Kanal

Gaya Hidup Hikikomori di Jepang Pacu Krisis Populasi

Banyak warga Jepang memiliki gaya hidup unik yakni memilih menjalani kehidupan tertutup dengan mengurung diri di dalam tembok rumah. Inilah yang disebut dengan hikikomori. Hampir 1,5 juta warganya memilih gaya hidup ini.

Menurut survei pemerintah yang dilakukan November 2022 oleh Lembaga Anak dan Keluarga, masalah ini sebenarnya sudah muncul sejak beberapa dekade terakhir tetapi COVID-19 semakin memperburuk keadaan.

Survei nasional itu menemukan di antara 12.249 responden, sekitar 2 persen orang berusia 15 hingga 64 tahun diidentifikasi sebagai hikikomori, sementara usia lainnya berkisar 15 tahun hingga 39 tahun. Dengan persentase itu diterapkan pada total populasi Jepang, diperkirakan ada 1,46 juta pertapa sosial di negara itu.

Alasan umum yang biasa digunakan banyak masyarakat untuk isolasi sosial adalah kehamilan, kehilangan pekerjaan, sakit, pensiun dan memiliki hubungan interpersonal yang buruk. Tetapi alasan utamanya adalah COVID-19, dengan lebih dari seperlima responden menyebut pandemi sebagai faktor penting dalam gaya hidup tertutup mereka.

Sebagai fenomena sosial di Jepang, hikikomori dinilai dapat memengaruhi krisis populasi Jepang. Lihat saja, kelahiran di Jepang jatuh ke rekor terendah baru tahun lalu, menurut perkiraan resmi, turun di bawah 800 ribu untuk pertama kalinya –momen yang terjadi delapan tahun lebih awal dari perkiraan pemerintah.

Kondisi ini menjadi kekhawatiran para pejabat Jepang mengingat kemungkinan besar memicu penurunan populasi lebih lanjut di negara di mana usia rata-rata warganya adalah 49 tahun, tertinggi di dunia hanya di belakang negara kota kecil Monako. “Bangsa kita berada di titik puncak apakah dapat mempertahankan fungsi sosialnya,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dalam pidato kebijakan pada pembukaan sesi parlemen tahun ini.

Kishida berjanji untuk mengambil langkah-langkah mendesak mengatasi tingkat kelahiran yang menurun di negara itu. “Sekarang atau tidak sama sekali ketika menyangkut kebijakan tentang kelahiran dan membesarkan anak – ini adalah masalah yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi,” tambahnya.

Jepang dalam beberapa tahun terakhir telah mencoba mendorong rakyatnya memiliki lebih banyak anak dengan janji bonus uang tunai dan manfaat yang lebih baik. Tetapi, menurut survei, Jepang tetap menjadi salah satu tempat termahal di dunia untuk membesarkan anak.

Istilah hikikomori

Istilah hikikomori di Jepang atau pengucilan sudah ada sejak 1980-an. Istilah ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Tamaki Saito, yang mendefinisikan bahwa hikikomori adalah suatu situasi pengasingan diri saat tidak adanya partisipasi sosial, yang berlangsung setidaknya 6 bulan berturut-turut.

Beberapa hanya keluar untuk membeli bahan makanan atau untuk kegiatan sesekali, sementara yang lain bahkan tidak meninggalkan kamar tidur mereka. Jika seseorang masuk kamar dalam beberapa hari lalu selanjutnya kumpul-kumpul bersama teman-teman, hal itu bukan termasuk hikikomori karena bukan termasuk pengasingan diri.

Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang mendefinisikan hikikomori sebagai orang yang menolak untuk keluar dari rumah, dan mengisolasi diri mereka dari masyarakat dengan terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam bulan.

Menurut survei kementerian tersebut, 1,2 persen penduduk Jepang pernah mengalami hikikomori; 2,4 persen di antara penduduk berusia 20 tahunan pernah sekali mengalami hikikomori.

Lelaki yang mengalami hikikomori jumlahnya empat kali lipat dari perempuan dengan rentang usia 15-25 tahun. Tetapi ada juga yang umurnya kisaran 50 tahun ke atas. Belakangan ini terdapat kecenderungan bahwa anak-anak juga mulai menampakkan gejala hikikomori.

Mengapa anak-anak dapat terjangkit? Jika dilihat dari rentang usianya, anak-anak adalah orang yang labil dan belum mengenal dirinya sendiri, sehingga ketika ada suatu hal yang mereka sukai, mereka cenderung akan fokus pada hal itu. Sedangkan berada di fase pencarian jati diri pada remaja menjadi salah satu dampak remaja mengidap hikikomori.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi, banyak dari hikikomori merupakan orang yang cerdas dan memiliki kompetensi yang sangat baik. Jika banyak orang cerdas tapi enggan berpartisipasi dengan masyarakat tertentu hal ini sangat berpengaruh bagi masa depan perekonomian Jepang.

