Market

Ekonom: Tak Perlu Khawatir Soal Pelemahan Rupiah dan Beban Bunga Utang

Ekonom tak mengkhawatirkan pengaruh pelemahan nilai tukar rupiah yang mendekati US$15 ribu per dolar AS terhadap beban bunga utang luar negeri. Sebab, porsi utang tersebut hanya sebesar 11,80 persen.

Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata mengatakan, pelemahan rupiah bukan suatu hal yang sangat dikhawatirkan. Sebab, rupiah tidak melemah sendirian. Sebagian besar mata uang di Asia juga melemah.

“Apalagi, pelemahan rupiah yang berpengaruh pada porsi utang dalam dolar AS yang bunganya lebih mahal, porsinya 11,80 persen. Artinya, utang dalam denominasi dolar AS tidak dominan,” katanya kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (4/7/2022).

Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (4/7/2022) pagi melemah dua poin atau 0,02 persen ke posisi Rp14.945 per dolar AS ketimbang posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.943 per dolar AS.

Lebih jauh Josua mengakui, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah memang lebih tinggi ketimbang asumsi APBN 2022 di level Rp14.350 per dolar AS. “Akan tetapi, portofolio utang kita masih dominan penerbitan obligasi dengan denominasi rupiah. Karena itu, harapannya, pelemahan rupiah tidak berpengaruh signifikan terhadap beban bunga utang secara keseluruhan,” papar dia.

Namun, ia tak menampik dampak yang signifikan terhadap beban bunga utang luar negeri, jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah.

Ekonom: Tak Perlu Khawatir Soal Pelemahan Rupiah dan Beban Bunga Utang - inilah.com
Sumber: Kementerian Keuangan

Faktor-faktor yang Memperlemah Rupiah

Ia memaparkan, salah satu faktor yang memperlemah nilai tukar rupiah adalah kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed. Hal ini mendorong ekspektasi ataupun potensi resesi di perekonomian AS dan perlambatan ekonomi global.

“Itulah yang akhirnya mendorong kenaikan risk sentiment di pasar keuangan global sehingga rupiah cenderung melemah,” tuturnya.

Josua mengaskan, pelemahan rupiah saat ini lebih karena faktor sentimen eksternal dan bukan faktor fundamental dalam negeri. “Mestinya, pelemahan rupiah tidak terjadi berkepanjangan,” timpal dia.

Saat sentimen global kembali membaik, menurut dia, tentu rupiah dapat kembali menguat bersama mata uang Asia lainnya. “Artinya, pelemahan rupiah saat ini belum sampai menjadi beban untuk APBN, di mana beban bunga utang luar negeri salah satunya,” tuturnya.

Arah Suku Bunga The Fed dan Potensi Resesi AS

Lebih jauh Josua tak melihat kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga acuan The Fed Fund Rate (FFR) sebesar 100 basis poin (bps). “Kenaikan 75 bps pun belum pernah terjadi dalam sejarah sejak 1994. Artinya, naik 75 bps pun itu sudah terhitung sangat tinggi,” timpal dia.

Jika harga-harga komoditas mentah terutama harga minyak global sudah melandai, menurut dia, kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed tidak akan lebih besar dari 75 bps di Juli ini. “Saya tidak melihat arah ke sana, kenaikan 100 basis poin sekaligus,” tukasnya.

The Fed juga, kata dia, sudah punya hitung-hitungan dengan kenaikan suku bunganya sejauh ini, terutama terkait dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi AS. “Sebab, kenaikan suku bunga agresif dapat mendorong perlambatan ekonomi AS juga. Karena itu, dampak dari ekspektasi kenaikan agresif suku bunga AS termasuk terhadap rupiah juga tidak akan berkepanjangan,” papar dia.

Kekhawatiran yang signifikan memang terjadi di AS di mana kemungkinan di 2024 negara adidaya itu akan mengalami resesi. “AS berkontribusi 15 persen terhadap ekonomi global, sehingga jika resesi tentu akan berdampak juga terhadap ekonomi global pada akhirnya,” ucapnya.

