News

Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres di MK, Pakar: Ganggu Desain Ketatanegaraan

Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menjelaskan, pengajuan uji materiil oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI ke Mahkamah Konstitusi (MK), bukan ke pemerintah atau DPR RI, disebabkan pihak DPR sudah memutuskan untuk tidak merevisi Undang-Undang (UU) Pemilu.

Hal ini, tambah dia, diikuti dengan pencabutan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari program legislasi nasional 2021 pada tanggal 9 Maret lalu.

“Alasannya, kalau kata Mensesneg (Menteri Sekretaris Negara) Pak Pratikno, ini undang-undang sudah baik, jadi ingin dilaksanakan dulu karena terbukti bahwa 2019 bisa dilaksanakan dan ingin kembali dilakukan untuk 2024,” jelas Titi acara bertajuk ‘Polemik Batasan Usia Capres-Cawapres’, Jakarta, dikutip Minggu (6/8/2023).

Apalagi, tambahnya, tren kepemimpinan dunia saat ini menunjukkan pada pemimpin yang berasal dari orang muda. Sejalan dengan komposisi penduduk Indonesia, sebanyak 56 persen masyarakat berusia dibawah 40 tahun. “Jadi bahkan sebenarnya kita butuh kebijakan yang jauh lebih progresif lagi,” ujarnya.

Dan juga, Titi mengatakan, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan syarat menjadi presiden dan wakil presiden selanjutnya diatur dalam Undang-Undang.

Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan capres dan cawapres harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

“Artinya kewenangan pembentuk undang-undang menyerahkan pilihan angka (usia) kepada MK itu bisa mengganggu desain dan dinamika ketatanegaraan kita karena kita memindahkan kewenangan,” pungkas Titi.

Titi menjelaskan pembahasan soal batasan usia capres dan cawapres dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bukan menjadi isu yang mendapat perdebatan atau masuk ke isu krusial.

Dan ketika dilihat lebih jauh lagi, persoalan usia ini saat dibahas antara pemerintah dan DPR terkesan mulus-mulus saja. “Justru suara kritis itu banyak berangkat dari kelompok masyarakat sipil dan juga kelompok muda pada saat itu,” ungkap Titi.

Selanjutnya, Titi juga melihat dari sisi substansinya, sebagai anggota dewan pembina Perludem, pihaknya setuju untuk mendorong masyarakat muda tampil di ruang politik.

Bahkan ia memberikan tawaran yang lebih progresif lagi, yaitu mengusulkan untuk membuat satu standar usia saja dalam hak politik, baik itu hak memilih dan dipilih.

“Jadi kalau hak pemilihnya adalah untuk memilih usia 17 tahun, ya kita samakan saja usia caleg, presiden, wakil presiden, kepala daerah dan wakil kepala daerah, karena ini jabatan politik, jabatan yang dipilih oleh publik,” jelas Titi.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button