News

Dunia Abaikan Myanmar, Beda Nasib dengan Ukraina

Dua tahun setelah kudeta pada 1 Februari 2021, apa yang terjadi di Myanmar nyaris tak terdengar. Perlawanan yang besar dan berkembang di negara itu tidak banyak mendapat perhatian dari luar negeri.

Junta militer telah mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan sipil melalui kudeta dan menangkap puluhan pejabat termasuk pemimpin de facto Aung San Suu Kyi hingga Presiden Htin Kyaw. Sejak itu, junta militer menahan ribuan pedemo, aktivis, hingga pejabat terkait pemerintah sipil. Ribuan orang juga dilaporkan tewas di tangan junta militer dalam demonstrasi dan bentrokan menentang kudeta.

Hampir tiap hari militer dan kelompok pemberontak bertempur. Kelompok ini tumbuh hampir di seluruh negeri dan bergabung dengan milisi etnis. Warga sipil juga saling bahu-membahu melawan junta, termasuk menyelamatkan korban yang berjatuhan saat pertempuran berlangsung.

Berdasarkan video operasi harian tim medis darurat, mereka tampak membawa korban menggunakan kapal kayu. Perawatan medis pun kadang diberikan selama perjalanan.

“Ini sudah dua tahun junta militer dan militer berperang dengan rakyatnya sendiri,” kata Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, Tom Andrews, seperti dikutip CNN, Selasa (31/1/2023). “Kami telah melihat 1,1 juta warga mengungsi, lebih dari 28.000 rumah hancur, dan ribuan orang tewas.”

Menurut laporan kelompok pemantau hak asasi manusia, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, (Assistance Association for Political Prisoners/AAPP) sejak kudeta, setidaknya 2.900 orang tewas di tangan junta dan 17.500 orang ditangkap. Selain itu, sekitar 40 persen populasi hidup di bawah garis kemiskinan pada 2022. Di tengah kesulitan ini, hanya sedikit bantuan dari komunitas internasional.

Ekonomi Myanmar lumpuh. Mereka juga kekurangan pasokan makanan, bahan bakar, dan persediaan lain. Tak hanya itu, junta disebut tengah berjuang untuk mendapat bantuan internasional supaya bisa membalikkan keadaan. Menurut laporan, junta militer mengalami kesulitan keuangan, sebagian karena sanksi.

Perbedaan perlakuan Barat

Menarik mengungkapkan pendapat dua pengamat internasional yakni Nicholas Farrelly, Profesor dan Kepala Ilmu Sosial, University of Tasmania serta Adam Simpson, Dosen Senior, Studi Internasional, University of South Australia.

Menurut mereka oposisi demokratis, yang digawangi oleh Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang terdiri dari banyak kelompok, tentara, milisi, dan individu yang berbeda, juga telah berjuang untuk meningkatkan kesadaran, bahkan mencapai tujuan reformasi di medan perang yang substansial.

“Mungkin yang paling menonjol, permintaan oposisi untuk mendapat senjata dari Barat guna melawan penumpasan yang semakin brutal oleh junta militer. Namun permintaan itu tak pernah digubris,” ungkap kedua peneliti itu yang dimuat pertama kali di The Conversation, kemarin.

Ini berbeda secara mencolok saat Barat menanggapi dengan serius terhadap keinginan Ukraina untuk melawan Rusia. Meskipun kedua konflik tersebut tidak sepenuhnya serupa, namun sangat mengejutkan betapa Ukraina telah mengguncangkan komunitas internasional, sementara Myanmar hampir sepenuhnya diabaikan.

Mereka menilai, bisa jadi hal ini terkait dengan tidak adanya visibilitas seorang pemimpin yang sentral dan ikonik. Dengan pemimpin terguling Aung San Suu Kyi dan tokoh publik lainnya yang dikurung, pasukan perlawanan Myanmar tidak memiliki wajah publik yang dapat dikenali.

“NUG memiliki pejabat presiden, Duwa Lashi La, yang sesekali muncul di YouTube dan media sosial. Dia saat ini memiliki reputasi yang kuat di antara etnis Kachin di utara negara itu, namun hampir tidak dikenal di panggung global, atau bahkan nasional,” tambah Prof Nicholas Farrelly.

Sebaliknya, transformasi Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menjadi seorang komandan perang telah menghasilkan profil global yang sangat besar. Dia telah memberikan pidato yang ditulis dengan hati-hati kepada parlemen asing dan pidato yang membangkitkan semangat baik untuk rakyat Ukraina maupun masyarakat internasional.

Upayanya yang terus-menerus untuk memfokuskan kembali perhatian pada fase pertempuran berikutnya di Ukraina telah menginspirasi rakyatnya sendiri, dan menjadikan bendera Ukraina sebagai simbol pembangkangan yang kuat dalam menghadapi tirani.

