terbuka. Al Baqir menulis fikih berdasarkan empat mazhab Sunni: Imam Hambali, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Malik. Tetapi memberi tempat juga pada fikih Ja’fari, yang berasal dari Imam Ja’far Ash Saddiq, guru dari Imam Malik dan Abu Hanifah.

 

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button