News

Jejak Buram Jualan Ginjal Ilegal

Protokol Palermo menyebutkan bahwa tindakan yang paling efektif untuk Mencegah dan melawan fenomena dari human trafficking, khususnya bagi perempuan dan anak-anak, membutuhkan pendekatan Internasional yang bersifat menyeluruh di Negara asal, transit, dan tujuan

Ditangkapnya oknum polisi dan imigrasi dalam serentetan penindakan Satgas Tindak Pidana Pencucian Orang (TPPO) menunjukkan sindikat perdagangan orang sekaligus penjualan organ tubuh khususnya ginjal, semakin nekat.

Mereka yang harusnya menjadi pagar pengaman, justru terlibat aktif membantu sindikat jual-beli ginjal internasional beraksi.

Jumat (28/7/2023), Satgas TPPO Polda Metro Jaya kembali menetapkan 3 oknum Imigrasi sebagai tersangka sindikat jual-beli Ginjal Bekasi-Kamboja.

Benteng pertahanan Indonesia dalam mencegah perdagangan orang, penjualan organ, seperti dalam semangat Protokol Palermo, dijebol dari dalam.

“Selama Negara melihat sebelah mata TPPO, membiarkan oknum sindikat dan oknum aparatnya menjadi bagian dari Sindikat TPPO, maka jual beli ginjal tetap akan marak terjadi dan tidak diungkap,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus kepada Inilah.com.

TPDI cukup paham dan pengalaman dengan kasus TPPO khususnya soal jualan ginjal ilegal. Sebelum kasus Bekasi-Kamboja terbongkar, Petrus bersama TPDI, berdiri paling depan membela Ketua aktivis kemanusiaan dan Komisi Keadilan Perdamaian Pekerja Migran dan Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkalpinang di Batam, Romo Chrisantus Paschalis Saturnur (Romo Paschal) dari dugaan kriminalisasi karena membongkar indikasi kuat penjualan orang, termasuk organ di Batam.

“Kejahatan jual beli ginjal umumnya terjadi dalam kelompok pekerja migran ilegal (korban TPPO), di mana korban setelah dijual ke pihak penerima kerja, jika meninggal maka organnya diambil dan dijual bebas tanpa penindakan,” ungkap Petrus.

Begini gambarannya, setelah berhasil melakukan penjualan orang secara ilegal alias tak tercatat di negara tujuan, maka berita kematiannya kelak, tak akan dihiraukan. Sebelum dipulangkan kembali ke Tanah Air. Organ-organ penting seperti ginjal, hati, diambil untuk diperjualbelikan.

“Banyak korban TPPO jika meninggal dan jasadnya dikirim ke Indonesia rata-rata organ tubuhnya sudah tidak utuh dan penuh jahitan,” terangnya.

Tak cukup dengan menggandeng oknum polisi serta imigrasi, sindikat TPPO biasanya akan menembus jaringan tenaga medis untuk bekerjasama. Jika semua lapisan pintu sudah dikuasai, sindikat TPPO akan mudah menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan.

Jejak Buram Jualan Ginjal Ilegal
Korban TPPO Penjualan Ginjal Diperiksa Kesehatannya oleh Dokter Polda Metro Jaya (pmjnews)

Karena dilakukan secara ilegal melalui sindikat TPPO, maka sulit diperoleh angka yang pasti berapa total ginjal yang terbang ke luar negeri untuk dijual.”Kalau diukur dari korban pekerja Migran ilegal yang dipulangkan jasadnya karena meninggal di luar negeri ke NTT per tahun itu sekitar 120 sampai 135 orang, rata-rata organnya sudah diambil, sehingga bisa dihitung 5 Provinsi dengan korban TPPO tertinggi adalah, NTT, NTB, Jatim, Jabar dan Jateng, tinggal dikalikan,” terang Petrus.

Kejahatan organ ini semakin sulit dibendung karena polanya sudah berkembang. Jika jalur-jalur tikus untuk memberangkatkan pekerja semakin dipersempit setelah Mabes Polri menyatakan perang terhadap perdagangan orang, kini sindikat internasional melakukan penjualan ginjal secara langsung ke luar negeri, tanpa harus jadi pekerja disana.

