Kanal

Flu Burung di Kamboja Mirip Indonesia, Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya?

Warga Kamboja, seorang ayah dan putrinya terinfeksi virus Avian Influenza (AI) atau flu burung. Keduanya tertular karena kontak langsung dengan hewan yang sakit. Wabah flu burung menggarisbawahi perlunya deteksi dini untuk mencegah pandemi besar berikutnya. Apalagi kondisi di Kamboja mirip dengan di Indonesia.

Seperti diketahui, seorang anak perempuan berusia 11 tahun meninggal setelah terinfeksi virus AI H5N1 pada Februari lalu. Sementara ayahnya kemudian didiagnosis, dan sembuh setelah dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis.

Buntut dari dua kasus di Kamboja itu, sebanyak 51 orang diperiksa kesehatannya, termasuk 20 kontak dekat dan 31 di antaranya menunjukkan gejala mirip flu, namun semuanya dinyatakan negatif flu burung menurut pernyataan dari Kementerian Kesehatan Kamboja.

“Kedua kasus tersebut telah disimpulkan sebagai penularan virus H5N1 dari unggas, dan kejadian ini bukan penularan dari manusia ke manusia,” bunyi keterangan Kementerian Kesehatan Kamboja.

Meroketnya kasus flu burung pada mamalia menimbulkan kekhawatiran di antara para ilmuwan dan pemerintah bahwa virus mungkin bermutasi dengan cara yang dapat membuatnya lebih mudah menyebar. Ada potensi penularan flu burung dari manusia ke manusia, jika virus AI tipe A sub tipe H5N1 bermutasi.

Sampel virus yang diambil dari anak perempuan dan ayahnya menunjukkan perubahan genetik yang terjadi ketika virus berpindah dari burung ke manusia, menurut analisis yang dilakukan di Unit Virologi Institut Pasteur du Cambodge. Namun, tidak ada indikasi mutasi atau adaptasi yang membuatnya lebih mudah menular di antara mamalia, kata badan tersebut.

Kamboja mengirimkan urutan virus genom lengkap ke GISAID, yang melacak patogen seperti COVID-19 dan flu burung. Strain yang ditemukan di Kamboja adalah 2.3.2.1c. Strain itu dominan di Asia Tenggara termasuk di Indonesia selama bertahun-tahun, dan berbeda dari clade 2.3.4.4b yang saat ini beredar di sebagian besar belahan dunia.

Menjadi momok menakutkan

Epidemi flu burung saat ini telah membunuh lebih dari 58 juta burung di Amerika Serikat pada bulan Februari. Menyusul pandemi COVID-19, wabah besar virus seperti flu burung menimbulkan momok menakutkan munculnya penyakit lain yang menular dari hewan ke manusia.

Mengingat potensi pandemi berikutnya kemungkinan besar akan berasal dari hewan, penting untuk memahami bagaimana dan mengapa limpahan terjadi – dan apa yang dapat dilakukan untuk menghentikannya. Treana Mayer, Postdoctoral Fellow di Mikrobiologi di Colorado State University mengungkapkan, limpahan melibatkan semua jenis patogen penyebab penyakit, baik itu virus, parasit atau bakteri, yang melompat ke manusia.

“Patogen dapat menjadi sesuatu yang belum pernah terlihat pada manusia, seperti virus Ebola baru yang dibawa oleh kelelawar, atau bisa menjadi sesuatu yang terkenal dan berulang, seperti Salmonella dari hewan ternak,” ungkap Mayer, mengutip tulisannya di The Conversation.

Ia memaparkan, istilah limpahan menggambarkan tentang wadah berisi cairan yang meluap, dan gambaran ini merupakan metafora yang bagus tentang cara kerja proses tersebut. Bayangkan air dituangkan ke dalam cangkir. Jika ketinggian air terus meningkat, air akan mengalir melewati pinggiran, dan apapun yang berada di dekatnya dapat terciprat. Dalam limpahan virus, cawan adalah populasi hewan, air adalah penyakit zoonosis yang dapat menyebar dari hewan ke manusia, dan manusialah yang berdiri di zona percikan.

Kemungkinan limpahan akan terjadi tergantung pada banyak faktor biologis dan sosial, termasuk tingkat keparahan infeksi hewan, tekanan lingkungan terhadap berkembangnya penyakit dan jumlah kontak dekat antara hewan yang terinfeksi dengan manusia.

Meskipun tidak semua virus hewan atau patogen lain mampu menyebar ke manusia, namun tiga perempat dari penyakit menular baru pada manusia berasal dari hewan. Ada kemungkinan besar risiko pandemi besar berikutnya akan muncul dari limpahan, dan semakin banyak yang diketahui tentang bagaimana limpahan terjadi, semakin baik peluang untuk mencegahnya.

Masih menurut Mayer, sebagian besar penelitian limpahan saat ini difokuskan untuk mempelajari dan mencegah virus – termasuk virus corona, seperti yang menyebabkan COVID-19 dan turunan virus tertentu dari flu burung – agar tidak menular ke manusia. Virus ini bermutasi dengan sangat cepat, dan perubahan acak dalam kode genetiknya pada akhirnya memungkinkan mereka menginfeksi manusia.