Myanmar lebih kompleks

Ukraina juga menguasai medan perang digital. Para pemimpinnya telah menyederhanakan narasi dan menyesuaikannya dengan cara yang ampuh untuk menekankan perjuangan yang ‘baik’ melawan yang ‘jahat’. Pada akhirnya demokrasi Barat ‘dipaksa’ untuk menawarkan dukungan simbolis dan material.

“Kompleksitas masalah di Myanmar seperti etnis, linguistik, geografis, ideologis, sejarah, dan banyak lagi, membuat narasi semacam itu jauh lebih sulit untuk dikumpulkan dan dipertahankan,” jelas Prof Nicholas.

Genosida terhadap Rohingya pada 2017, yang terjadi di bawah pemerintahan yang dipimpin Aung San Suu Kyi, juga mengotori kisah yang sebelumnya sederhana tentang seorang peraih Nobel Perdamaian yang berhadapan dengan militer Myanmar yang brutal.

Pemerintahan Aung San Suu Kyi tidak memiliki pengawasan atau kendali atas militer yang melakukan pembersihan berdarah. Namun hal itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah keputusan Aung San Suu Kyi untuk menawarkan pembelaan keras atas tindakan militer di Mahkamah Internasional pada 2019 yang kemudian secara dramatis mengubah opini internasional.

Masih menurut pendapat kedua peneliti itu, faktor geografi juga penting. Dilihat dari posisi strategis global, Myanmar hampir selalu terlupakan karena tidak menarik secara geopolitik. “Sebaliknya, selama satu abad atau lebih, Ukraina telah menjadi tempat persaingan strategis yang konstan, terutama dalam duel antara kekuatan Barat dan pemerintah di Moskow.”

Oleh karena itu, serangan terhadap Ukraina selama dekade terakhir oleh Rusia yang bersenjata nuklir dilihat oleh kekuatan Barat sebagai ancaman geopolitik tingkat pertama. Tak heran jika AS dengan mudahnya mengucurkan bantuan sekitar US$50 miliar ke Ukraina pada 2022, sekitar setengahnya adalah bantuan militer.

Sementara Myanmar yang dilihat dari lokasi konflik seperti dianggap kurang penting. Bahkan sebagian besar komunitas internasional, termasuk badan regional negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pun enggan memberikan dukungan militer kepada para pejuang perlawanan.

Secara historis selama ini, senjata yang diselundupkan ke Myanmar untuk mendukung tentara anti-pemerintah telah menggunakan negara-negara tetangga, terutama Thailand dan India, sebagai pintu gerbang. Namun kini, para pemimpin di Bangkok dan New Delhi enggan terlalu terlibat dalam kekacauan Myanmar. Mereka juga sibuk menghadapi pemberontakan di negaranya sendiri.

Ketika senjata dan material benar-benar mengalir ke Myanmar, mereka dipindahkan secara diam-diam, dengan penyangkalan sebanyak mungkin. Dengan tidak adanya pemerintah Barat yang secara terbuka memasok perlawanan dengan senjata, para pejuang beralih ke crowdfunding untuk membeli senjata dan menggunakan bahan peledak yang disatukan dengan logam bekas.

Sementara itu, di pihak lain, junta militer telah membangun gudang senjata yang sangat besar yang dibeli dari Rusia dan China, atau dibuat di dalam negeri menggunakan pasokan dari perusahaan di negara-negara seperti AS, Jepang, dan Prancis.

Geopolitik mungkin juga penting ketika menyangkut pengadilan internasional. Kita lihat dari dua kasus genosida paralel yang berkaitan dengan Myanmar dan Ukraina melalui Pengadilan Internasional di Den Haag. Kasus Ukraina, masih kurang dari 12 bulan, telah menerima intervensi formal oleh hampir semua negara Barat, total 33 negara.

Sebaliknya, kasus Myanmar terkait Rohingya diluncurkan pada 2019 dan tidak ada satu negara pun yang secara resmi melakukan intervensi, meskipun beberapa negara mengindikasikan mereka mungkin melakukannya.

Yang jelas masyarakat internasional perlu bergerak lebih cepat untuk mempertimbangkan masa depan Myanmar. Itu berarti secara dramatis membatasi kemampuan militer untuk mendapatkan legitimasi internasional, meningkatkan upaya untuk membatasi bantuan senjata dan sumber daya keuangan, serta mendukung penuntutan kejahatan perang di pengadilan internasional.

Invasi ke Ukraina telah dengan jelas menunjukkan, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, bahwa kekuatan militer Barat dapat digunakan untuk mendukung demokrasi yang tengah dikepung. Jika hanya sebagian kecil dari dukungan untuk Ukraina diberikan kepada para pejuang perlawanan Myanmar, suatu hari mereka dapat diberi kesempatan untuk membangun negara demokrasi yang berkembang pesat di jantung Asia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button