Ototekno

Geber Jualan Mobil Listrik, Antisipasi Limbah Baterai Tertinggal Jauh

Penjualan mobil listrik meningkat pesat, apalagi pemerintah telah memberikan stimulus berupa subsidi. Namun, belum terlihat upaya sosialisasi tentang bahaya dan bagaimana menangani limbah baterai mobil listrik. Padahal termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Kendaraan Listrik di Tanah Air makin diminati. Stimulus berupa subsidi dan imbauan dari pemerintah kepada masyarakat untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan menjadi salah satu penyebab penjualan mobil listrik meningkat pada April 2023.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, realisasi penjualan mobil listrik berjenis hybrid atau Hybrid Electric Vehicle (HEV) di pasar dalam negeri tumbuh 32,4 persen selama April 2023. Padahal pada periode tersebut, data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) merilis pasar otomotif nasional pada April 2023 anjlok 42,3 persen dari satu bulan sebelumnya lantaran musim Lebaran.

Sedangkan, untuk penjualan mobil listrik Battery Electric Vehicle (BEV) pada April 2023 mencapai 1.345 unit atau meningkat 44 persen dibandingkan periode Maret 2023 yang sebesar 928 unit. Saat ini teknologi hybrid masih mendominasi pasar mobil listrik hingga 80 persen. Penjualan ini juga menjadi yang tertinggi sepanjang Januari-April 2023. Sebelumnya, distribusi mobil hybrid paling besar terjadi pada periode Februari 2023 dengan 2.277 unit.

Pemerintah memang tengah menggenjot pemakaian kendaraan listrik bahkan berharap pengguna kendaraan listrik pada 2030 mencapai 80 persen. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam keterangannya pernah menyebutkan target mobil listrik mencapai 35.900 unit.

Untuk merealisasikan itu, pemerintah juga memberikan subsidi bagi kendaraan ramah lingkungan ini. Untuk motor listrik, insentif diberikan Rp7 juta per unit dengan total anggaran yang disiapkan untuk 2023 hingga 2024 mencapai Rp7 triliun. Sementara untuk meningkatkan minat membeli kendaraan listrik roda empat, pemerintah juga memberikan insentif PPN sebesar 10 persen sehingga yang harus dibayar hanya 1 persen.

Potensi limbah baterai

Peningkatan jumlah pengguna mobil listrik ini juga akan berdampak pada potensi limbah dari baterai di masa mendatang. Saat ini, sejumlah pabrikan otomotif menawarkan kendaraan listrik dengan usia baterai yang beragam. Misalkan Hyundai, Wuling, dan Toyota yang memiliki usia baterai mobil listrik sekitar delapan tahun. Sementara motor listrik rata-rata memiliki usia baterai sekitar tiga tahun.

Berapa lama baterai mobil listrik bertahan? Secara umum, mengutip Carfax.com, pembuat mobil menjamin paket baterai mobil listrik mereka setidaknya selama delapan tahun atau 100.000 mil. California membutuhkan masa garansi yang lebih lama, yaitu 10 tahun atau 150.000 mil.

Di luar garansi, ada masalah degradasi baterai. Baterai kehilangan beberapa kapasitas dari waktu ke waktu, sehingga menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Degradasi juga bervariasi. Membiarkan paket baterai turun di bawah kapasitas 20 persen secara teratur dapat menyebabkan degradasi yang lebih cepat, seperti halnya penggunaan pengisi daya berkecepatan tinggi secara teratur.

Pemilik kendaraan listrik harus mempertimbangkan untuk mengganti baterai atau mobil mereka ketika sudah menurun antara 70 dan 80 persen dari kapasitas aslinya. Setelah itu terjadi, kendaraan mungkin tidak memberikan jangkauan dan tenaga yang diharapkan.

Pengamat Institut Teknologi Bandung (ITB) Agus Purwadi sudah mengingatkan produsen otomotif di Indonesia tidak hanya menjual mobil listrik, tapi juga memikirkan pengolahan limbah baterai. “Harus mengelola dari end of life baterai tersebut. Tidak boleh konsumen yang disposed (buang), walaupun mereka (manufaktur) yang menyerahkan ke pihak lain,” katanya.

Ia mengingatkan bahwa baterai mobil listrik termasuk limbah B3 sehingga tidak boleh dibuang sembarangan, harus ada tempat penampungan. Atau kalau bisa didaur ulang. “Sebenarnya standar internasional sudah menyatakan, kalau menjual mobil listrik, harus bertanggung jawab atas menampung baterai, jadi baterainya harus ditarik kembali oleh pabrikan,” katanya.

Jenis limbah baterai

Baterai terdiri dari dua jenis utama dengan kandungannya. Pertama adalah baterai primer yang hanya dapat digunakan sekali dan dibuang. Terdapat unsur zinc, karbon, campuran MnO2 (Mangan Dioksida), serbuk karbon dan NH4Cl (Ammonium Klorida). Contohnya adalah baterai yang digunakan untuk senter maupun berbagai perangkat portabel lainnya.