Peristiwa limpahan bisa sulit dideteksi, terbang di bawah radar tanpa menyebabkan wabah yang lebih besar. Terkadang virus yang berpindah dari hewan ke manusia tidak menimbulkan risiko bagi manusia jika virus tidak beradaptasi dengan baik pada biologi manusia. Tetapi semakin sering lompatan ini terjadi, semakin tinggi kemungkinan patogen berbahaya akan beradaptasi dan lepas landas.

Spillover menjadi lebih mungkin

Ahli epidemiologi memproyeksikan bahwa risiko limpahan dari satwa liar ke manusia akan meningkat di tahun-tahun mendatang, sebagian besar karena perusakan alam dan perambahan manusia ke tempat-tempat yang sebelumnya liar. Karena hilangnya habitat, perubahan iklim, dan perubahan penggunaan lahan, umat manusia secara kolektif berdesak-desakan di meja yang menampung secangkir air itu. Dengan stabilitas yang kurang, limpahan menjadi lebih mungkin terjadi saat hewan stres, berkerumun, dan bergerak.

Saat pembangunan meluas ke habitat baru, hewan liar melakukan kontak lebih dekat dengan manusia – dan, yang terpenting, pasokan makanan. Percampuran satwa liar dan hewan ternak sangat memperbesar risiko bahwa suatu penyakit akan melompati spesies dan menyebar seperti api di antara hewan ternak.

Kekhawatiran juga dirasakan Senior Technical Advisor for Value Chain and Anti Microbial Resistance FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases Indonesia, Gunawan. Menurutnya, flu burung menjadi ancaman serius bagi kesehatan global, karena berpotensi bermutasi menjadi lebih ganas.

Menurut dia, virus AI tipe A berpotensi bermutasi menjadi virus ganas yang dapat ditularkan dari manusia ke manusia. “Pandemi influenza AI H1N1 di Spanyol tahun 2018, sekitar 50-100 juta korban jiwa sedunia. Sedangkan tahun 2009 lebih dari 16 ribu korban jiwa dalam setahun,” katanya.

Mengutip data WHO tahun 2017, jumlah korban virus AI sub tipe H5N1 di Indonesia mencapai 168 jiwa dari 200 kasus. “Korban manusia dari virus Al sub tipe H5N1 di Indonesia mencapai 168 jiwa dari 200 kasus terkonfirmasi WHO, 2017,” lanjutnya.

Dia juga mengungkap, bahwa hasil surveilans pasar di wilayah Jabodetabek tahun 2009 hingga 2018, sebanyak 60-70 persen pasar terkontaminasi virus flu burung tipe A. Sekitar 30-40 persennya terkontaminasi virus flu burung sub tipe H5N1 clade 2.1.3, 2.3.2 dan H9N2.

Lebih lanjut, titik kritis penyebaran AI berada di peternakan, tempat penampungan unggas, tempat pemotongan unggas dan pasar unggas. Dia pun menyarankan untuk belajar dari pandemi COVID-19 dan wabah flu burung yang pernah melanda Indonesia. “Menurunkan kontaminasi virus dari lingkungan, dengan cara cuci tangan dengan sabun, hand sanitizer, pembersihan dan disinfeksi,” ia melanjutkan.

Indonesia harus waspada

Para ahli terus meneliti H5N1 clade 2.3.2.1c alias virus flu burung di Kamboja. Mereka masih mencari fakta di balik tingkat fatalitasnya terhadap manusia. “Artinya virus ini virus yang biasa beredar, namun informasi yang dicari ialah kenapa bisa menjadi fatal. Virusnya berubah atau inangnya berubah atau kondisi tubuh orang tersebut saat terinfeksi dan masih menjadi kajian sampai saat ini,” ujar peneliti flu burung Universitas Airlangga, Chairul A. Nidom dalam diskusi bertajuk ‘Cegah Flu Burung Mulai dari Sekitar Kita’, Kamis (2/3/2023).

Dia juga mengatakan bahwa virus H5N1 di Kamboja pada awalnya diduga clade baru 2.3.4.4b, tetapi setelah di-sequence oleh tim kesehatan Kamboja dan WHO ditemukan fakta bahwa yang beredar adalah clade 2.3.2.1c atau yang sudah lama ditemukan.

Adapun, clade adalah kelompok gen penyandi protein virus/mikroba atau individu yang mempunyai jarak kekerabatan (phylogenetic) yang dekat. “Ayah dan anak umur 11 tahun di Kamboja, tadinya ada informasi terinfeksi clade baru 2.3.4.4b, ternyata setelah di-sequence oleh tim kesehatan Kamboja dan WHO, yang menginfeksi ialah clade 2.3.2.1c,” katanya.

Pihaknya mengatakan bahwa virus H5N1 clade 2.3.2.1c sudah lama beredar di Kamboja dan Indonesia. Virus ini banyak ditemukan di Kamboja pada 2014 hingga 2016. Menurutnya, adanya berbagai clade dari H5N1 ini karena ada pertukaran fragmen dan mutasi di dalam virus tersebut.

“Ada pertukaran fragmen dari dalam virus, dan penelitian biasanya dilakukan ke hewan hidup, dan melihat gejala-gejala klinis,” lanjutnya. Chairul mengatakan bahwa virus H5N1 clade 2.3.2.1c yang menginfeksi di Kamboja susunan genetiknya mirip dengan yang ditemukan di Malaysia dan Indonesia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button