Bandara I Gusti Ngurah Rai jadi salah satu lubang jaringan sindikat internasional perdagangan ginjal ilegal. Pada Rabu (26/7/2023), petugas Imigrasi membatalkan keberangkatan tiga warga negara Indonesia di Terminal Keberangkatan Internasional, mereka adalah pria berinisial J (35) dan dua perempuan, masing-masing YP (33) serta FF (27). Terungkap, ketiganya tergabung dalam grup WhatsApp (WA) bernama “Jual Ginjal”.

J, YP, dan FF rencananya terbang menggunakan maskapai Air Asia AK 379 dengan tujuan Kuala Lumpur, Malaysia. Dari sana, mereka akan menuju Phnom Penh, Kamboja.

Dengan harga jual ginjal rata-rata Rp120 juta, tak sulit mencari orang yang mau menghilangkan ginjalnya, demi keluar dari jurang kemiskinan.

Bahkan, di media sosial sampai di pinggir jalan, ada saja orang yang dengan sadar dan rela menjual ginjalnya untuk membayar utang, atau sekedar menyambung hidup.

Faktor ekonomi jadi godaan paling dasar orang merelakan ginjalnya untuk dijual. Kondisi ini memperumit persoalan TPPO yang semula menyelundupkan manusia untuk bekerja di luar negeri, kemudian jika meninggal organnya dijual, menjadi sukarelawan-sukarelawan yang dengan sadar menjual organ tubuhnya demi memenuhi kebutuhan ekonomi.

“Hanya dengan mencegah dan memberantas sindikat TPPO, kemiskinan dicegah, pendidikan ditingkatkan, maka korban penjualan ginjal dalam jaring TPPO dapat dicegah,” terang Petrus.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam laporannya, ada sembilan tersangka di kasus Ginjal jaringan Bekasi-Kamboja yang berperan antara lain merekrut, menampung, mengurus perjalanan korban, 1 orang tersangka berperan sebagai penghubung korban dengan rumah sakit di Kamboja, serta aparat polisi maupun imigrasi.

Belakangan, ada nama Miss Huang yang masuk daftar buron alias Daftar Pencarian Orang (DPO) karena menjadi otak dalam praktik jual-beli Ginjal jaringan Bekasi-Kamboja.

Jejak Buram Jualan Ginjal Ilegal
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Hengki Haryadi menjelaskan cara kerja sindikat internasional Ginjal Ilegal jaringan Bekasi-Kamboja (Inilah.com/ClaraAnna)

Praktik penjualan ginjal itu dipromosikan di media sosial Facebook dengan kedok Group Donor Ginjal Luar Negeri dan Donor Ginjal Indonesia. Di laman itu ditawarkan, donor akan mendapat uang Rp135 juta per ginjal. Anggota grup Facebook yang tertarik mendonorkan ginjal lantas diminta menghubungi sindikat melalui kontak pribadi.

“Korban diarahkan untuk mengikuti prosedur pemeriksaan kesehatan dan berangkat ke tempat penampungan di Bekasi sambil menunggu pengurusan paspor dan tiket ke Kamboja dengan kedok seolah-olah melaksanakan perjalanan wisata,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Hariyadi dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Kamis (27/7/2023).

Tidak hanya korban, pelaku yang tergabung dalam sindikat ini juga ternyata pernah menjadi donor. Hanim alias H (40), tersangka yang ditangkap di Bekasi, saat diwawancarai wartawan di Polda Metro Jaya, Jumat (21/7/2023), mengaku terjebak dalam sindikat ini sejak terpaksa mendonorkan ginjalnya pada tahun 2018. Keterpaksaan ini dipicu faktor ekonomi keluarga, salah satunya karena tuntutan biaya sewa rumah orangtua yang tidak memiliki rumah sendiri.

Dalam kebingungan mencari uang, ia lalu menemukan grup donor ginjal di Facebook. Grup itu mengumumkan kebutuhan donor ginjal dengan beberapa golongan darah dan syarat-syarat tertentu. Ia yang tertarik lalu mengirim pesan ke admin grup media sosial tersebut.

“Setelah ngobrol dan setuju, saya langsung disuruh ke kontrakan brokernya di sekitaran Bojonggede, Bogor. Awalnya, saya diproses di salah satu rumah sakit di Jakarta. Cuma, karena butuh banyak tahapan, harus ada persetujuan dari keluarga, saya gagal donor di Indonesia karena istri saya enggak setuju,” ungkapnya.