Sementara baterai sekunder yang dapat digunakan dan diisi ulang. Baterai jenis ini mengandung cadmium, Nikel dan alkaline (potassium hidroksida). Contohnya adalah baterai timbal-asam pada kendaraan dan baterai ion litium pada ponsel. Untuk baterai mobil listrik (EV) terutama mengandalkan sel lithium-ion yang dapat diisi ulang untuk menyimpan energi. Di luar lithium, bahan yang biasa digunakan termasuk kobalt, mangan, nikel, dan grafit, serta baja dan aluminium untuk casing.

Limbah baterai termasuk kepada limbah B3 (Bahan Berbahaya & Beracun). Kandungan logam berat di dalam baterai seperti kobalt, kadmium, lithium, mangan, timbal, dan nikel dapat mencemari lingkungan dan berbahaya untuk kesehatan manusia. Semua komponen-komponen penyusun baterai ini berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik.

Mangan dapat masuk ke sel-sel otak dan berpotensi merusak sistem saraf. Sementara Kadmium pada baterai dapat mengkontaminasi tanah dan air yang dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal dan kecacatan tulang berat. Sedangkan timbal dapat mengganggu fungsi ginjal dan fungsi reproduksi.

Kendala daur ulang

Saat ini baterai ion litium (Li) merupakan jenis yang paling banyak dipakai oleh mobil listrik, dan megabaterai ini juga digunakan untuk menyimpan energi yang terbarukan. Permasalahannya, baterai litium sangat susah didaur ulang.

Salah satu alasannya adalah, metode daur ulang baterai yang lebih tradisional, seperti baterai timbal-asam, tidak bekerja dengan baik untuk baterai Li. Baterai Li biasanya lebih besar, lebih berat, jauh lebih kompleks dan berbahaya bila dibongkar dengan cara yang salah.

Mengutip BBC, di pabrik daur ulang baterai yang ada sekarang, bagian-bagian baterai akan dihancurkan sampai berbentuk bubuk, kemudian bubuk itu akan dilelehkan (proses pyrometallurgy) atau dilarutkan dengan asam (proses hydrometallurgy).

Tapi baterai Li terbuat dari berbagai komponen berbeda yang bisa meledak bila tidak dibongkar dengan seksama dan hati-hati. Bahkan ketika baterai Li sudah berhasil dibongkar sekalipun, produk sisanya tidak akan mudah untuk dipakai kembali. “Metode saat ini, yakni menghancurkan semuanya dan mencoba memurnikan campuran kompleks. Ini sangat mahal dan menghasilkan produk sisa yang tak ada nilainya,” kata Andrew Abbot, ahli kimia fisik di Universitas Leicester.

Akibatnya, mendaur ulang baterai litium akan lebih mahal ketimbang menambang lebih banyak litium untuk membuat baterai baru. Juga, dalam skala besar, cara murah untuk mendaur ulang baterai Li jauh tertinggal dari produksinya yang massal.

Hanya ada sekitar 5 persen baterai Li yang didaur ulang secara global, artinya kebanyakan baterai ini akan menjadi sampah. Tapi seiring dengan meningkatnya permintaan akan mobil listrik, dan seperti yang telah diprediksikan, dorongan untuk mendaur ulang lebih banyak baterai litium kemudian ditujukan pada industri baterai dan kendaraan bermotor.

Yang jelas biaya daur ulang baterai EV akan sangat tinggi, tidak selalu masuk akal secara ekonomis bagi tempat pembuangan sampah atau perusahaan daur ulang untuk melakukannya. Keuntungan finansial dari daur ulang pada akhirnya tidak akan sebanding dengan biayanya. Bisa jadi pemerintah harus merogoh kocek lagi untuk memberikan subsidi bagi daur ulang baterai dari mobil listrik dari kas negara.

Bagaimana antisipasi Indonesia?

Bagaimana dengan nasib pengelolaan limbah dari baterai kendaraan listrik di Indonesia? Apakah Indonesia sudah siap untuk mengelola limbahnya? Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan bahwa pemerintah telah menyiapkan proses pengolahan limbah baterai di Indonesia.

Bahkan, proses daur ulang alias recycle baterai listrik sudah dibangun di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. “Itu semua di-recycle, kemarin di Morowali sudah disiapkan jadi recycle dari baterai untuk diurai lagi, recycle elektronik untuk dipecah per komponen lagi. Memang kalau elektronik memang harus di-recycle,” ungkapnya di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dalam sebuah kesempatan.

Namun dari beberapa penjelasan, sepertinya Indonesia masih belum jelas skema penanganan limbah baterai. Belum banyak sosialisasi atau memberikan pemahaman kepada para pembeli atau calon pembeli mobil listrik tentang bahaya dan penangangan limbah baterai. Padahal limbah baterai mobil listrik masih menjadi momok bagi lingkungan di dunia jika pengolahannya tidak tepat dan menjadi sampah beracun.

Menyelesaikan masalah emisi karbon itu dengan cara mengganti kendaraan dengan berbasis listrik tak hanya mengandalkan penjualan dan tingginya pemakaian mobil listrik. Tapi juga harus menyentuh ke persoalan limbah dan efeknya. Jangan sampai emisinya memang berkurang tapi kemudian timbul tidak masalah baru, yakni limbah berbahaya dari baterai.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button