Menyebar ke banyak negara

Dewasa ini di tengah dunia digital, banyak orang yang melakukan penarikan diri dari kehidupan bermasyarakat dan lebih memilih berselancar di dunia maya. Hal ini menciptakan sebuah pertanyaan apakah ini menjadi tanda bahwa hikikomori adalah sebuah tren?

Mengutip website Konsorsium Psikologi Ilmiah Nusantara (KPIN), hikikomori banyak terjadi di negara Jepang sebagai bentuk pelarian diri dari kerasnya kehidupan. Mereka lebih memilih untuk tidak berinteraksi dengan lingkungannya dan merasa aman serta nyaman dengan mengasingkan diri dari masyarakat.

Lantas apakah hikikomori hanya terjadi di negeri sakura saja? Belakangan ini fenomena hikikomori terjadi tidak hanya di Jepang tapi juga terjadi di Indonesia dan beberapa negara maju.

Di Jepang, kasus ini terjadi pada masyarakat menengah ke atas, biasanya terjadi pada orang yang berprestasi, dengan tingkat intelegensi tinggi atau profesi yang terpandang. Dalam laporan Wall Street Journal, tercatat 500 ribu hingga 2 juta orang penderita hikikomori.

“Ada dua faktor utama yang menyebabkan kasus hikikomori banyak di Jepang, yaitu Sekentei yakni istilah yang merujuk pada upaya menjaga reputasi diri sendiri serta adanya tekanan untuk menampilkan kesan positif di mata orang lain. Juga faktor Amae. Istilah ini artinya ketergantungan. Biasanya ibu yang sangat menyayangi anaknya dan memperlakukan seperti anak kecil,” menurut KPIN.

Penyebab hikikomori

Masih menurut KPIN, hikikomori terjadi melalui proses yang panjang. Biasanya gejala berawal dari kinerja yang kurang baik di sekolah, kampus atau tempat kerja. Kemudian takut menghadapi tantangan atau kegagalan di lingkungan tersebut, tidak percaya diri, kecanduan game, terjadi bully oleh teman-teman secara terus menerus, dan lain-lain. Selanjutnya pengidap akan merasa tertekan dan trauma mendalam, yang akhirnya menyebabkan tidak masuk sekolah/kuliah/kantor, lalu menarik diri dari masyarakat

Khususnya di Jepang, faktor penyebab kasus hikikomori antara lain sering di-bully; diperparah oleh cerita komik Jepang yang menceritakan bahwa ketika seseorang di-bully maka orang perlu melarikan diri dari lingkungan.

Penyebab lainnya adalah nilai akademik. Sistem kompetensi di Jepang yang dipupuk dari kecil dan mendapat kritikan jika tidak berhasil, mengakibatkan banyak orang Jepang mudah stres, tidak mau melanjutkan pendidikan, depresi bahkan bunuh diri.

Lingkungan keluarga akibat dimanja, maka seorang anak memilih tidak meninggalkan zona nyamannya yaitu diam di rumah juga menjadi penyebab berikutnya. Ada faktor lain yang ikut menyumbang yakni pengaruh lingkungan sosial; akibat penolakan atau pemikiran yang tidak sesuai antara ekspektasi dengan realita, sehingga memilih menutup diri dari dunia luar. Ada pula yang disebabkan pengaruh diri sendiri karena mempunyai standar ketahanan yang rendah terhadap tekanan.

Sementara itu menurut American Psychiatric Association, hikikomori sebagai gejala psikologis dan penyakit kesehatan jiwa yang mengarah pada masalah kepribadian. Lantas apakah hikikomori sama dengan penyakit kesehatan jiwa seperti antisosial dan agrofobia? Ternyata ketiga penyakit kesehatan jiwa ini memiliki gejala yang berbeda.

Mayo Clinic mengungkapkan bahwa agorafobia adalah sebuah tipe gangguan kecemasan yang merasa takut dan sering menghindari tempat atau situasi yang dapat membuat seseorang panik dan merasa terjebak, tak berdaya, atau memalukan.

Sementara Ansos (Anti Sosial) atau ASPD (Antisocial Personality Disorder), yaitu gangguan perilaku yang menggambarkan individu yang sering melanggar hukum, impulsif, tidak peduli pada keselamatan dirinya sendiri maupun orang lain, bahkan menyakiti orang lain namun tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button