Gagal donor ginjal di Jakarta, ia memutuskan untuk tinggal di rumah broker selama sekitar setahun. Ia pun berbohong kepada istrinya dengan mengatakan ada pekerjaan proyek. Pada Juli 2019, ia diberangkatkan ke Kamboja oleh sang broker. Biaya cek kesehatan, pembuatan paspor, dan tiket pesawat ditanggung oleh broker.

Di sana ia bertemu dengan broker lain bernama Miss Huang, yang mengantarnya ke rumah sakit. Hanim tidak tahu persis Miss Huang berasal dari mana, yang ia tahu perempuan itu bisa berbahasa Indonesia, China, dan bahasa Kamboja.

Di Kamboja ia mendapatkan pasien asal Singapura yang cocok untuk menerima ginjalnya sehingga prosedur transplantasi dilakukan. Ginjalnya saat itu dihargai Rp120 juta. Uang itu kemudian dipakai untuk membelikan rumah bagi orangtuanya di Subang, Jawa Barat.

Sang broker ternyata memercayakan dirinya untuk menjadi koordinator calon donor Indonesia di Kamboja. Ia dijanjikan komisi dari potongan biaya beli ginjal dari rumah sakit ke donor senilai Rp15 juta.

Tugas itu sempat berhenti karena pandemi COVID-19 pada 2020. Ia kembali menerima calon donor pada akhir 2022. Setelah kembali aktif, Miss Huang pun semakin masif meminta donor dari Indonesia. Dari yang awalnya hanya 5-7 calon donor sekali permintaan, kemudian menjadi 10-20 donor ketika India membatasi donor keluar negaranya.

Jejak Buram Jualan Ginjal Ilegal
Ilustrasi donor ginjal (sumber: Yayasan Ginjal Indonesia)

Dari total 40 calon donor yang ia dampingi di Kamboja, hanya 35 orang yang berhasil melakukan transplantasi dan mendapat bayaran dari rumah sakit.

Sejak terlibat dalam sindikat, omzetnya sampai Rp24,4 miliar. Uang itu didapat dari mengambil keuntungan Rp65 juta dari tiap ginjal yang mereka jual seharga Rp200 juta.

Beroperasi sejak 2019, sindikat itu memperdaya 112 korban hingga terjerumus dalam praktik penjualan ginjal ke Kamboja.

Melihat besarnya perputaran uang dalam jaringan sindikat ginjal ilegal Bekasi-Kamboja saja, perlu ada tindakan hukum yang lebih radikal untuk membendung lalu lintas sindikat organ internasional.”Harusnya bisa di track di aliran dananya. Sebenarnya di naungan TPPO dijelaskan bahwa ada kewenangan pemblokiran rekening sama soal ada rampas aset. Harusnya itu bisa dimaksimalkan,” kata Aktivis ICJR, Maidina Rahmawati kepada Inilah.com

Perampasan aset para pelaku sindikat organ bisa membantu proses pemenuhan hak korban yang saat ini masih jomplang.”Karena kan tadi korbannya sempat didatangkan dari berbagai wilayah kan, nah ini harus juga diberikan eksekusi perbuatan yang ditanggung oleh pelaku kan perlu didahulukan untuk diberikan,” ungkapnya.

Alasan mendasar, kebutuhan ekonomi juga harus jadi tugas pemerintah demi mencegah pemikiran orang untuk menjual ginjalnya.”Ini sungguh sangat menyedihkan dan ironi. Pemerintah tidak boleh abai kepada kesulitan rakyatnya. Pemerintah tidak boleh hanya mengejar proyek mercu suar sementara rakyatnya kesulitan dan harus menjual organ tubuhnya,” kritik Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto kepada Inilah.com.

Banyak masalah di balik kasus TPPO yang harus diselesaikan, seperti kemiskinan, pendidikan rendah, patriarki, gender, penegakan hukum, dan keseriusan pemerintah khususnya sinergi antara lembaga yang utuh.

Meskipun Polri harus melakukan penegakan hukum secara masif, tegas dan serius, namun harus disadari Kasus perdagangan orang tidak hanya bisa diselesaikan dengan penegakan hukum semata oleh Polri.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button