Pelemahan Rupiah: Subsidi Bunga Utang Naik

Pelemahan rupiah, Josua mengakui, membuat beban subsidi bunga utang meningkat. Akan tetapi, di lain sisi penerimaan negara juga meningkat. “Karena itu, enggak fair jika melihat pengaruh pelemahan rupiah semata terhadap belanja negara. Sebab, dari sisi penerimaan juga seperti Migas dan PNBP (penerimaan negara bukan pajak) juga berdampak positif bagi rupiah,” papar dia.

Oleh karena itu, Josua menegaskan, pelemahan nilai tukar rupiah tidak sampai pada level yang mengkhawatirkan.

Ekonom: Tak Perlu Khawatir Soal Pelemahan Rupiah dan Beban Bunga Utang - inilah.com
Sumber: Kementerian Keuangan

Sejauh ini, kata dia, investor asing masih mencatatkan aksi beli bersih alias net foreign buy sebesar US$4,2 miliar sejak awal tahun (year to date) di pasar saham. Meskipun, porsi mereka di pasar obligasi agak turun di level US$5,8 miliar.

Ia menjelaskan, tingginya suku bunga The Fed tidak otomatis memperkuat dolar AS. Sebab, ada faktor lain yang membuat simpanan di luar negeri dalam denominasi dolar AS tidak menarik. Faktor itu adalah inflasi AS yang tinggi.

“Jadi, tidak semata spread dari policy rate-nya, tapi juga faktor inflasi,” ucapnya.

Menurut Josua, kebijakan suku bunga acuan (policy rate) Bank Indonesia di level 3,5% dan inflasi 4,3% lebih menarik ketimbang policy rate The Fed saat ini dengan inflasi 8,6%. “Itu kan tekornya lebih banyak.  Katakanlah, suku bunga The Fed 1,75% dikurangi inflasi 8%, jadi negatifnya masih lebih besar di AS dan negara maju lainnya karena inflasinya jauh lebih tinggi,” tuturnya.

Dia menegaskan, jangan hanya melihat sepihak dari interest rate-nya. “Kita harus melihat nilai riil dikurangi inflasinya. Inflasi di dalam negeri masih jauh lebih rendah setengahnya ketimbang negara-negara maju. Karena itu, pelemahan rupiah bukan suatu hal yang pengaruhnya mengkhawatirkan,” timpal dia.

Josua membeberkan, jika pelemahan rupiah merupakan suatu hal krusial dan mengkhawatirkan, seharusnya lembaga pemeringkat, seperti Fitch Ratings dan Standard and Poor’s (S&P) merevisi peringkat utang Indonesia. “Tapi ternyata masih bertahan di level layak investasi dengan outlook stable,” ucapnya.

Dia menegaskan, pelemahan rupiah bukan suatu hal yang negatif untuk pasar keuangan domestik saat ini. Terbukti, permintaan rupiah masih ada. “Dan kita harus melihat kondisi riilnya, yakni selisih suku bunga dengan inflasi, sehingga tak semata melihat policy rate-nya saja.

Nilai Fundamental Rupiah

Secara fundamental, kata dia, nilai tukar rupiah seharusnya berada di kisaran 4.500-14.600 per dolar AS. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap rupiah: faktor fundamental dan faktor sentimen. “Faktor sentiment inilah yang membuat rupiah berada di atas kisaran 4.500-14.600 per dolar AS,” katanya.

Faktor sentimen, kata dia, tidak bisa diukur karena terpengaruh oleh perkembangan global, seperti pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell, data ekonomi AS, yang akhirnya membentuk ekspektasi sentimen. “Nah itu enggak bisa kita control,” ucapnya.

Akan tetapi, secara fundamental, seharusnya rupiah tidak berada di level ini, mendekati level 15.000 per dolar AS. Sentimen bersifat sementara dan tidak menggambarkan kondisi ekonomi yang sebenarnya.

Sentimen setiap hari bisa berubah bahkan setiap jam kadang bagus dan kadang negatif. Sebab, sentimen tidak dapat diproyeksikan tentunya.

“Jika tidak ada perang Rusia-Ukraina dan kenaikan suku bunga The Fed kalem-kalem saja, sentimen tidak terlalu dominan pengaruh negatifnya ke rupiah. Sehruasnya rupiah di kisaran 14.500-4.600. Tapi, karena faktor sentimen lebih dominan, rupiah melemah sampai level saat ini,” imbuhnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button